Bagi toko-toko atau pedagang, lebaran juga adalah kesempatan untuk mengkalkulasikan: apakah akan tetap buka, atau ikut arus mainstream untuk tutup toko/ dagangan dan bahkan ikut mudik. Toko atau pedagang yang tetap beroperasi memiliki suatu perhitungan tersendiri, bahwa lebaran tak sepenuhnya membuat kota menjadi mati. Ada kumpul-kumpul keluarga, yang kadang bosan dengan hidangan ketupat dan opor, untuk mencari variasi dalam pecel lele atau masakan padang. Kumpul-kumpul keluarga juga perlu snack, perlu air mineral, gelas plastik, garpu plastik, yang semuanya lebih dimungkinkan jika Indo atau Alfa tetap buka. Dengan demikian, lebaran juga adalah momen mencari kesempatan dalam persaingan yang sedang "lengah" akibat dorongan religius dan kultural yang menyebabkan sebagian besar orang kemudian memutuskan untuk rehat dari berbisnis.
Ngomong-ngomong rehat, lebaran adalah sekaligus momen perhentian, tempat kita dengan sejenak merenungkan siapa yang masih tinggal dan siapa yang telah pergi. Lebaran dulu masih ada si ini si itu, lebaran sekarang bareng si ini si itu, dan kita semua mengenali: ada saudara "baru", ada yang telah tiada, atau ada yang sekadar alpa. Kita mengidentifikasi siapa yang masih berada dalam lingkaran dan siapa yang telah keluar darinya. Mengacu pada ikatan sosial yang serba dinamis ini, lebaran sekaligus momen penerimaan, bahwa oke si ini masih ada, si itu sudah tiada, semacam pengesahan atas dinamika tersebut. Maka itu pasca lebaran, mungkin ada yang dinamakan fitrah itu: kembali pada kesadaran tentang siapa yang masih bersama kita. Di hari-hari biasa, perasaan tersebut dikaburkan oleh rutinitas, kesibukan, dan godaan untuk menekannya lewat pelbagai kesenangan. Dalam lebaran, kita terpaksa menyadarinya secara penuh, karena segala kesibukan sementara ditinggalkan, bahwa memang yang telah tiada telah tiada, dan yang datang adalah datang. Fitrah adalah penerimaan tentang yang tak abadi. Yang datang dan pergi.
Comments
Post a Comment