Skip to main content

Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci

  (Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”.  Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan.  Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...

Debat dan Intelektualisme

Masyarakat kita sedang disuguhi tontonan debat demi debat dari capres dan cawapres untuk Pemilu 2024. Debat tersebut sekurang-kurangnya memberikan petunjuk bagi para calon pemilih tentang siapa yang lebih cakap, komunikatif, pandai beretorika, dan di sisi lain, tentang siapa yang lebih jelek dalam bersilat lidah. Dalam salah satu acara debat, kita lihat bagaimana capres nomor urut 01 (Anies Baswedan) dan capres nomor urut 03 (Ganjar Pranowo) tampak lebih fasih dalam bermain kata ketimbang capres nomor urut 02 (Prabowo Subianto) yang kelihatan emosional sepanjang forum. Intinya, dalam penilaian sebagian masyarakat, capres nomor urut 02 bisa dibilang "kalah" perkara debat ini. 

Pertanyaannya, apakah arena debat adalah barometer penting dalam menentukan kriteria pemimpin yang baik? Bisa jadi, jika debat berhubungan langsung dengan kemampuan berpikir. Sangat wajar jika kita menginginkan pemimpin yang pandai menggunakan akalnya sehingga terbayanglah imaji akan masyarakat yang diatur oleh rasio. Dalam masyarakat yang diatur berdasarkan rasio, masyarakat itu, di sisi lain, bisa mengajukan pemikirannya dan diterima oleh pemerintah jika ternyata alasannya masuk akal dan bisa dijustifikasi oleh pikiran.   

Namun kenyataannya, mengikuti sejumlah survei elektabilitas, capres 02 masih berpeluang besar untuk menjadi pemenang pemilu meski telah "dipermalukan" dalam arena debat. Mengapa bisa demikian? Ada hal menyedihkan yang mungkin perlu kita terima, bahwa tidak semua orang mengidamkan rasio sebagai panglima tertinggi dalam mengatur masyarakat. Capres 02 dikenal punya latar belakang militer salah satunya sebagai mantan Danjen Kopassus. Tidak seperti capres 01 dan capres 03, capres 02 tidak bisa dikatakan terlalu lekat dengan dunia akademik (meski ayahnya dulu menjabat menteri keuangan dan merupakan lulusan sekolah ekonomi di Belanda). Dengan karir militer yang demikian panjang, arena debat, yang mensyaratkan kemampuan bersilat lidah, mungkin agak tidak terlalu akrab bagi karir capres 02. 

Dalam dunia militer, adu argumen kelihatannya bukan tradisi utama terutama pada hierarki kepangkatan yang berbeda. Terhadap tentara yang lebih tinggi pangkatnya, seorang prajurit didorong untuk mematuhi perintah tanpa harus banyak-banyak mempertanyakan, apalagi memperdebatkan. Selain itu, kelihatannya perdebatan bukanlah suatu proses yang menarik dalam dunia kemiliteran karena hal yang lebih penting adalah setiap urusan diselesaikan dalam perspektif "keamanan". Jika perdebatan dipandang sebagai sebentuk "konflik", maka dunia militer lebih senang agar "konflik" semacam itu tidak perlu terjadi. Kehidupan bermasyarakat yang aman adalah kehidupan bermasyarakat yang minim "konflik", termasuk dalam bentuk perdebatan.

Sebaliknya, dunia akademik menuntut perdebatan terus menerus. Ilmu pengetahuan maju bukan karena kesepakatan, melainkan karena ketidaksepakatan. Hanya melalui "konflik" itulah sains justru bisa makin solid. Dengan demikian, sangat wajar jika sebagian dari kita terpukau dengan kemampuan berdebat capres 01 dan 03. Orang-orang (terutama pendukungnya, tentu saja) berdecak kagum dengan skill Anies dan Ganjar dalam menyajikan data dan mengajukan pertanyaan yang memojokkan lawan debatnya. Bagi Anies dan Ganjar yang punya latar belakang akademik yang kental, perdebatan pernah menjadi makanan sehari-hari, setidaknya di masa mereka berkuliah. Sayangnya, di sisi lain, kita juga menyaksikan pertunjukkan intelektualisme dari capres 01 dan 03 yang mungkin bagi sebagian masyarakat tidak terlalu solutif bagi kehidupan bernegara. 

Dengan demikian, saya mencoba memahami mengapa pendukung capres 02 ini masih saja berlimpah meski jagoannya tak mampu bersilat lidah. Alasannya, karena bagi para pendukung ini, mungkin, urusan negara tak melulu bisa diselesaikan dengan rasio, apalagi cuma sekadar intelektualisme yang mengandalkan kelihaian bicara atas nama "intelektualitas". Gaya militer, bagaimanapun, masih memikat bagi sebagian orang karena itu tadi: mengedepankan perspektif "keamanan", membuat segala "konflik" menjadi bungkam, sehingga imaji akan masyarakat, adalah imaji tentang "ketenangan" dan "kesunyian", persis seperti di era Orde Baru. 

Intelektualisme memang memukau, tetapi tak semua subjek yang mempraktikannya juga mampu bekerja dalam menyelesaikan persoalan. Sat set sat set ala militer bisa jadi lebih asyik karena cepat membereskan masalah tanpa perlu berwacana sana sini. Memang gerak gerik militer ini mengerikan bagi demokrasi sejati yang mengedepankan segala aspirasi. Namun tak semua orang senang dengan ketaksepahaman. Bagi sebagian masyarakat, suasana yang terlampau riuh adalah ancaman. Itu sebabnya, kita jangan kaget jika di luar sana, pendukung 02 masih banyak dan berlipat ganda: yakni mereka yang muak dengan intelektualisme.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...