(Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”. Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan. Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...
Entah kenapa film dokumenter berjudul Fyre menarik perhatian saya di Netflix. Rupanya film tersebut menceritakan tentang festival musik besar-besaran yang semestinya diadakan bulan April - Mei 2017 tetapi gagal total karena mismanajemen dan pengelolaan keuangan yang buruk. Fyre Festival, yang digelar dalam rangka mempromosikan Fyre, aplikasi untuk memudahkan booking artis musik, rencananya diadakan di Kepulauan Bahama dengan gembar-gembor promosi oleh para influencer berstatus super model. Dalam promosi tersebut, Fyre Festival digambarkan sebagai festival musik yang menyuguhkan pengalaman tak terlupakan: diadakan di pulau terpencil yang dijangkau dengan pesawat baling-baling, para pengunjung akan menginap di vila mewah, disuguhi kuliner dari chef-chef ternama serta tentu saja, pertunjukkan musik dari band-band terkenal.
Rick McFarland dan Ja Rule, inisiator Fyre Festival, terlihat sangat yakin rencana ini tidak hanya akan berjalan lancar, tapi juga menjadi festival bersejarah. Berkat geliat promosi yang bombastis, tiket terjual sangat cepat dari jauh hari dan investor tidak ragu-ragu untuk menggelontorkan dana. Sekilas dari segi pendanaan, Fyre Festival tampak bakal terselenggara dengan baik. Namun ternyata kenyataan benar-benar jauh dari harapan. McFarland selaku inisiator utama rupanya hanya menyuntikkan optimisme demi optimisme, tanpa benar-benar paham bagaimana harusnya festival musik besar diselenggarakan. Tidak mudah bagi pulau kecil berpopulasi 7000 orang untuk sekaligus menerima 500-an orang dalam satu waktu.
Alhasil, masalah teknis seperti air, listrik, penginapan (yang sebenarnya belum disiapkan), ternyata harus dibangun ulang dan waktunya tidak cukup! Terlebih lagi, dana besar yang terkumpul dari penjualan tiket dan para investor tampaknya tidak tersalurkan dengan baik alias sebagian dibawa entah kemana oleh McFarland. Jadilah Fyre Festival tercatat dalam sejarah sebagai salah satu festival yang paling memberi harapan palsu, yang dalam judul film dokumenter itu disebut sebagai The Greatest Party That Never Happened.
Dalam konteks yang lain, saya pernah berurusan dengan EO yang juga punya klaim megah tentang festival musik besar dengan segala proyeksi visual nan menggiurkan. Nasibnya kurang lebih tak jauh beda dengan Fyre Festival, meskipun tak dapat dikatakan gagal total, tetapi ekspektasi dan kenyataan begitu berlainan. Entah kenapa, meski tentu tak berlaku untuk semua penyelenggaraan festival musik, tetapi masalah yang kerap terjadi adalah bayangan tentang festival yang begitu indah sekaligus megah, justru menciptakan halusinasi yang berlebihan pada pihak penyelenggara. Mereka menjadikan halu-nya itu sebagai cara untuk meyakinkan investor, sponsor, penonton, sampai pengisi acara.
Menariknya, namanya juga halu, penyelenggara itu sendiri dikelabui oleh bayangannya sendiri! Sama seperti McFarland yang masih saja optimis tentang Fyre Festival meskipun sudah dibui dan reputasinya sudah hancur lebur akibat uang 27 juta dollar yang entah kemana. Agak-agaknya, pada penyelenggara festival yang demikian, acara sudah dibayangkan terjadi bahkan sebelum benar-benar terjadi. Maksudnya, mereka-mereka ini tenggelam dalam imajinasinya tentang festival yang megah dan jadi sejarah, tetapi lupa bahwa agar semua itu terjadi, banyak perentilan yang mesti diselesaikan. Fyre Festival bisa sesumbar tentang banyak hal termasuk makanan lezat hasil karya para chef, tetapi acara mereka dihancurkan salah satunya oleh netizen yang mengunggah sebuah kenyataan pahit (dan menjadi viral): ternyata makanan yang dimaksud adalah roti keju dalam styrofoam.
Para penyelenggara halu semacam ini biasanya hidup dalam ketinggian, membayangkan pesta saat dan sesudah acara, tetapi lupa daratan bahwa acara tak mungkin terselenggara jika tidak ada peran orang-orang yang seolah tak terlihat dalam panggung perayaan: petugas kebersihan, penyedia konsumsi, operator listrik, dan lain-lain yang terbukti dalam konteks Fyre Festval, sangat marah pada McFarland akibat kerja-kerjanya yang tak dibayarkan.
Saya sudah pernah bekerja di bawah EO yang halu seperti itu, dan mereka agaknya, meski diteror oleh kemarahan warga, vendor, dan talent yang belum dilunasi, tetap santai-santai saja karena mereka senantiasa hidup dalam halusinasi tentang kemegahan festival, tempat mereka dielu-elukan sebagai pahlawan yang menyediakan oase bagi kehidupan urban yang selalu menuntut hiburan.
Comments
Post a Comment