Perspektif kelas mengubah segalanya kalau tidak bisa dikatakan memutarbalikkan pandangan kita tentang dunia. Dulu saya tergila-gila dengan yang namanya sufisme dan menganggapnya sebagai pandangan yang sejati tentang dunia. Sufisme bahkan menurut saya terlalu sempurna, suatu pemahaman yang berada di singgasana, sampai-sampai mereka yang mengkritiknya saya tuduh sebagai "tidak paham" atau "belum sampai". Setelah memiliki perspektif kelas, sufisme menjadi paham yang tidak kebal kritik. Sufisme bisa jadi keren, tetapi aliran tersebut bisa dikritik sebagai aliran yang terlampau fokus pada "pemenuhan batin sendiri", termasuk mensimplifikasi problem kemiskinan dan eksploitasi sebagai "ketidakmampuan orang untuk naik pada tahap marifat sehingga kerap mengeluh dan menyalahkan keadaan". Bahkan sufisme juga bisa dikritik sebagai paham yang "asyik sendiri", enggan mengartikulasikan pencerahannya pada orang lain karena dianggap "tidak selevel". Tidakkah dengan demikian sufisme menjadi aliran yang individualistis?
Perspektif kelas membuat kita tidak cepat-cepat masuk pada argumen moral. Pernah muncul di timeline Twitter/ X, ada anak yang menggambar alat kelamin di papan tulis sehingga menimbulkan hujatan dari netizen. Netizen menganggap anak itu kurang ajar, tidak dididik dengan baik, dan perlu didisiplinkan. Perspektif kelas membuat kita melihat dengan cara yang sama sekali lain: bagaimana jika anak itu tidak cukup mendapat didikan dari orang tua, karena orang tuanya sibuk bekerja, tenaganya diperas habis oleh perusahaan, sehingga tidak punya waktu yang memadai untuk mengajarkan moral pada anak-anaknya? Bayangkan orang tua yang berasal dari kelas pekerja, mungkin mereka harus pergi jam lima subuh dari rumah, bekerja sampai jam lima sore dan karena macet yang parah, baru sampai rumah pukul delapan atau malah sembilan malam. Dengan sisa waktu dan tenaga yang tinggal sedikit, bagaimana mereka bisa membimbing anak-anaknya?
Perspektif kelas membuat kita melihat kedermawanan dari sisi yang lain. Bahwa kebaikan hati seseorang untuk memberi tidak bisa melulu dipandang sebagai "kebaikan". Bagaimana jika memberi adalah cara dia untuk "mencuci" dirinya dari perasaan bersalah karena telah mengeksploitasi? Maksudnya, uang yang diperolehnya itu tidak sepenuhnya "halal" karena ada keringat para pekerja di dalamnya. Alih-alih bersikap adil pada para pekerja, seseorang itu malah memberikan sedekah yang diukur berdasarkan keikhlasannya saja. Artinya, ia memberi bukan karena prinsip keadilan, tapi prinsip kerelaan. Prinsip kerelaan ini belum tentu adil secara matematis, tapi mungkin adil secara psikologis (psikologis dirinya sendiri).
Perspektif kelas membuat kita memandang konsep keluarga dengan cara lain. Keluarga sakinah yang disirami kebaikan moral bisa dipandang sebagai unit yang mempertahankan properti privat untuk kelompoknya sendiri. Keluarga adalah bentuk egoisme dan individualisme juga, tetapi lebih susah untuk dikritisi karena seolah-olah punya basis kolektivisme (apalagi keluarga besar). Bahkan dalam ide membangun keluarga itu sendiri, sudah tampak bibit-bibit penguasaan properti privat. Misalnya dengan mencari calon pasangan yang "satu level" entah dalam hal pendidikan atau latar belakang ekonomi. Semua itu merupakan motif subliminal untuk penguasaan properti privat agar "harta saya ini tidak kemana-mana". Jika memang membangun keluarga didasari oleh prinsip keadilan, mengapa tidak mencari calon pasangan yang beda level sekalian seperti dalam kisah telenovela? Hal ini sukar terjadi dan memang seolah lebih cocok untuk tetap berada dalam telenovela.
Hampir mirip dengan argumen terhadap sufisme sebenarnya, tetapi secara lebih luas, perspektif kelas juga membuat saya agak kurang sreg memandang gagasan tentang mindfulness. Prinsip kepenuhan pikiran semacam itu kadang hanya menjadi pembenaran untuk abai terhadap masalah-masalah struktural. Terdapat kepasrahan dalam menerima hidup dengan cara "hadir sepenuhnya" dengan menerima secara metafisis segala orang, benda-benda, dan kondisi, tanpa enggan menelusuri lebih jauh mengapa semuanya terjadi dengan cara demikian. Saat saya duduk di kafe minum kopi, saya menikmati sepenuhnya kopi itu, menikmati momen itu, tanpa perlu membayangkan bagaimana segelas kopi bisa hadir ke hadapan saya, yang mungkin di baliknya terdapat banyak masalah (ekploitasi terhadap petani kopi, eksploitasi terhadap barista). Pada argumen mindfulness, pikiran-pikiran kritis semacam itu dianggap overthinking, bikin hidup tidak nikmat dan malah mengganggu "momen egois" dari si individu.
Yah, tapi itu bukan berarti perspektif kelas tidak bisa dikritik juga. Perspektif kelas dituding sebagai reduksionis, membuat kita melihat segala sesuatunya "tidak lebih daripada". Kita terus-terusan melihat ke belakang segala sesuatu tetapi lupa pada "segala sesuatu" yang tampil di hadapan dan butuh perhatian. Namun justru di situlah letak konfliknya, tentang mengapa argumen kiri dan kanan sukar sekali didamaikan. Si kanan akan mengatakan: udah sih, emang dunia ini berjalan dengan cara seperti ini, nikmati saja (salah satunya dengan "hadir penuh" pada setiap momen). Si kiri akan mengatakan: emang iya, dunia harusnya berjalan dengan cara seperti ini? Bagaimana bisa aku menikmati dan hadir penuh, kalau di sana sini terjadi masalah struktural? Bukankah "hadir penuh" tidak lebih daripada "memikirkan aku dan duniaku" saja?
Comments
Post a Comment