Namanya Gerald Foos. Ia mengaku sebagai pemilik hotel kecil (motel) di Colorado, tempat dirinya melakukan kegiatan mengintip berbagai aktivitas seksual para tamunya. Foos melakukannya selama sekitar dua puluh tahun tanpa pernah ketahuan. Sampai kemudian Foos memutuskan untuk menceritakan kisah hidupnya sendiri pada jurnalis legendaris, Gay Talese, untuk dijadikan buku. Menurut Talese, Foos tidak kelihatan seperti seorang psikopat. Jika kita bertemu Foos tanpa mengetahui latar hidupnya sebagai pengintip profesional, kita akan menganggapnya orang biasa-biasa saja, seperti orang kebanyakan. Foos sendiri tidak merasa ada hal yang aneh dari kegiatannya. Istrinya bahkan merestui aktivitas tersebut (yang diakui Foos sebagai "meneliti").
Itulah kisah tentang seorang pengintip (voyeur) yang dimuat dalam buku terbitan New York Times tahun 2016, sebelum kemudian difilmkan dalam bentuk dokumenter tahun berikutnya oleh sutradara Myles Kane dan Josh Koury. Film ini menarik bukan hanya karena pengakuan seorang pengintip yang diangkat ke publik, melainkan juga perkara nilai kebenaran dalam jurnalisme. Talese adalah jurnalis berpengalaman yang dalam bentangan karirnya yang panjang, kerap terjun langsung pada objek yang diinvestigasinya. Misalnya, dalam bukunya yang menghebohkan tahun 1981 berjudul Thy Neighbor's Wife, Talise meriset kehidupan seks komunitas nudis di Sandstone Retreat. Talise mengakui bahwa ia terlibat penuh dalam aktivitas komunitas tersebut. Termasuk seks dengan banyak orang.
Dalam Voyeur's Motel, buku tentang si pengintip, Talise tampak terpesona oleh kisah hidup Foos hingga tak merasa perlu untuk kroscek ke sumber-sumber lain. Dalam prinsip jurnalisme kita tahu, kebenaran semestinya tidak bersumber dari satu pihak saja, melainkan mesti berimbang. Namun di sisi lain, Talise juga sekaligus sedang membuat karya jurnalistik yang sebisa mungkin laku di pasaran. Atas dasar itu, bumbu-bumbu cerita, entah itu benar atau tidak, bisa sangat menjual meskipun harus mengabaikan prinsip akurasi dalam jurnalisme. Kita tidak akan terlalu masuk ke sana karena akan jatuh menjadi spoiler.
Hal lebih memikat untuk dibahas adalah kegiatan mengintip itu sendiri. Mengintip adalah suatu aktivitas mengobjekkan. Membuat seseorang memiliki kuasa dalam menatap gerak gerik orang lain, terkadang secara sangat mendetail, tanpa bisa ditatap balik. Kita tidak perlu mengidentikkan kegiatan mengintip secara spesifik melalui lubang kecil. Ketika kita memperhatikan retsleting celana guru saat ia sedang mengajar, kita pun sedang mengintip. Pasalnya, guru tersebut tidak sedang menampilkan celananya untuk diobjektivitasi. Dia mungkin sedang ingin murid-murid memperhatikan dia bicara, tetapi tanpa ia sadari, ada murid yang begitu mengamati hal lain dari yang diinginkan sang guru. Begitulah kira-kira apa yang dinamakan aktivitas mengintip itu.
Mengintip juga adalah semacam perilaku seksual. Dalam kuasa tatapan, kita bisa mengobjekkan orang yang diintip untuk dibayangkan sesuai kemauan kita. Kita mendapatkan semacam kepuasaan dalam melihat objek yang "tak berdaya" dalam artian tak mampu merespons, tak mampu membalas. Kebiasaan mengintip ini dapat sekaligus menjelaskan mengapa kita sering kepo di media sosial atau menikmati kehidupan selebriti di televisi. Kita bukan hanya sekadar memperoleh informasi, tetapi mendapatkan kepuasan dari informasi yang "tak berdaya" tersebut. Contoh lainnya, kita senang melakukan pengrujakan di Twitter atau X karena seseorang yang dirujak itu berada dalam kuasa pikiran kita, yang setiap usaha korban rujakan untuk membalas, malah akan mendapat serangan tambahan bertubi-tubi.
Maka itu kita bisa saja menghakimi Foos sebagai manusia cabul yang berbahaya, membuat siapapun menjadi was-was berada di tempat tertutup karena potensi pemilik hotel yang bisa mengintip. Namun bukan si pengintip kadang yang berusaha mencari-cari objek untuk dilihat. Objek itu sendirilah yang mengekspos dirinya untuk diintip. Dalam sebuah istilah, kita kerap menyebutnya sebagai eksibisionis. Dalam dunia hari ini, kita senang mengintip dan diintip. Kita punya semacam fetish untuk dilihat dalam ketakberdayaan. Kita menuding Foos sebagai pervert, tapi kita juga cukup pervert untuk mengundang "Foos" memuaskan hasratnya.
Comments
Post a Comment