(Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”. Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan. Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gramsci, salah sat
Mengajar dan mendidik adalah dua konsep yang bisa dibedakan. Terence W. Moore dalam bukunya yang berjudul Philosophy of Education menuliskan bahwa pendidikan adalah konsep yang melibatkan kegiatan mengajar yang lebih spesifik pada apa yang layak untuk diketahui dan sikap yang secara moral diterima (Moore, 2010: 33). Mengacu pada pengertian Moore tersebut, kita bisa saja menjadi guru yang mengajarkan cara untuk mencopet, misalnya, tetapi hal demikian bukanlah sesuatu yang mendidik. Pengertian pendidikan sebagaimana dituliskan oleh Moore tersebut dapat dikritisi. Menurut siapa sesuatu itu layak diketahui? Dari sudut pandang siapa suatu sikap dapat dikatakan bermoral atau tidak? Tanpa perlu menjawabnya, kita dapat melihat bahwa Moore secara tidak langsung telah menempatkan guru atau pengajar dalam posisi “si paling tahu” - yang memutuskan mana ilmu yang layak diketahui dan mana sikap yang dianggap bermoral. Pandangan Moore menjadi pandangan yang cukup umum dalam dunia pendidikan. Ali