Sejak beberapa bulan terakhir, saya mendapatkan pekerjaan untuk mengedit naskah teman kuliah yang mengangkat tema tentang mental health. Ini bukan pekerjaan menyunting saya yang pertama, tetapi pekerjaan ini cukup berkesan karena saya merasa benar-benar menjalankan tugas sebagai editor. Maksudnya, saya tidak hanya melakukan editing secara teknis, melainkan juga bisa menjadi rekan diskusi bagi gagasan di dalamnya. Bagaimanapun, penyunting adalah "pembaca pertama". Dengan demikian, penyunting harus mampu memposisikan diri sebagai penulis (untuk mencoba memahami gagasan keseluruhannya) dan memposisikan diri sebagai pembaca (yang ingin "dimanja" dengan keterbacaan yang enak dan alur yang mudah dipahami).
Dalam beberapa bagian, saya bahkan bisa mengungkapkan keberatan terhadap gagasan-gagasan di dalamnya, sehingga kami kemudian berdiskusi untuk mencari jalan keluar. Dalam hal ini, saya berusaha untuk berpendapat tidak atas dasar ideologi pribadi, tetapi kemungkinan persepsi teks ini di mata pembaca kelak. Hal-hal yang bertentangan dengan ideologi pribadi saya coba kemukakan tetapi tidak perlu sampai "dipaksakan" untuk dituruti. Kadang saya mengedit sambil dongkol karena hal-hal tertentu dalam teks yang cukup bertentangan dengan prinsip saya. Namun tidak apa-apa, sekalian belajar menerima perbedaan. Tidak semua hal mesti sejalan dengan apa yang saya pikirkan.
Bapak mengatakan, menulis bukanlah mengedit. Menulis adalah tentang menuangkan gagasan lewat tulisan, tetapi bukan artinya harus sempurna sampai ke urusan titik koma. Dalam konteks tertentu, ada tugas editor yang merapikan semuanya hingga gagasan via teks tersebut bisa layak untuk sampai ke tangan pembaca. Tentu saja bukan artinya semua yang memiliki gagasan bisa menjadi penulis, tetapi sekurang-kurangnya, seseorang sudah bisa disebut penulis jika mampu menuliskan gagasannya dengan pesan yang clear dan alur yang jelas, tanpa mesti memikirkan kaidah penulisan secara ketat seperti EYD, PUEBI, atau kata-katanya ada di KBBI atau tidak. Penulis yang bisa memerhatikan hal-hal itu semua tentu baik, tetapi sekali lagi, tidak wajib seratus persen.
Pendapat bapak ada benarnya, tetapi agak sulit dalam konteks misalnya penulisan ilmiah yang memposisikan penulis seolah-olah sebagai sentral dalam kekaryaan. Karya tulis ilmiah adalah produk si penulis/ si peneliti seorang diri (terkadang bersama penulis-penulis lain yang diposisikan "setara") dan tidak boleh terlihat sebagai kerja kolektif (informan tidak dihitung). Padahal, masih ide bapak, karya tulis ilmiah juga bisa melibatkan kerja kolektif: ada editor, penata letak, penyusun daftar isi, pembuat sistem mendeley, dan sebagainya. Semuanya itu, meski pada kenyataannya bisa jadi dibayar profesional, tetapi setidaknya diaku sebagai bagian dari proses pengerjaan naskah. Iya, nama-nama mereka dituliskan, seperti kredit dalam film.
Gagasan ini boleh dicoba, karena selama ini penulis karya ilmiah seringkali diposisikan sebagai "manusia super" yang seolah mengerjakan segala. Padahal bisa jadi mereka hanya punya kemampuan analisis yang tajam, sementara kemampuan menulisnya amatlah payah. Alhasil, urusan pengerjaan karya tulis ilmiah seringkali disibukkan oleh urusan teknis. Pembimbing capek melihat EYD yang berantakan, hubungan antar kalimat yang tidak nyambung, atau deduksi - induksi yang tidak jelas. Disinilah editor mestinya bertugas, supaya penulis karya ilmiah cukup fokus pada hasil penelitian yang bagus dan berdampak. Editor di sini bukan sekadar editor bayaran yang dipekerjakan seolah-olah "di luar" sistem, tetapi masuk ke dalam sistem, diakui sebagai penyunting karya ilmiah.
Jika penyunting semacam ini diterima sebagai bagian dari kerja-kerja penulisan karya ilmiah, mungkin peneliti kita tidak usah lagi bekerja keras menjadi penulis yang baik. Atau sebaliknya, mereka hanya tinggal mengakui bahwa mereka memang penulis yang buruk. Eh.
Comments
Post a Comment