Skip to main content

Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci

  (Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”.  Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan.  Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...

Pemilu

Apa pilihan kalian untuk pemilu yang akan berlangsung kurang dari dua minggu lagi? Saya sudah memutuskan untuk memberikan suara bagi Partai Buruh pada pemilihan umum legislatif (pileg), sementara untuk pemilihan umum presiden (pilpres) saya belum punya pilihan atau bisa saja tidak memilih. Tidakkah menarik andaikata saya tidak memilih siapapun atau ternyata pilihan saya kalah, saya mesti dipimpin oleh pemimpin hasil pilihan orang lain? Sebaliknya, jika pemimpin yang menang adalah hasil pilihan saya, tidakkah ada orang lain yang mesti rela dipimpin oleh orang yang tidak dipilihnya? Padahal bukankah mandat seorang pemimpin dari sebuah sistem bernama demokrasi mestilah berasal dari rakyatnya? Inilah hal yang unik dari demokrasi agregatif sebagaimana diterapkan oleh pemilu kita, dan juga pada banyak pemilu di negara-negara lain. Demokrasi agregatif mendasarkan pengambilan keputusan pada aspek kuantitatif. Dalam konteks pemilihan umum, suatu kontestan dikatakan menang jika mendapatkan suara terbanyak. Suara-suara lainnya, yang kalah banyak, boleh dibilang hangus. 

Apakah demokrasi semacam ini adalah sesuatu yang ideal? Kita bisa ragu untuk mengatakan bahwa terdapat demokrasi yang ideal. Namun kita bisa beri ilustrasi semacam ini untuk menggambarkan masalah dalam demokrasi agregatif: Terdapat sepuluh orang anak dalam sebuah kelas dan mereka dimintai pendapat oleh guru tentang apakah kegiatan belajar hari ini akan dilanjutkan atau anak-anak boleh pulang karena katakanlah, listrik di area sekolah padam sehingga lampu dan AC tidak nyala. Sembilan anak menyatakan dengan spontan ingin pulang sedangkan satu anak mengatakan ingin tetap belajar. Dalam demokrasi yang mengutamakan kuantitas, maka ini akan menjadi keputusan mudah: kelas bubar. Namun bagaimana nasib satu anak yang suaranya berbeda? Apakah hanya karena kalah suara, kemudian suaranya menjadi tak layak didengar? 

Bayangkan jika satu anak tersebut punya alasan yang begitu baik, "Meski hari ini mati lampu, bukan berarti kegiatan belajar mesti berhenti kan? Kita bisa misalnya belajar di taman supaya lebih terang dan di sana juga sedikit lebih sejuk. Kita bisa membaca buku masing-masing dan kemudian diskusi dengan guru. Setidaknya, kita tidak begitu saja menyerah karena keadaan ini dan memutuskan untuk pulang." Sementara itu, sembilan anak yang ingin pulang ternyata tidak punya alasan memadai. Mereka cuma ingin pulang saja. Jika keadaannya seperti ini, tidakkah suara satu orang anak tersebut juga patut dipertimbangkan dan bahkan terdengar lebih masuk akal ketimbang pilihan sembilan orang yang nyaris tak beralasan? 

Memang demokrasi tak cuma agregatif. Demokrasi juga bisa mengambil keputusan dengan mengandalkan konsensus atau kesepakatan. Untuk mencapai konsensus, setiap orang mesti berkompromi demi tercapainya kepentingan bersama. Jika dalam proses konsensus tersebut yang diutamakan adalah argumentasi rasional (dan biasanya begitu), maka demokrasi semacam ini kerap disebut dengan deliberatif. Dalam demokrasi deliberatif, suara satu anak tersebut mestinya dipertimbangkan dan bahkan bisa dijadikan keputusan jika ternyata sembilan anak lainnya mampu diyakinkan secara rasional. 

Meski demikian, kasus kemenangan suara sembilan anak versus satu anak ini bisa jadi tetap demokratis dalam pandangan pemikir semacam Rousseau. Rousseau berangkat dari pandangan bahwa manusia pada dasarnya baik, berhati jernih, dan selalu punya tendensi untuk memikirkan kebaikan bersama. Pandangan semacam ini berkebalikan dengan gagasan Hobbes yang melihat manusia pada dasarnya saling memangsa satu sama lain. Bagi Rousseau, sifat egois manusia datang karena kemajuan peradaban. Karena rasionalitas. Intuisi justru mendapat perhatian lebih dalam filsafat Rousseau. Dalam kaitannya dengan kasus sembilan versus satu tersebut, bagi Rousseau, keputusan spontan dari anak-anak yang sembilan justru lebih penting untuk didengarkan. Sementara itu, satu anak yang berbeda pendapat, yang punya alasan gemilang, bisa jadi hanya seorang egois yang menjauh dari apa yang disebutnya sebagai kehendak umum (general will). 

Kembali pada persoalan pemilu dalam kasus di Indonesia. Apakah kemenangan dengan suara terbanyak itu sama dengan kemenangan dari kehendak umum? Mestinya berbeda, karena kehendak umum adalah bayangan tentang kemufakatan. Dalam kasus pemilu, perbedaan pendapat ini bukan cuma tentang "satu anak versus sembilan" tapi bisa jadi 40% suara versus 60% suara. Bukankah suara yang 40% tersebut terlalu gegabah untuk dikatakan bahwa mereka adalah kumpulan orang-orang egois yang termakan rasionalitasnya sendiri? 

