Skip to main content

Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci

  (Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”.  Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan.  Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gramsci, salah sat

Jika Nietzsche Jadi Dosen di Indonesia

Friedrich Nietzsche, filsuf yang meninggal tahun 1900 itu, bangkit kembali dan hidup di Indonesia di tahun 2019 ini. Kecerdasannya tetap sama, ia masih seorang filolog yang hebat dengan pengetahuan mitologi Yunani yang sangat lekat. Pada kehidupan sebelumnya, saking cerdasnya, ia dianugerahi gelar profesor di Universitas Basel pada usia yang masih sangat muda, yaitu 24 tahun. 

Tahun ini, ia juga berusia 24 dan menjadi dosen di salah satu perguruan tinggi swasta terkenal di Indonesia. Sebagai anak muda yang brilian, ia rajin sekali menulis dan meneliti dengan antusiasme yang meledak-ledak. Namun tulisan maupun penelitiannya tidak pernah sampai tuntas, karena Nietzsche baru sadar, ada perbedaan antara ketika ia ada di Indonesia dengan ketika di Eropa. Bedanya, di Indonesia ia sangat sibuk.

Apa yang menjadi kesibukannya? Ia tidak hanya menjalankan tri dharma Perguruan Tinggi yaitu pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Lebih daripada itu, Nietzsche juga harus mengisi presensi, membimbing minimal tiga orang mahasiswa per hari, dan melakukan perwalian. Itu belum termasuk rapat rutin prodi dan rapat kepanitiaan acara lainnya seperti konferensi ataupun seminar. Nietzsche kelelahan. Malam hari ia gunakan untuk tidur saja – tidak seperti di masa lalunya dimana ia bisa menulis hingga pagi.

Suatu hari Nietzsche dipanggil oleh ketua program studi, karena tampak selalu gelisah dan kurang hepi. Kata si ketua program studi, “Nietzsche, saya lihat kamu lebih ke arah penelitian ya. Boleh coba tuliskanlah beberapa penelitian yang kamu suka, lalu masukkan ke jurnal-jurnal bereputasi internasional terindeks Scopus ya.” Scopus? Makhluk apa itu? Tanya Nietzsche pada dirinya sendiri. Namun ia mengabaikan pertanyaan itu dan fokus pada menulis saja. 

Tulisan-tulisannya dahsyat dan mantap, begitu filosofis dan sastrawi seperti masa lalunya. Ia menulis banyak sekali, tentang Metamorfosis Roh, Karakteristik Apollonian dan Dyonisian, Mentalitas Tuan dan Budak, serta yang paling mahsyur, tesis tentang Matinya Tuhan – sebagaimana pernah ditulis dalam bukunya yang lampau berjudul Demikian Kata Zarathustra.

Dikirimkannya tulisan-tulisan yang ia banggakan – hasil pemikirannya bertahun-tahun ke belakang – tersebut ke jurnal-jurnal yang dimaksud, setelah bertanya pada koleganya yang sangat ahli tentang publikasi terindeks Scopus. Katanya, “Kalau tulisanmu bisa dimuat, kamu akan sangat berguna bagi negeri ini. Peringkat kampus kita akan naik, gengsi Indonesia akan lebih tinggi dari negara tetangga, dan kamu sendiri akan diberi uang oleh institusi.” Tampak hebat, batin Nietzsche, tapi ini tidak ada di kehidupannya yang lampau.

Tiga bulan setelah penelitiannya dikirimkan, Nietzsche mendapatkan respons melalui surel. Isinya adalah ulasan dari pakar-pakar lain tentang tulisannya. Ragam komentar tersebut umumnya negatif, ada yang mengatakan bahwa paparannya terlalu sastrawi (harusnya bahasanya lebih ketat dan ilmiah), ada yang bilang objek penelitiannya tidak jelas (bagaimana kita bisa meneliti roh?), ada yang juga mengatakan metodologinya tidak jelas (iya, karena tulisannya tampak sangat instingtif tanpa adanya teori-teori yang mendasari), bahkan ada yang dengan terus terang mengatakan: sampah!

