Beberapa hari belakangan baca-baca tentang euthanasia untuk kepentingan menulis artikel Jurnal Etika Terapan, ternyata banyak hal baru yang saya dapat (selain perasaan yang sangat gloomy). Jika membaca beberapa artikel (berbahasa Indonesia) hasil googling, pengertian euthanasia seringkali langsung pada "suntik mati". Pengertian ini kurang akurat, karena "suntik mati" hanyalah salah satu metode dalam euthanasia aktif. Setelah membaca beberapa sumber seperti Euthanasia: A Reference Handbook (McDougall & Gorman, 2008), Assisted Suicide and Euthanasia: A Natural Law Ethics Approach (Paterson, 2008), dan The End of Life: Euthanasia and Morality (Rachels, 1986), pandangan saya menjadi lebih luas perkara euthanasia. Euthanasia sendiri terdiri dari beberapa jenis. Euthanasia aktif artinya penghilangan nyawa pasien dilakukan secara langsung melalui tindakan yang disengaja dan mengarah langsung pada kematian orang yang dituju.
Sementara itu, euthanasia pasif adalah tindakan yang secara tidak langsung mengarah pada penghilangan nyawa pasien dengan cara menghentikan perawatan medis. Euthanasia pasif kerap disebut juga sebagai "membiarkan orang meninggal" (letting someone die).
Euthanasia aktif kemudian dibagi lagi ke dalam tiga kategori. Kategori pertama adalah euthanasia sukarela yakni euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien dalam kondisi kompeten untuk mengambil keputusan tersebut. Euthanasia sukarela menjadi semacam bunuh diri, tetapi lewat pendampingan tenaga medis, sehingga euthanasia seringkali disebut juga semacam "bunuh diri yang didampingi" (assisted suicide). Euthanasia sukarela dilarang dilakukan di Indonesia dan juga banyak negara lainnya.
Kategori kedua adalah euthanasia nonvolunter yang artinya euthanasia dilakukan tidak atas persetujuan pasien yang bersangkutan karena kondisinya tidak kompeten untuk mengambil keputusan, misalnya karena koma berkepanjangan. Keputusan melakukan euthanasia nonvolunter biasanya berasal dari keluarga atau orang dekat.
Sedangkan kategori ketiga adalah euthanasia involunter yakni euthanasia yang dilakukan tanpa persetujuan pasien dan kerap digolongkan sebagai pembunuhan. Dalam euthanasia involunter, yang terjadi biasanya disebut "pembunuhan belas kasih" karena dilakukan dengan dalih menghilangkan rasa sakit dan mengusahakan kematian cepat. Salah satu contoh euthanasia involunter dilakukan oleh rezim Nazi Jerman dalam program yang disebut dengan Aktion T4.
Dalam wilayah etika, perdebatan tentang euthanasia biasanya berlangsung seputar prinsip kesakralan hidup, prinsip kualitas hidup, dan prinsip kebebasan hidup atau kepemilikan hidup. Prinsip kesakralan hidup beranggapan bahwa hidup ini suci dan berharga, tidak bisa dikorbankan atas alasan apapun. Umumnya diturunkan dari perspektif religius, prinsip kesakralan hidup berpandangan bahwa hidup ini milik Tuhan dan hanya Tuhan yang berhak mengambilnya. Prinsip kesakralan hidup juga sering digunakan sebagai landasan penolakan atas euthanasia.
Prinsip kesakralan hidup seringkali dipertentangkan dengan prinsip kualitas hidup. Prinsip kualitas hidup secara garis besar berpandangan bahwa hidup ini punya standar tertentu supaya orang dapat menjalaninya dengan baik. Lantas, jika seseorang hidup di bawah standar tersebut, tidakkah kehidupan menjadi sia-sia untuk dijalani? Misalnya, pasien A mengalami sakit begitu parah hingga tidak bisa beraktivitas sama sekali. Pertanyaannya, apakah bermoral untuk membiarkannya tetap hidup dalam keadaan demikian? Tidakkah membiarkannya hidup malah akan menambah penderitaannya?
Prinsip kebebasan atau kepemilikan hidup menyatakan bahwa tubuh dan nyawa ini adalah properti kita sendiri sehingga menjadi hak kita untuk melakukan apapun terhadap properti tersebut, termasuk menghilangkan atau menghancurkannya. Prinsip kebebasan atau kepemilikan hidup erat dengan pandangan liberalisme, meski salah satu pencetus liberalisme itu sendiri, John Locke, menolak untuk sampai pada kesimpulan membolehkan bunuh diri. Bunuh diri, menurut Locke, bukanlah wujud kehendak bebas karena tubuh dan nyawa ini merupakan milik Tuhan.
Demikian halnya dengan John Stuart Mill yang melihat bunuh diri justru bertentangan dengan ide kebebasan. Dengan membunuh dirinya, kebebasan orang tersebut menjadi hilang dan tak dapat lagi diusahakan. Meski begitu, para pemikir liberalisme lainnya, termasuk Robert Nozick, beranggapan bahwa kebebasan ini adalah mutlak, termasuk perkara tubuh dan nyawa sendiri, sehingga euthanasia semestinya menjadi sepenuhnya hak individu yang mesti dilindungi.
Ide tentang kesakralan hidup, sebagai perisai utama dalam penolakan euthanasia, mendapat sejumlah serangan, termasuk pertanyaan kuat tentang "kesakralan siapa?" Kita kerap mengasumkan bahwa hidup manusia ini sakral dan tidak boleh dihilangkan secara sengaja, dengan asumsi bahwa orang ini (si pasien) adalah orang "tak bersalah". Namun kita seringkali bersikap tidak konsisten dengan membolehkan pembunuhan dalam konteks misalnya hukuman mati, membela diri, atau kondisi perang. Pertanyaannya, siapakah yang menentukan sakral atau tidaknya hidup seseorang? Mengapa ada orang-orang yang seolah dibolehkan untuk dihilangkan nyawanya, sementara yang lain tidak? Bukankah harusnya kesakralan hidup berlaku untuk seluruh manusia?
Bahkan dalam ajaran lain seperti Jainisme atau Buddhisme, hidup yang sakral bukan hanya milik manusia, melainkan seluruh makhluk hingga mikroorganisme. Artinya, prinsip kesakralan hidup yang digunakan sebagai landasan anti euthanasia telah berkontradiksi dalam dirinya sendiri. Bahkan David Hume dalam esainya berjudul On Suicide mengatakan bahwa manusia kerap menganggap bahwa kematian adalah kehendak Tuhan, tapi di sisi lain mengusahakan obat dan penyembuhan, yang artinya "memanipulasi" kehendak Tuhan itu sendiri.
Demikian sekelumit tentang euthanasia. Lengkapnya kita tunggu tulisannya terbit di Jurnal Etika Terapan. Mudah-mudahan terbit.
Comments
Post a Comment