Jadi bagaimana, jika kita berbalik membela rasionalitas, apakah kita bisa memasukkan demokrasi deliberatif di sini untuk menentukan kepemimpinan? Alasannya sesederhana ketakpraktisan. Apakah 270 juta rakyat Indonesia seluruhnya dapat diajak berdiskusi untuk mencapai konsensus? Ini bukan demokrasi Athenian yang bisa mengumpulkan seluruh populasi dalam sebuah lapangan. Kalaupun ada yang disebut demokrasi deliberatif dalam kehidupan bernegara di Indonesia, kita melakukannya dalam level representasi. 270 juta rakyat tersebut memilih wakil-wakilnya untuk duduk di kursi DPR dan di sana mereka mungkin bisa berdiskusi karena jumlah peserta yang lebih memungkinkan. 

Meski terdengar lumayan ideal, di sini muncul masalah baru: apakah rasionalitas memang pantas jadi panglima dalam penentuan keputusan? Apakah mereka yang bersekolah tinggi-tinggi sehingga pandai menyusun argumen dan beretorika kemudian dapat dikatakan lebih rasional ketimbang mereka yang menyatakan pendapat murni berdasarkan intuisi? Rupanya sistem pemerintahan di Indonesia, meski kerap dituding sebagai buruk, korup, dan didominasi "kaum rasional" (baca: elit), ternyata memberi peluang bagi setiap warga negara untuk bisa tampil mewakili rakyat yang lebih banyak. Itu sebabnya, artis-artis boleh duduk di legislatif, yakni mereka yang mungkin secara stereotip bisa mendapatkan suara karena popularitasnya di media massa (entah karena pintar nyanyi, akting, atau ganteng/ cantik) dan bukan karena prestasinya di bidang rasional rasionil. 

Dengan demikian, tidakkah yang rasional dan "yang irasional" bertemu dengan baik dalam arena demokrasi konsensus yang di dalamnya berisi para peserta hasil pilihan rakyat? Semestinya demikian. Namun kenyataannya, terdapat faktor lain yang membuat model ini kerap gagal untuk mencapai proses pengambilan keputusan yang mendekati ideal. Utamanya karena faktor uang masih mendominasi alasan kuat mengapa seseorang dapat terpilih/ tidak. Mereka yang banyak uang, dapat menjalankan strategi lebih baik untuk melanggengkan dirinya ke kursi legislatif. Mereka yang punya uang lebih sedikit, meski dengan visi yang lebih serius, bisa gagal karena tidak bisa membayar "kursi caleg" (tak akan dibahas di sini) atau sekurang-kurangnya tidak bisa kampanye jor-joran dengan memasang baligo di sana sini. 

Pada pokoknya, secara sistem, Indonesia ini sudah lumayan untuk mengatasi problem ketimpangan dalam demokrasi (untuk ukuran negara yang berisi ratusan juta penduduk). Namun masalahnya terletak pada pembusukan sistem yang masih mengizinkan kekuasaan via uang untuk meningkatkan kans duduk di pemerintahan. Gara-gara uang inilah, faktor rasionalitas dan intuisi menjadi kabur. Orang bisa memilih wakil rakyat semata-mata karena uang dan hal tersebut bisa dijustifikasi baik oleh rasio maupun instingnya. Jadikan kesempatan menjadi lebih setara tanpa mempertimbangkan uang, mungkin kita kelak akan melihat demokrasi yang lebih baik, yang mana representasi yang duduk di kursi parlemen adalah mereka yang benar-benar secara organik mewakili rakyatnya, bukan yang dipaksakan karena punya lebih banyak alat untuk melancarkan jalan.

Yang dari tadi muter-muter dibahas adalah perkara wakil rakyat pada pileg untuk kemudian mereka berdemokrasi "konsensus" (diberi tanda kutip karena seringnya tak juga mencapai konsensus) di gedung parlemen. Sekarang, bagaimana dengan pilpres? Tak ada konsensus, apalagi deliberatif. Pemilihan pilpres adalah murni agregatif. Kemenangan pilpres adalah perkara "tirani mayoritas". Mereka yang rasional tak jadi penting, itu sebabnya pemimpin yang irasional pun bisa naik ke tampuk kekuasaan. Namun jangan khawatir, dari sini kita tahu bahwa terdapat banyak tipe demokrasi yang dimainkan dalam kehidupan bernegara kita. Hal yang lebih penting, jangan sampai kita kehilangan peluang untuk menjalankan demokrasi yang disensus atau demokrasi tentang perbedaan dan ketaksepahaman. Rasanya inilah jantung demokrasi, yang meski sulit mencapai mufakat, tetapi, kadang untuk apa segalanya mesti mufakat? Pada demokrasi yang di dalamnya terdapat banyak gesekan (karena suara-suara yang sama  nyaringnya), ini lebih penting dipelihara ketimbang pemilu lima tahunan.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...