Friedrich Nietzsche, filsuf yang meninggal tahun 1900 itu, bangkit kembali dan hidup di Indonesia di tahun 2019 ini. Kecerdasannya tetap sama, ia masih seorang filolog yang hebat dengan pengetahuan mitologi Yunani yang sangat lekat. Pada kehidupan sebelumnya, saking cerdasnya, ia dianugerahi gelar profesor di Universitas Basel pada usia yang masih sangat muda, yaitu 24 tahun.
Tahun ini, ia juga berusia 24 dan menjadi dosen di salah satu perguruan tinggi swasta terkenal di Indonesia. Sebagai anak muda yang brilian, ia rajin sekali menulis dan meneliti dengan antusiasme yang meledak-ledak. Namun tulisan maupun penelitiannya tidak pernah sampai tuntas, karena Nietzsche baru sadar, ada perbedaan antara ketika ia ada di Indonesia dengan ketika di Eropa. Bedanya, di Indonesia ia sangat sibuk.
Apa yang menjadi kesibukannya? Ia tidak hanya menjalankan tri dharma Perguruan Tinggi yaitu pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Lebih daripada itu, Nietzsche juga harus mengisi presensi, membimbing minimal tiga orang mahasiswa per hari, dan melakukan perwalian. Itu belum termasuk rapat rutin prodi dan rapat kepanitiaan acara lainnya seperti konferensi ataupun seminar. Nietzsche kelelahan. Malam hari ia gunakan untuk tidur saja – tidak seperti di masa lalunya dimana ia bisa menulis hingga pagi.
Suatu hari Nietzsche dipanggil oleh ketua program studi, karena tampak selalu gelisah dan kurang hepi. Kata si ketua program studi, “Nietzsche, saya lihat kamu lebih ke arah penelitian ya. Boleh coba tuliskanlah beberapa penelitian yang kamu suka, lalu masukkan ke jurnal-jurnal bereputasi internasional terindeks Scopus ya.” Scopus? Makhluk apa itu? Tanya Nietzsche pada dirinya sendiri. Namun ia mengabaikan pertanyaan itu dan fokus pada menulis saja.
Tulisan-tulisannya dahsyat dan mantap, begitu filosofis dan sastrawi seperti masa lalunya. Ia menulis banyak sekali, tentang Metamorfosis Roh, Karakteristik Apollonian dan Dyonisian, Mentalitas Tuan dan Budak, serta yang paling mahsyur, tesis tentang Matinya Tuhan – sebagaimana pernah ditulis dalam bukunya yang lampau berjudul Demikian Kata Zarathustra.
Dikirimkannya tulisan-tulisan yang ia banggakan – hasil pemikirannya bertahun-tahun ke belakang – tersebut ke jurnal-jurnal yang dimaksud, setelah bertanya pada koleganya yang sangat ahli tentang publikasi terindeks Scopus. Katanya, “Kalau tulisanmu bisa dimuat, kamu akan sangat berguna bagi negeri ini. Peringkat kampus kita akan naik, gengsi Indonesia akan lebih tinggi dari negara tetangga, dan kamu sendiri akan diberi uang oleh institusi.” Tampak hebat, batin Nietzsche, tapi ini tidak ada di kehidupannya yang lampau.
Tiga bulan setelah penelitiannya dikirimkan, Nietzsche mendapatkan respons melalui surel. Isinya adalah ulasan dari pakar-pakar lain tentang tulisannya. Ragam komentar tersebut umumnya negatif, ada yang mengatakan bahwa paparannya terlalu sastrawi (harusnya bahasanya lebih ketat dan ilmiah), ada yang bilang objek penelitiannya tidak jelas (bagaimana kita bisa meneliti roh?), ada yang juga mengatakan metodologinya tidak jelas (iya, karena tulisannya tampak sangat instingtif tanpa adanya teori-teori yang mendasari), bahkan ada yang dengan terus terang mengatakan: sampah!
