Beberapa hari yang lalu, saya pindahan dari apartemen ke rumah peninggalan orang tua. Keduanya telah wafat dan setelah melalui sejumlah perundingan, diputuskan bahwa istri dan saya meninggali rumah tersebut setidaknya hingga setahun ke depan. Setelah hampir lima tahun berpindah-pindah kostan dan apartemen, akhirnya kami tinggal di sebuah rumah, lengkap dengan pekarangan dan tetangga-tetangga. Tinggal di apartemen tentu ada tetangga, tapi tidak bisa dikatakan bahwa mereka itu benar-benar tetangga. Mereka hanya tinggal bersebelahan, itu saja. Sementara di rumah ini, ada banyak tetangga yang sudah mengenal keluarga kami sejak lama. Mau tidak mau, kami harus (belajar kembali untuk) menyapa, bersikap ramah, dan ngobrol ini itu tentang kehidupan sehari-hari.
Sempat berbulan-bulan tidak ditinggali, saya kira rumah tersebut menjadi asing. Apalagi dalam beberapa tahun terakhir memang saya hanya sesekali saja berkunjung. Ternyata tidak. Rumah tersebut langsung terasa akrab. Memori tinggal belasan tahun adalah kehangatan yang tak dapat dipungkiri. Bahkan setiap sudut rumah itu membangkitkan kenangan. Saya seperti melihat papap mondar mandir, menyirami tanaman di pekarangan, mengulik karya di garasi, dan duduk di meja makan. Saya seperti melihat mamah bersiap-siap pergi mengajar, menyiapkan makanan untuk papap, ikut sibuk mengurus acara di garasi, dan dimana-mana. Termasuk di mata para tetangga, hansip, dan pedagang yang lalu lalang. Mereka semua ingat mamah dan papap. Mengenangnya dengan cara yang baik.
Rumah mungkin hanya sebongkah bangunan. Tembok-tembok pembatas dan atap. Namun di dalamnya ada orang yang pernah tinggal, beraktivitas, berelasi, menumpahkan emosi: marah dan cinta, serta membangun harapan. Saat orang yang pernah tinggal itu pergi, hal-hal semacam itu masih bertahan, terhubung dengan cara yang aneh. Yang bagi saya, kadang membuat keueung sekaligus menenangkan. Lebih mudah membayangkan mereka "hadir", menghantui setiap pojok ruangan, sehingga menetapi rumah itu menjadi punya nilai. Punya sentimen yang membuat galau sekaligus memberi kekuatan.
Saya tinggal di sini sejak kalau tidak salah, kelas 4 atau 5 SD hingga menikah pertama kali tahun 2012. Entah berapa lama saya tinggal, mungkin kira-kira 17 atau 18 tahun. Di lantai atas ada perpustakaan yang dibangun papap. Di sana ada ratusan buku, mungkin sekitar lima ratus, dengan topik seputar seni, filsafat, dan agama. Sekarang buku-buku itu terbengkalai, terpikir untuk dibagi-bagikan, tetapi tunggu dulu, mungkin perpustakaan ini bisa dibuat agak serius, dibuka untuk publik suatu hari nanti. Garasi rumah, yang dulu sempat dinamai Garasi10 dan sempat ramai diadakan beraneka kegiatan selama lebih dari sepuluh tahun, juga bingung bagaimana caranya agar bisa diaktifkan kembali.
Jebakan nostalgia mungkin membuat saya merasa harus untuk membangun kembali semua itu. Ada cita-cita papap dan mamah yang mesti dikawal, tapi di sisi lain, ada juga perasaan: kehidupan memang sudah berubah, apa yang pernah indah menghiasi kenangan, mungkin sebaiknya tetap tinggal dalam kenangan. Perpustakaan mungkin tak perlu dibangun kembali menjadi sesuatu, tetapi perpustakaan itu telah bertransformasi dalam diri saya menjadi semangat membaca yang terjaga hingga kini. Garasi10 dengan berat hati tak perlu dihidupkan lagi di rumah ini, tapi mungkin di tempat tinggal saya berikutnya. Disamping itu, Kelas Isolasi yang tengah saya bangun sekarang bersama kawan-kawan, adalah semacam "Garasi10 yang tengah dihidupkan", yang tak lagi terikat tempat, tapi tetap lestari dalam bentuk lain.
Dalam perasaan sentimentil ini, saya tak pernah lupa kata-kata Pak Awal Uzhara, bahwa orang yang wafat tidak kemana-mana, mereka hidup dalam gelak tawa dan kesedihan kita. Juga bisa ditambahkan: mereka hidup dalam pikiran-pikiran dan cita-cita kita.
Comments
Post a Comment