Skip to main content

Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci

  (Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”.  Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan.  Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...

Rumah Masa Kecil

Beberapa hari yang lalu, saya pindahan dari apartemen ke rumah peninggalan orang tua. Keduanya telah wafat dan setelah melalui sejumlah perundingan, diputuskan bahwa istri dan saya meninggali rumah tersebut setidaknya hingga setahun ke depan. Setelah hampir lima tahun berpindah-pindah kostan dan apartemen, akhirnya kami tinggal di sebuah rumah, lengkap dengan pekarangan dan tetangga-tetangga. Tinggal di apartemen tentu ada tetangga, tapi tidak bisa dikatakan bahwa mereka itu benar-benar tetangga. Mereka hanya tinggal bersebelahan, itu saja. Sementara di rumah ini, ada banyak tetangga yang sudah mengenal keluarga kami sejak lama. Mau tidak mau, kami harus (belajar kembali untuk) menyapa, bersikap ramah, dan ngobrol ini itu tentang kehidupan sehari-hari. 

Sempat berbulan-bulan tidak ditinggali, saya kira rumah tersebut menjadi asing. Apalagi dalam beberapa tahun terakhir memang saya hanya sesekali saja berkunjung. Ternyata tidak. Rumah tersebut langsung terasa akrab. Memori tinggal belasan tahun adalah kehangatan yang tak dapat dipungkiri. Bahkan setiap sudut rumah itu membangkitkan kenangan. Saya seperti melihat papap mondar mandir, menyirami tanaman di pekarangan, mengulik karya di garasi, dan duduk di meja makan. Saya seperti melihat mamah bersiap-siap pergi mengajar, menyiapkan makanan untuk papap, ikut sibuk mengurus acara di garasi, dan dimana-mana. Termasuk di mata para tetangga, hansip, dan pedagang yang lalu lalang. Mereka semua ingat mamah dan papap. Mengenangnya dengan cara yang baik. 

Rumah mungkin hanya sebongkah bangunan. Tembok-tembok pembatas dan atap. Namun di dalamnya ada orang yang pernah tinggal, beraktivitas, berelasi, menumpahkan emosi: marah dan cinta, serta membangun harapan. Saat orang yang pernah tinggal itu pergi, hal-hal semacam itu masih bertahan, terhubung dengan cara yang aneh. Yang bagi saya, kadang membuat keueung sekaligus menenangkan. Lebih mudah membayangkan mereka "hadir", menghantui setiap pojok ruangan, sehingga menetapi rumah itu menjadi punya nilai. Punya sentimen yang membuat galau sekaligus memberi kekuatan. 

Saya tinggal di sini sejak kalau tidak salah, kelas 4 atau 5 SD hingga menikah pertama kali tahun 2012. Entah berapa lama saya tinggal, mungkin kira-kira 17 atau 18 tahun. Di lantai atas ada perpustakaan yang dibangun papap. Di sana ada ratusan buku, mungkin sekitar lima ratus, dengan topik seputar seni, filsafat, dan agama. Sekarang buku-buku itu terbengkalai, terpikir untuk dibagi-bagikan, tetapi tunggu dulu, mungkin perpustakaan ini bisa dibuat agak serius, dibuka untuk publik suatu hari nanti. Garasi rumah, yang dulu sempat dinamai Garasi10 dan sempat ramai diadakan beraneka kegiatan selama lebih dari sepuluh tahun, juga bingung bagaimana caranya agar bisa diaktifkan kembali. 

Jebakan nostalgia mungkin membuat saya merasa harus untuk membangun kembali semua itu. Ada cita-cita papap dan mamah yang mesti dikawal, tapi di sisi lain, ada juga perasaan: kehidupan memang sudah berubah, apa yang pernah indah menghiasi kenangan, mungkin sebaiknya tetap tinggal dalam kenangan. Perpustakaan mungkin tak perlu dibangun kembali menjadi sesuatu, tetapi perpustakaan itu telah bertransformasi dalam diri saya menjadi semangat membaca yang terjaga hingga kini. Garasi10 dengan berat hati tak perlu dihidupkan lagi di rumah ini, tapi mungkin di tempat tinggal saya berikutnya. Disamping itu, Kelas Isolasi yang tengah saya bangun sekarang bersama kawan-kawan, adalah semacam "Garasi10 yang tengah dihidupkan", yang tak lagi terikat tempat, tapi tetap lestari dalam bentuk lain. 

Dalam perasaan sentimentil ini, saya tak pernah lupa kata-kata Pak Awal Uzhara, bahwa orang yang wafat tidak kemana-mana, mereka hidup dalam gelak tawa dan kesedihan kita. Juga bisa ditambahkan: mereka hidup dalam pikiran-pikiran dan cita-cita kita.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...