Skip to main content

Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci

  (Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”.  Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan.  Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...

Pengintip

 

Namanya Gerald Foos. Ia mengaku sebagai pemilik hotel kecil (motel) di Colorado, tempat dirinya melakukan kegiatan mengintip berbagai aktivitas seksual para tamunya. Foos melakukannya selama sekitar dua puluh tahun tanpa pernah ketahuan. Sampai kemudian Foos memutuskan untuk menceritakan kisah hidupnya sendiri pada jurnalis legendaris, Gay Talese, untuk dijadikan buku. Menurut Talese, Foos tidak kelihatan seperti seorang psikopat. Jika kita bertemu Foos tanpa mengetahui latar hidupnya sebagai pengintip profesional, kita akan menganggapnya orang biasa-biasa saja, seperti orang kebanyakan. Foos sendiri tidak merasa ada hal yang aneh dari kegiatannya. Istrinya bahkan merestui aktivitas tersebut (yang diakui Foos sebagai "meneliti"). 

Itulah kisah tentang seorang pengintip (voyeur) yang dimuat dalam buku terbitan New York Times tahun 2016, sebelum kemudian difilmkan dalam bentuk dokumenter tahun berikutnya oleh sutradara Myles Kane dan Josh Koury. Film ini menarik bukan hanya karena pengakuan seorang pengintip yang diangkat ke publik, melainkan juga perkara nilai kebenaran dalam jurnalisme. Talese adalah jurnalis berpengalaman yang dalam bentangan karirnya yang panjang, kerap terjun langsung pada objek yang diinvestigasinya. Misalnya, dalam bukunya yang menghebohkan tahun 1981 berjudul Thy Neighbor's Wife, Talise meriset kehidupan seks komunitas nudis di Sandstone Retreat. Talise mengakui bahwa ia terlibat penuh dalam aktivitas komunitas tersebut. Termasuk seks dengan banyak orang. 

Dalam Voyeur's Motel, buku tentang si pengintip, Talise tampak terpesona oleh kisah hidup Foos hingga tak merasa perlu untuk kroscek ke sumber-sumber lain. Dalam prinsip jurnalisme kita tahu, kebenaran semestinya tidak bersumber dari satu pihak saja, melainkan mesti berimbang. Namun di sisi lain, Talise juga sekaligus sedang membuat karya jurnalistik yang sebisa mungkin laku di pasaran. Atas dasar itu, bumbu-bumbu cerita, entah itu benar atau tidak, bisa sangat menjual meskipun harus mengabaikan prinsip akurasi dalam jurnalisme. Kita tidak akan terlalu masuk ke sana karena akan jatuh menjadi spoiler

Hal lebih memikat untuk dibahas adalah kegiatan mengintip itu sendiri. Mengintip adalah suatu aktivitas mengobjekkan. Membuat seseorang memiliki kuasa dalam menatap gerak gerik orang lain, terkadang secara sangat mendetail, tanpa bisa ditatap balik. Kita tidak perlu mengidentikkan kegiatan mengintip secara spesifik melalui lubang kecil. Ketika kita memperhatikan retsleting celana guru saat ia sedang mengajar, kita pun sedang mengintip. Pasalnya, guru tersebut tidak sedang menampilkan celananya untuk diobjektivitasi. Dia mungkin sedang ingin murid-murid memperhatikan dia bicara, tetapi tanpa ia sadari, ada murid yang begitu mengamati hal lain dari yang diinginkan sang guru. Begitulah kira-kira apa yang dinamakan aktivitas mengintip itu. 

Mengintip juga adalah semacam perilaku seksual. Dalam kuasa tatapan, kita bisa mengobjekkan orang yang diintip untuk dibayangkan sesuai kemauan kita. Kita mendapatkan semacam kepuasaan dalam melihat objek yang "tak berdaya" dalam artian tak mampu merespons, tak mampu membalas. Kebiasaan mengintip ini dapat sekaligus menjelaskan mengapa kita sering kepo di media sosial atau menikmati kehidupan selebriti di televisi. Kita bukan hanya sekadar memperoleh informasi, tetapi mendapatkan kepuasan dari informasi yang "tak berdaya" tersebut. Contoh lainnya, kita senang melakukan pengrujakan di Twitter atau X karena seseorang yang dirujak itu berada dalam kuasa pikiran kita, yang setiap usaha korban rujakan untuk membalas, malah akan mendapat serangan tambahan bertubi-tubi. 

Maka itu kita bisa saja menghakimi Foos sebagai manusia cabul yang berbahaya, membuat siapapun menjadi was-was berada di tempat tertutup karena potensi pemilik hotel yang bisa mengintip. Namun bukan si pengintip kadang yang berusaha mencari-cari objek untuk dilihat. Objek itu sendirilah yang mengekspos dirinya untuk diintip. Dalam sebuah istilah, kita kerap menyebutnya sebagai eksibisionis. Dalam dunia hari ini, kita senang mengintip dan diintip. Kita punya semacam fetish untuk dilihat dalam ketakberdayaan. Kita menuding Foos sebagai pervert, tapi kita juga cukup pervert untuk mengundang "Foos" memuaskan hasratnya.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...