Nietzsche terdiam. Ia merasa sangat kesepian. Bagaimana mungkin, tulisan-tulisannya, yang pernah diakui sebagai “literatur paling mengguncang peradaban Barat abad ke-20”, ternyata tidak diterima di dunia pendidikan di abad ke-21, di sebuah negara yang tidak pernah ia dengar di masa ketika dirinya hidup seratus tahun silam?
Untuk menyalurkan segala sepi, ia bertekad untuk fokus mengajar saja. Di masa lalunya, ia adalah dosen yang disegani – meski agak aneh -. Nietzsche dijuluki sebagai “orang yang mampu mengingat mitologi Yunani seperti pernah hidup di masa itu”. Di semester baru itu, ia mendapatkan mata kuliah yang menarik, yaitu sosiologi. “Wah, ini keahlian saya,” batinnya, selalu pada diri sendiri.
Namun dalam rapat prodi menjelang mulainya semester, sang ketua program studi mengingatkan: “Mahasiswa kita adalah customer kita. Pelanggan kita. Kita harus memperlakukannya dengan sebaik-baiknya. Mereka sudah bayar, mereka harus puas. Wajar kan? Iya kan?” Lalu disambut tepuk tangan meriah dosen-dosen yang lain. “Ingat pula bahwa kebijakan kemenristek dikti kita sudah mutlak. Bahwa universitas dibuat untuk memenuhi kebutuhan industri. Jadi mahasiswa kita harus diajarkan untuk siap kerja. Paham ya? Jangan diberi pelajaran yang aneh-aneh lah. Terutama buat kamu, Nietzsche!” kata ketua program studi, menunjuk dirinya terang-terangan.
Nietzsche berjalan lunglai ke ruang kelas. Di hadapannya, terdapat puluhan mahasiswa yang beberapa diantaranya menguap dan memainkan gawainya. Nietzsche membuka pelajaran dengan memperkenalkan diri: “Nama saya Nietzsche. Di kehidupan yang lama, saya dikenal sebagai filsuf pembunuh Tuhan. Saya menulis banyak sekali tulisan yang sering dijuluki para kritikus sebagai ‘filsafat martil’. Siapkah kalian belajar pada saya?”
Hening. Menguap.
Hingga akhirnya salah seorang murid memecah keheningan: “Lalu guna saya belajar pada Anda, untuk nanti saya kerja, apa ya?” Nietzsche terdiam. Ia merasa dihantam oleh Tuhan yang pernah ia singkirkan ratusan tahun silam. Perutnya mendadak mual. Rasanya ia ingin meneriakkan: “Saya mengajarkan pada kalian, agar berontak terhadap aturan yang ada. Saya mengajarkan pada kalian, agar menjadi tuan atas segala situasi yang terlalu membosankan. Saya mengajarkan pada kalian, untuk hidup dalam bahaya, dan membakar dermaga di belakang.”
Tapi apa daya. Tenggorokannya tercekat. Ia hanya bisa melangkah tanpa berkata sepatahpun ke luar kelas. Di lorong kampus, koleganya menyapa dengan ramah dan mengajaknya untuk ke kantin, minum kopi. Tak lama setelah duduk dan memesan, koleganya membuka pembicaraan tanpa memberi ia kesempatan, “Hei, Nietzsche, tahu tidak, kita ini nanti ada sertifikasi dosen loh. Lumayan ada tambahan uang. Lalu, nanti, sertifikat kamu jadi pembicara itu kumpulkan saja. Nanti jadi kum, nanti kamu bisa naik pangkat, nanti gajimu naik. Wah, asyik lah jadi dosen di Indonesia. Tidak usah pinter-pinter banget, yang penting rajin.”
Kepala Nietzsche makin pusing. Ia hendak rubuh.
Ini adalah tulisan yang pernah dimuat di website voxpop.id.
Sayangnya, website tersebut sekarang tidak aktif sehingga
artikel-artikel di dalamnya tidak dapat diakses. Artikel yang diposting
di blog ini adalah versi tulisan yang belum disunting oleh pihak
voxpop.id.
Comments
Post a Comment