Masyarakat kita sedang disuguhi tontonan debat demi debat dari capres dan cawapres untuk Pemilu 2024. Debat tersebut sekurang-kurangnya memberikan petunjuk bagi para calon pemilih tentang siapa yang lebih cakap, komunikatif, pandai beretorika, dan di sisi lain, tentang siapa yang lebih jelek dalam bersilat lidah. Dalam salah satu acara debat, kita lihat bagaimana capres nomor urut 01 (Anies Baswedan) dan capres nomor urut 03 (Ganjar Pranowo) tampak lebih fasih dalam bermain kata ketimbang capres nomor urut 02 (Prabowo Subianto) yang kelihatan emosional sepanjang forum. Intinya, dalam penilaian sebagian masyarakat, capres nomor urut 02 bisa dibilang "kalah" perkara debat ini.
Pertanyaannya, apakah arena debat adalah barometer penting dalam menentukan kriteria pemimpin yang baik? Bisa jadi, jika debat berhubungan langsung dengan kemampuan berpikir. Sangat wajar jika kita menginginkan pemimpin yang pandai menggunakan akalnya sehingga terbayanglah imaji akan masyarakat yang diatur oleh rasio. Dalam masyarakat yang diatur berdasarkan rasio, masyarakat itu, di sisi lain, bisa mengajukan pemikirannya dan diterima oleh pemerintah jika ternyata alasannya masuk akal dan bisa dijustifikasi oleh pikiran.
Namun kenyataannya, mengikuti sejumlah survei elektabilitas, capres 02 masih berpeluang besar untuk menjadi pemenang pemilu meski telah "dipermalukan" dalam arena debat. Mengapa bisa demikian? Ada hal menyedihkan yang mungkin perlu kita terima, bahwa tidak semua orang mengidamkan rasio sebagai panglima tertinggi dalam mengatur masyarakat. Capres 02 dikenal punya latar belakang militer salah satunya sebagai mantan Danjen Kopassus. Tidak seperti capres 01 dan capres 03, capres 02 tidak bisa dikatakan terlalu lekat dengan dunia akademik (meski ayahnya dulu menjabat menteri keuangan dan merupakan lulusan sekolah ekonomi di Belanda). Dengan karir militer yang demikian panjang, arena debat, yang mensyaratkan kemampuan bersilat lidah, mungkin agak tidak terlalu akrab bagi karir capres 02.
Dalam dunia militer, adu argumen kelihatannya bukan tradisi utama terutama pada hierarki kepangkatan yang berbeda. Terhadap tentara yang lebih tinggi pangkatnya, seorang prajurit didorong untuk mematuhi perintah tanpa harus banyak-banyak mempertanyakan, apalagi memperdebatkan. Selain itu, kelihatannya perdebatan bukanlah suatu proses yang menarik dalam dunia kemiliteran karena hal yang lebih penting adalah setiap urusan diselesaikan dalam perspektif "keamanan". Jika perdebatan dipandang sebagai sebentuk "konflik", maka dunia militer lebih senang agar "konflik" semacam itu tidak perlu terjadi. Kehidupan bermasyarakat yang aman adalah kehidupan bermasyarakat yang minim "konflik", termasuk dalam bentuk perdebatan.
Sebaliknya, dunia akademik menuntut perdebatan terus menerus. Ilmu pengetahuan maju bukan karena kesepakatan, melainkan karena ketidaksepakatan. Hanya melalui "konflik" itulah sains justru bisa makin solid. Dengan demikian, sangat wajar jika sebagian dari kita terpukau dengan kemampuan berdebat capres 01 dan 03. Orang-orang (terutama pendukungnya, tentu saja) berdecak kagum dengan skill Anies dan Ganjar dalam menyajikan data dan mengajukan pertanyaan yang memojokkan lawan debatnya. Bagi Anies dan Ganjar yang punya latar belakang akademik yang kental, perdebatan pernah menjadi makanan sehari-hari, setidaknya di masa mereka berkuliah. Sayangnya, di sisi lain, kita juga menyaksikan pertunjukkan intelektualisme dari capres 01 dan 03 yang mungkin bagi sebagian masyarakat tidak terlalu solutif bagi kehidupan bernegara.
Dengan demikian, saya mencoba memahami mengapa pendukung capres 02 ini masih saja berlimpah meski jagoannya tak mampu bersilat lidah. Alasannya, karena bagi para pendukung ini, mungkin, urusan negara tak melulu bisa diselesaikan dengan rasio, apalagi cuma sekadar intelektualisme yang mengandalkan kelihaian bicara atas nama "intelektualitas". Gaya militer, bagaimanapun, masih memikat bagi sebagian orang karena itu tadi: mengedepankan perspektif "keamanan", membuat segala "konflik" menjadi bungkam, sehingga imaji akan masyarakat, adalah imaji tentang "ketenangan" dan "kesunyian", persis seperti di era Orde Baru.
Intelektualisme memang memukau, tetapi tak semua subjek yang mempraktikannya juga mampu bekerja dalam menyelesaikan persoalan. Sat set sat set ala militer bisa jadi lebih asyik karena cepat membereskan masalah tanpa perlu berwacana sana sini. Memang gerak gerik militer ini mengerikan bagi demokrasi sejati yang mengedepankan segala aspirasi. Namun tak semua orang senang dengan ketaksepahaman. Bagi sebagian masyarakat, suasana yang terlampau riuh adalah ancaman. Itu sebabnya, kita jangan kaget jika di luar sana, pendukung 02 masih banyak dan berlipat ganda: yakni mereka yang muak dengan intelektualisme.
Comments
Post a Comment