Skip to main content

Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci

  (Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”.  Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan.  Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...

Merenungkan Hidup Versi Frank Martela


Buku Frank Martela yang berjudul Hidup Ini Indah (Gramedia Pustaka Utama, 2023) bisa dikatakan sebagai buku filsafat dengan gaya populer. Buku ini lebih tepatnya membahas tema eksistensialisme, tetapi tidak seperti umumnya teks-teks dengan tema tersebut yang cenderung murung (Kierkegaard, Camus, Dostoyevsky), nuansa tulisan Martela ini cukup terang dan malah berbau self-help. Tawaran Martela sederhana saja, bahwa makna dalam hidup tidak perlu dicari, karena hidup sudah bermakna dengan sendirinya. Di halaman 157, Martela menuliskan, "Kebermaknaan bukan sesuatu yang langka atau jarang. Itu adalah pengalaman yang ada dalam banyak momen sehari-hari kita dalam bentuk yang kuat maupun lemah." Hal ini dijustifikasi dalam tulisannya di website: 

"My key message in the book is that meaningfulness is not something grand and given to you from above. It is something happening within your life, and typically what makes your life meaningful are very mundane things like spending time with the family or having fun with your friends."

Jadi, menurut Martela, apa yang sudah kita jalani sehari-hari, itu sudah bermakna, tidak perlu mencarinya lagi. Sebagai ilustrasi, filosof eksistensialisme bergulat merumuskan bahwa makna hidup adalah A, makna hidup adalah B, tetapi melupakan bahwa makna hidup jangan-jangan ada pada hari-hari bersama sahabat dan keluarga. Apakah pandangan semacam ini bisa dikategorikan dalam atau dangkal? Kesimpulannya mungkin "dangkal" dalam artian "Yah, kesimpulan begitu aja sih kita juga tahu," tapi jalan menuju kesimpulan itulah yang menarik. 

Jalan serupa juga kelihatannya ditempuh Heidegger yang begitu rumit dalam menuliskan gagasannya tentang Dasein untuk sekadar menyatakan bahwa manusia sudah hidup-bersama-dunia: bekerja, bergaul, tanpa perlu "berpikir tentang dunia". Heidegger mengritik pandangan Descartes tentang "aku berpikir maka aku ada" dengan membalikannya: "Kita sudah ada sebelum memikirkannya". 

Namun harus diakui bahwa filsafat tidak melulu menjatuhkan simpulannya pada "yang keseharian". Dalam salah satu kuliah yang saya terima di STF Driyarkara, seorang dosen mengatakan bahwa filsafat perlu dibedakan dari kegiatan sehari-hari. Saya paham pendapat semacam itu: filsafat berbeda dengan kegiatan sehari-hari. Lebih jauh lagi, filsafat mencoba menemukan penjelasan tentang apa yang menjadi landasan hidup sehari-hari. Filsafat berupaya mencari hakikat, karena gemas dengan kehidupan sehari-hari yang serba permukaan dan tak stabil. Jika kita kembali pada Martela bahwa hidup ini sudah bermakna salah satunya dalam momen-momen kita bersama sahabat dan keluarga, aliran filsafat tertentu beranggapan: justru momen-momen itu "menipu" kita. Momen-momen itu hanyalah pengalaman inderawi yang datang dan pergi. Kita harus mencari hal apa yang lebih mendasar dari semua itu. 

Di sisi lain, Martela membela momen-momen keseharian sebagai hal yang paling hakiki. Saat pergi beli rokok ke minimarket misalnya, kita datang ke kasir, mengatakan ingin membeli rokok merk A, lalu membayarnya. Itu adalah momen keseharian. Tidak ada dalam momen itu: kapitalisme, liberalisme, individualisme, dan -isme -isme lainnya. Momen itu hanyalah momen itu. Kira-kira demikianlah maksud Martela, bahwa kita jangan mencari-cari makna di balik hal yang sudah jelas-jelas bermakna. Di sinilah kadang filsafat itu membingungkan dalam artian ingin sok asik dengan "yuk balik lagi ke hari-hari kita", tapi juga sekaligus, "sini-sini saya jelaskan gimana keseharian itu". 

Namun kelihatannya filsafat tidak melulu berakhir di kesimpulan. Kesimpulan filsafat kadang sesuatu yang sangat sederhana dan mungkin sudah dijalani sebagian besar orang dalam keseharian (tanpa harus berfilsafat). Filsafat hanya membuat kesimpulan itu menjadi lebih tebal. Jalan yang ditempuh filsafat adalah "jalan mengabstraksi" untuk melihat keseharian dari ketinggian, untuk kemudian menyadari bahwa ketinggian itu kadang terlalu menakutkan sehingga rindu-untuk-mendarat. Saya pikir tanpa Martela mengatakan "kita harus mendarat", filsafat akan mendarat dengan caranya sendiri, karena cemas akan ketinggian itu. Biarkan filsafat dengan segala ketinggiannya terbang dalam kepala kita, tetapi dari ketinggiannya itu, tubuh hari-hari semakin kangen untuk membumi.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...