Nietzsche terdiam. Ia merasa sangat kesepian. Bagaimana mungkin, tulisan-tulisannya, yang pernah diakui sebagai “literatur paling mengguncang peradaban Barat abad ke-20”, ternyata tidak diterima di dunia pendidikan di abad ke-21, di sebuah negara yang tidak pernah ia dengar di masa ketika dirinya hidup seratus tahun silam? 

Untuk menyalurkan segala sepi, ia bertekad untuk fokus mengajar saja. Di masa lalunya, ia adalah dosen yang disegani – meski agak aneh -. Nietzsche dijuluki sebagai “orang yang mampu mengingat mitologi Yunani seperti pernah hidup di masa itu”. Di semester baru itu, ia mendapatkan mata kuliah yang menarik, yaitu sosiologi. “Wah, ini keahlian saya,” batinnya, selalu pada diri sendiri. 

Namun dalam rapat prodi menjelang mulainya semester, sang ketua program studi mengingatkan: “Mahasiswa kita adalah customer kita. Pelanggan kita. Kita harus memperlakukannya dengan sebaik-baiknya. Mereka sudah bayar, mereka harus puas. Wajar kan? Iya kan?” Lalu disambut tepuk tangan meriah dosen-dosen yang lain. “Ingat pula bahwa kebijakan kemenristek dikti kita sudah mutlak. Bahwa universitas dibuat untuk memenuhi kebutuhan industri. Jadi mahasiswa kita harus diajarkan untuk siap kerja. Paham ya? Jangan diberi pelajaran yang aneh-aneh lah. Terutama buat kamu, Nietzsche!” kata ketua program studi, menunjuk dirinya terang-terangan.

Nietzsche berjalan lunglai ke ruang kelas. Di hadapannya, terdapat puluhan mahasiswa yang beberapa diantaranya menguap dan memainkan gawainya. Nietzsche membuka pelajaran dengan memperkenalkan diri: “Nama saya Nietzsche. Di kehidupan yang lama, saya dikenal sebagai filsuf pembunuh Tuhan. Saya menulis banyak sekali tulisan yang sering dijuluki para kritikus sebagai ‘filsafat martil’. Siapkah kalian belajar pada saya?”

Hening. Menguap.

Hingga akhirnya salah seorang murid memecah keheningan: “Lalu guna saya belajar pada Anda, untuk nanti saya kerja, apa ya?” Nietzsche terdiam. Ia merasa dihantam oleh Tuhan yang pernah ia singkirkan ratusan tahun silam. Perutnya mendadak mual. Rasanya ia ingin meneriakkan: “Saya mengajarkan pada kalian, agar berontak terhadap aturan yang ada. Saya mengajarkan pada kalian, agar menjadi tuan atas segala situasi yang terlalu membosankan. Saya mengajarkan pada kalian, untuk hidup dalam bahaya, dan membakar dermaga di belakang.”

Tapi apa daya. Tenggorokannya tercekat. Ia hanya bisa melangkah tanpa berkata sepatahpun ke luar kelas. Di lorong kampus, koleganya menyapa dengan ramah dan mengajaknya untuk ke kantin, minum kopi. Tak lama setelah duduk dan memesan, koleganya membuka pembicaraan tanpa memberi ia kesempatan, “Hei, Nietzsche, tahu tidak, kita ini nanti ada sertifikasi dosen loh. Lumayan ada tambahan uang. Lalu, nanti, sertifikat kamu jadi pembicara itu kumpulkan saja. Nanti jadi kum, nanti kamu bisa naik pangkat, nanti gajimu naik. Wah, asyik lah jadi dosen di Indonesia. Tidak usah pinter-pinter banget, yang penting rajin.”

Kepala Nietzsche makin pusing. Ia hendak rubuh. 

 

Ini adalah tulisan yang pernah dimuat di website voxpop.id. Sayangnya, website tersebut sekarang tidak aktif sehingga artikel-artikel di dalamnya tidak dapat diakses. Artikel yang diposting di blog ini adalah versi tulisan yang belum disunting oleh pihak voxpop.id.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat