Suatu ketika saya menolak Adorno, karena idenya tentang emansipasi lewat musik Schoenberg itu terlalu elitis. Siapa bisa paham Schoenberg, kecuali telinga-telinga yang terlatih dan pikiran-pikiran yang telah dijejali teori musik? Bagaimana mungkin teknik dua belas nada yang tak punya "jalan pulang" tersebut dapat membebaskan kelas pekerja dari alienasi? Namun setelah ngobrol-ngobrol dengan Ucok (Homicide/ Grimloc) awal April kemarin, tiba-tiba saya terpantik hal yang justru berkebalikan. Kata Ucok, memang seni itu mestilah "elitis". Lah, apa maksudnya?
Lama-lama aku paham, dan malah setuju dengan Adorno. Pembebasan bukanlah sebentuk ajakan atau himbauan, dari orang yang "terbebaskan" terhadap orang yang "belum terbebaskan" (itulah yang kupahami sebelumnya). Pembebasan bukanlah sebentuk pesan, seperti misalnya musik balada yang menyerukan ajakan untuk demo, meniupkan kesadaran tentang adanya eksploitasi, atau dorongan untuk mengguncang oligarki. Oke, yang demikian juga sebentuk pembebasan, tapi mengandung jebakan yang lain.
Pertama, jebakan bahwa orang yang mengajak merasa diri sebagai "si paling sadar", yang menempatkannya pada posisi superordinat, sementara orang-orang lainnya, yang "belum tersadarkan", sebagai orang di posisi subordinat. Kedua, jebakan bahwa ajakan-ajakan tersebut dimaksudkan untuk "melayani massa". Musik yang dibuat sengaja di-setting untuk disukai publik. Masalahnya, si pembuat musik sendiri jadinya "tidak terbebaskan" (karena terperangkap keharusan untuk melayani). Ketiga, sesuai pandangan Adorno, bahwa pembebasan melalui musik-musik dengan format "populer" (dengan jumlah birama, progresi akor, yang nyaris seragam dengan lagu manapun yang ramai di dunia), sebenarnya tak terbebaskan secara musikal.
Apa yang dipikirkan Adorno lewat musik Schoenberg, pada dasarnya adalah pembebasan secara musikal. Teknik dua belas nada tak memiliki pengulangan notasi dalam setiap putarannya. Padahal pengulangan itulah "senjata" musik populer, yang membuat orang manapun yang dicekoki menjadi hapal dan terbius, menempel kemana-mana ibarat "Kita bikin romantis"-nya Maliq n D'Essentials. Pembebasan secara musikal ini memang sangat spesifik, dan berpotensi jatuh pada elitisme, tetapi saya mungkin paham maksud Adorno: Adorno ingin agar secara internal, karya seni itu sendiri sudah terbebas, dari segala rupa hal-hal di luar seni, seperti kepentingan untuk melayani massa atau penjara format-format tertentu yang populer atau bertendensi semata-mata untuk membuat orang lain senang. Itulah mengapa Adorno memberi contoh Schoenberg: Schoenberg terbebaskan, tak butuh validasi massa, tak butuh diputar di media-media. Itulah pembebasan.
Maka itu, sebagaimana obrolan saya dengan Ucok, kekeliruan besar jika melihat musik free jazz Ornette Coleman tidak membebaskan ketimbang musik - aktivisme seperti misalnya yang dibunyikan Bob Geldof atau Iwan Fals dalam konteks lokal. Free jazz itu sendiri membebaskan, dan memahami logika internal dalam musik tersebut akan membuat apresiatornya turut terbebaskan.
Itu sebabnya, ketika saya mencari ke dalam diri, dari mana asal usul sikap kekirian saya, ternyata bukan dari literatur Marxis yang sebenarnya baru empat tahun atau lima tahun terakhir saja saya baru intens membacanya. Sejak remaja, saya lebih akrab dengan musik klasik dan musik jazz. Ternyata, saya kira, dari situlah saya mendapatkan ide tentang pembebasan. Hanya lewat apresiasi terhadap apa yang telah terbebaskan, kita turut terbebaskan bersamanya.
Dengan demikian, pembebasan bukanlah sebentuk narasi semata-mata, melainkan pembebasan total, dimulai dari pembebasan penginderaan. Apa yang kita lihat, apa kita dengar, mestilah terlebih dahulu teremansipasi dari jebakan-jebakan hubungan subordinat - superordinat yang kadang terselubung via aktivisme serta bentuk estetika yang terkurung dalam kepentingan melayani selera massa. Jadilah elitis, bebaskan dirimu sendiri, baru bebaskan orang lain.
Comments
Post a Comment