Skip to main content

Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci

  (Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”.  Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan.  Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...

Agensi


Bahkan hingga setahunan yang lalu, tidak terbayang bahwa pencapaian AI akan sejauh ini. Keberadaan Chat GPT mengubah banyak hal. Chat GPT kelihatannya mampu melewati tes Turing, yakni tes yang membuat kita tidak bisa menemukan perbedaan antara percakapan teks yang dihasilkan oleh manusia dan percakapan teks yang dihasilkan oleh mesin. Kemajuan tersebut memunculkan kembali wacana tentang AI sebagai agensi atau diartikan secara sederhana sebagai individu yang otonom dan memiliki kehendak bebas. Wacana AI sebagai agensi mungkin pernah tenggelam setelah melihat kenyataan bahwa AI ternyata hanya mampu menjadi weak AI yang cuma mampu mereplikasi kerja pikiran secara partikular. 

Ide tentang strong AI atau AI yang mampu mereplikasi sepenuhnya kerja pikiran manusia salah satunya ditolak John Searle lewat chinese room argument. Menurut Searle, AI hanya mampu melakukan manipulasi simbol tetapi tidak mengerti mengapa harus melakukannya. AI tidak paham makna dari tindak tanduknya. Saat disodori contoh kemenangan komputer Deep Blue dalam pertandingan catur melawan juara dunia Gary Kasparov tahun 1997, Searle menanggapi bahwa kemampuan semacam itu tidak lebih dari cara kerja kalkulator: hanya menghitung. Deep Blue pun demikian, hanya melakukan kalkulasi atas langkah-langkah dalam permainan catur. 

Namun pertanyaannya, apa masalahnya jika AI tidak mampu memaknai atau tidak mengerti kegiatannya sendiri? Bukankah dalam kerangka eksternalitas, AI tersebut tetap menang catur dan mampu mereplikasi percakapan? Bukankah tidak penting apakah AI mengerti atau tidak apa yang dijalankannya? Toh, kita juga tidak harus selalu mengetahui latar belakang orang dalam melakukan tindakannya. Disinilah muncul problem lain tentang kesadaran. Kalaupun memang benar AI mampu mereplikasi kerja pikiran manusia mendekati sempurna, pertanyaan berikutnya, apakah AI memiliki qualia atau kesadaran akan pengalaman subjektif-individual? Qualia ini adalah juga problem yang dimasalahkan Thomas Nagel dalam tulisannya yang berjudul What Is It Like to Be a Bat?. Tesis Nagel memperlihatkan bahwa kalaupun kita tahu segala hal tentang cara kerja kelelewar, kita tetaplah tidak tahu bagaimana rasanya menjadi kelelawar. 

Masalah ada tidaknya kesadaran di luar diri kita, termasuk pada mesin, adalah hal yang berupaya dipecahkan filsuf-filsuf termasuk Descartes. Descartes beranggapan bahwa automata atau mesin yang seolah bergerak atas kemauan sendiri (tanpa terlihat digerakkan oleh pihak eksternal) dapat merespons berbagai sentuhan fisik dan bahkan menunjukkan rasa sakit, tetapi mesin tidak dapat mengatur perkataannya atau merespons suatu percakapan dengan berbagai macam cara. Descartes hendak mengatakan bahwa mesin, pada titik tertentu, memang bisa berinteraksi dengan manusia, tetapi tidak punya kompleksitas dalam merespons secara linguistik. Pandangan Descartes tersebut telah rubuh oleh Chat GPT yang mampu melakukan respons kompleks secara linguistik. 

Kemampuan Chat GPT telah mematahkan pandangan Descartes tentang automata, tetapi tetap belum terjawab apakah AI memiliki kesadaran atau tidak. David Chalmers menegaskan terlebih dahulu jika kesadaran mensyaratkan otak secara biologis, maka AI tidak mungkin punya kesadaran. Namun Chalmers mengingatkan bahwa cara kerja komputer juga rumit seperti otak biologis, bahkan dalam konteks teknologi AI masa kini, AI sudah kian dekat untuk menghasilkan apa yang disebut sebagai agensi terpadi (unified agency). Agensi terpadu ini secara umum diartikan sebagai replikasi dari individu yang solid dengan berbagai kompleksitasnya. Saat AI sudah bisa "melahirkan" Einstein, Aristoteles, dan orang-orang lainnya, maka kita bisa bayangkan AI memiliki "kesadaran". Optimisme Chalmers tidak main-main, ia memprediksi satu atau dua dekade lagi AI akan punya semacam "Qualia". Jika prediksi Chalmers benar, mungkin suatu hari nanti kita tidak akan tahu sedang berbicara tatap muka dengan manusia atau AI.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...