Seorang filsuf sering ditampilkan sebagai penyendiri. Sokrates jalan-jalan sendirian di agora. Ia memang kerap menemukan teman bicara seperti Ion atau Euthypro, tetapi lawan bicaranya ini pada akhirnya menjadi "sarana eksperimen" Sokrates dalam mengeluarkan apa yang disebut sebagai "kebenaran dari dalam". Katanya Sokrates mempraktikkan gaya ironi atau pura-pura bodoh atau pura-pura tidak tahu saat bertanya-tanya pada rekan bicara. Namun benarkah demikian? Coba teman-teman baca dialog Sokrates manapun. Dia tidak sepenuhnya terlihat pura-pura bodoh. Bahkan dalam banyak kesempatan, Sokrates menggiring opini lawan bicaranya dengan cara yang agak menyebalkan!
Immanuel Kant jelas penyendiri. Kemana-mana ia diceritakan sendirian. Begitupun filsuf lainnya seperti Diogenes, Nietzsche, Schopenhauer (yang cuma ditemani anjingnya, Atman), rata-rata hanya diceritakan sedikit saja bersentuhan dengan masyarakat. Seolah-olah mereka ini berpikir seorang diri melampaui lingkungan sekitarnya. Lingkungan sekitarnya hanyalah semacam latar belakang bagi keluhuran ide sang pemikir. Pada intinya, sejarah para pemikir diperkenalkan pada kita seolah-olah sebagai individu yang tampil mengemuka sendirian, tanpa penting kehidupan sekitarnya atau kita pandang seolah-olah sebagai perantara saja.
Namun apa benar demikian? Apa benar para filsuf ini adalah individu yang begitu hebatnya sampai memancar mengalahkan zaman, atau mereka adalah produk dari sebuah "skena yang kebetulan"? Dulu saya berpikir yang pertama, tetapi sekarang agaknya lebih mempertimbangkan yang kedua. Apa maksud dari "skena yang kebetulan" ini? Ya mungkin Sokrates menarik, tetapi suatu keuntungan jika menariknya Sokrates itu membuat Platon berminat untuk mencatat dialog-dialognya atau membuat Aristophanes menjadikannya sebagai komedi. Dengan demikian, menariknya Sokrates tidak hanya sekadar menarik, melainkan juga menjadi abadi karena dicatat oleh orang-orang dalam skenanya.
Platon sendiri punya skena bernama the Academy, tempat Aristoteles belajar di sana dua dekade sebelum mendirikan skenanya sendiri bernama the Lyceum. Banyak orang bergabung dalam skena ini, tetapi mengapa dua nama itu yang lebih mencuat? Mereka pendiri, tentu saja, tetapi pastilah ada mekanisme di dalam skena itu sendiri yang membuat nama-nama pegiat lainnya tidak bisa terlalu mentereng. Atau sekurang-kurangnya, karya para petinggi ini dibahas secara wajib, diamalkan setiap hari, pokoknya dijadikan pedoman hidup yang amat penting. Jika benar seperti itu, justru kian jelas bahwa keterkenalan para filsuf individual itu hanya mungkin terjadi karena peran skena.
Belum lagi Marx dan Engels yang di masa mudanya rajin nongkrong di komunitas Hegelian Muda bareng orang-orang seperti Stirner, Bauer, Strauss, dan Feuerbach. Demikian halnya dengan skena Prancis mulai dari geng revolusioner seperti Diderot, Rousseau, Voltaire, Montesquie, dan Buffon yang kongkow di salon; hingga geng eksistensialis macam Sartre, de Beauvoir dan Camus yang nongkrong di Café de Flore.
Dalam hal ini, skena berperan menguatkan jejaring antar pemikir sekaligus "memutuskan" mana pemikir yang bisa diangkat dan mana yang tidak perlu-perlu amat untuk diangkat. Keputusan-keputusan itu tentu saja tidak bersifat formal atau disadari, melainkan bisa saja berlangsung secara organik dan diseleksi secara historis lewat aktivitas-aktivitas harian atau bahkan satu dua momentum besar. Pada pokoknya, pemikir manapun pastilah mendapat keuntungan pergaulan yang membuat gagasannya bisa lestari.
Bahkan Diogenes yang paling menggelandang sekalipun akhirnya namanya bisa abadi karena salah satunya persentuhan dengan Alexander Agung (dan pencatatan hidupnya oleh Diogenes Laërtius).
Comments
Post a Comment