Waktu Young Lex dan Awkarin merilis video musik berjudul Makan Bang, saya berang. Berang karena bagaimana bisa, video musik yang dibuat asal-asalan semacam ini dapat meraih views jutaan dan menempati peringkat atas trending? Di bagian prolog video tersebut, Oka Mahendra Putra, sang produser, terlebih dahulu memaparkan konsepnya, “Konsep video ini, adalah tanpa konsep. Kita hanya mengulang-ulang adegan makan di restoran.” Hasilnya mengejutkan! Meski nampak bahwa video musik ini adalah produk low budget, dengan konten berupa lirik yang dibuat asal-asalan –Young Lex mengaku membuatnya lima belas menit setelah main Dota 2-, dan dengan aktor, yang maaf-maaf saja, kelihatannya tidak ada kemampuan akting lain selain mengunyah makanan, tapi ada kenyataan pahit yang harus kita telan: toh, meski dicaci maki, video yang diunggah di Youtube tersebut tetap banyak yang menonton. Intinya, Young Lex, Awkarin, dan Oka Mahendra Putra hampir dapat dipastikan meraup untung besar dari Adsense. Seperti komentar seorang teman di media sosial saya, “Kalaupun puluhan tahun lagi tidak ada orang yang mengingat siapa Young Lex dan Awkarin, toh mereka sudah punya bekal puluhan juta rupiah.”
Dalam kacamata estetika modern, apa yang dilakukan Young Lex dan Awkarin termasuk ke dalam golongan “seni rendah”. Apa yang menjadi tolok ukurnya? Mengacu pada kata-kata filsuf Immanuel Kant di abad ke-18, sesuatu dapat dikatakan seni jika ia tidak punya manfaat sama sekali. Sebagai contoh: Jika sebuah meja kita masih gunakan untuk tempat belajar, maka meja tersebut bukanlah karya seni. Tapi jika meja tersebut tidak digunakan untuk apapun dan dipajang di galeri untuk sekadar diamati pengunjung, maka dengan sendirinya, dalam kacamata Kant, itu menjadi karya seni. Artinya, seni hanya dibuat untuk kepentingan keindahan semata. Tidak lebih daripada itu. Titik.
Kita bisa mengatakan bahwa Young Lex dan Awkarin baru saja memproduksi “seni rendah” –jika tidak bisa dikatakan sebagai “bukan seni”- dari asumsi bahwa mereka menciptakan karya bukan demi suatu keindahan, melainkan demi uang dan popularitas. Artinya, seni ditunggangi untuk manfaat lain di luar dirinya. Apakah yang demikian itu tidak boleh? Jelas, itu dosa besar, dalam pandangan estetika modern.
Tapi sekarang zaman sudah berubah. Pemikiran bisa dibalik: Apakah justru seni yang diproduksi Young Lex dan Awkarin adalah seni tinggi, karena malah punya kegunaan (menghasilkan uang)? Sebaliknya, lukisan yang dipajang di galeri atau musik klasik dengan segala kerumitan harmoninya, adalah seni rendah karena malah tidak ada manfaat (praktis) sama sekali? Jika akhirnya orang membuat karya seni yang adiluhung untuk kemudian dijual dan mendapat uang juga, apakah itu artinya Young Lex dan Awkarin sudah selangkah lebih maju karena pundi-pundi mereka sudah penuh meski membuat karya “asal-asalan”? Atau jangan-jangan, Young Lex dan Awkarin tidak se-asal-asal-an yang kita kira. Mereka punya insting yang tajam. Mengetahui secara psikologis apa yang membuat orang begitu tertarik untuk menyaksikan video mereka. Sudah bukan urusan dua artis itu lagi jika kemudian selesai melihatnya, orang malah eneg dan menekan tombol dislike. Yang penting videonya sudah dikunjungi. Dikunjungi, pada tingkat bawah sadar, mungkin menunjukkan kekaguman, kebanggaan, dan pemujaan secara diam-diam.
Young Lex dan Awkarin sering mendapat sorotan karena tingkahnya yang kurang patut di mata masyarakat umum. Misalnya, Young Lex pernah memaki dengan kata-kata kasar pada penonton yang melemparinya dengan botol ketika hendak nge-rap di atas panggung. Ia juga berseteru dengan rapper legendaris Iwa K dengan mengatainya sebagai rapper yang kurang ber-skill. Young Lex, dalam lirik lagunya, umumnya hanya bercerita tentang kisah hidupnya sendiri atau memberi petatah-petitih agar orang zaman sekarang tak perlu banyak dengar kata orang lain. Lebih baik jadi diri sendiri, meskipun diremehkan. Meski demikian, Young Lex tak pernah kekurangan panggung. Ia malah kelihatan kian berkibar. Sementara Awkarin besar oleh instagram dan vlog. Tidak ada yang spesial darinya kecuali kenyataan bahwa ia sangat eksibisionis mempertontonkan kehidupan pribadinya mulai dari putus cinta hingga memberi makan hewan di Taman Safari. Di video-videonya tersebut, Awkarin tak jarang mengumpat dengan kata yang tak patut, atau bahkan mempertontonkan adegan mesra. “Prestasi”-nya tersebut membuat followers instagramnya mencapai lebih dari satu juta. Para produsen pun merapat, meminta Awkarin untuk memasarkan produknya. Lagi-lagi, ia dapat uang.
Memang ini zaman yang kurang memberikan penghargaan terhadap konsistensi. Yang dielu-elukan justru yang memberikan sensasi. Entah berapa banyak masyarakat kita yang sudah menjadi korban sensasi, mulai dari fenomena “Keong Racun”, “Lahirnya Anak Kambing milik Jokowi”, sampai “Om Telolet Om”. Jika muncul pertanyaan: Apa yang menarik dari keseluruhan fenomena itu? Kita sendiri mungkin tidak bisa menjawab secara yakin. Bisa jadi karena sensasional, bisa jadi karena memang kita adalah bangsa voyeur atau tukang ngintip. Kita begitu senang mengamat-amati kehidupan orang lain dan menertawakannya –itu sebabnya infotainment tidak pernah ada habisnya untuk dikonsumsi-. Perilaku kita sendirilah yang membuat Young Lex dan Awkarin menjadi terkenal dan banyak uang. Kita sendirilah yang memelihara kebesaran nama mereka. Semakin kita memaki, semakin mereka bergembira. Artinya, mereka kian dibicarakan dan namanya kian ditorehkan di dalam keabadian.
Sementara itu, saya sedang memandangi Youtube saya sendiri yang tengah mempertontonkan keterampilan bermain gitar klasik di tengah konser yang dihadiri oleh paling dua ratus orang saja. Sudah empat tahun dan views-nya belum beranjak dari angka seratusan. Mungkin saya menulis ini, karena iri pada Awkarin dan Young Lex. Sehingga dengan terang-terangan saya mengatakan: Mereka, ya, hebat juga.
Ini adalah tulisan yang pernah dimuat di website voxpop.id.
Sayangnya, website tersebut sekarang tidak aktif sehingga
artikel-artikel di dalamnya tidak dapat diakses. Artikel yang diposting
di blog ini adalah versi tulisan yang belum disunting oleh pihak
voxpop.id.
Comments
Post a Comment