Istilah "honest review" atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan "honest review" jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam "honest review", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement. Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu dilabeli dengan "honest review" karena artinya si pengulas itu kemungkinan besar tidak disponsori siapapun.
Pertanyaannya, adakah yang dikatakan "honest review", jika "honest" diartikan sebagai "apa adanya", "terbuka", atau "adil dalam pikiran"? Ketika seseorang merasakan makanan yang tidak enak, maka perasaan itu kita sebut saja sebuah kejujuran. Namun saat memilih ekspresi bagaimana "ketidakenakan" itu disampaikan, tidakkah ada sejumlah pertimbangan, yang membuat ulasan itu tidak sepenuhnya jujur? Sebagai contoh, katakanlah makanan itu memang tidak enak. Kita diberi beberapa pilihan ekspresi mulai dari berkata "tidak enak", "pengen muntah", atau misalnya, "kurang garem dikit". Pilihan-pilihan ekspresi tersebut dapat dikaitkan dengan hal lain, seperti medium yang digunakan untuk menyampaikan ulasan (TikTok, X, blog, dan lain-lain) serta ini yang terpenting: motif dalam menulis ulasan.
Kita bahas dulu dari persoalan medium. Menulis ulasan di blog dengan merekam konten untuk diunggah di TikTok tentu memiliki ekspresi yang berbeda. Ulasan yang ditulis di blog biasanya lebih tertata, setidaknya terikat kaidah bahasa, dan bisa lebih berpanjang-panjang ketimbang TikTok yang memang ditujukan untuk audiens yang enggan melihat sesuatu yang bertele-tele. Meski tidak terlalu valid, tapi bayangan saya, orang lebih mudah untuk berkata "jujur" via TikTok ketimbang di blog, karena alasan durasi dan "ketertontonan" tadi. Karena waktunya pendek, orang ingin langsung pada pokoknya: enak atau nggak, bagus atau nggak. Sementara menulis di blog, karena bisa berpanjang-panjang, si pengulas memiliki kesempatan untuk menyusun argumen dan menjabarkan alasan mengapa suatu produk itu bagus atau tidak bagus, enak atau tidak enak. Namun poinnya, "kejujuran" bukan semata-mata tentang "kesinambungan antara apa yang dirasakan dan apa yang dikatakan", melainkan juga dideterminasi oleh hal lain, dalam hal ini terkait lewat medium mana ulasan tersebut disampaikan.
Berikutnya, perkara motif. Dalam melakukan ulasan, saya pikir tidak ada orang yang begitu murni ingin mengulas demi ulasan itu sendiri. Pasti ada motif-motif lain di baliknya. Minimal, si pengulas punya konten, konten itu untuk dibaca/ ditonton orang. Kalau bacaan atau tontonan itu belum bisa menghasilkan uang (monetisasi), maka setidaknya si pengulas mendapat pengakuan, "Oh dia bisa menulis", "Oh dia punya selera", "Oh dia membaca buku itu", dan sebagainya. Itulah motif kepentingan diri yang bisa dikatakan cukup mendasar. Lainnya, ada motif terkait "caper". Bisa jadi si pengulas ingin di-notice oleh penulis atau pemilik restoran atau pihak produsen. Dengan memberikan ulasan baik atau membangun misalnya, si pengulas ingin mendapatkan kredit, pujian, atau bahkan ganjaran. Maka itu, ulasan "jujur"-nya bisa dibumbui segala macam fitur bombastis supaya keren dan "menjual". Apakah itu masih bisa dikatakan jujur? Saya mulai ragu.
Lainnya, bisa juga si pengulas punya motif menghancurkan produk dan produsennya, dengan cara mengulas dalam versi "jujur" yang mengarah pada ulasan buruk. Atas motif yang demikian, ekspresi pun bisa jadi diubah. Tidak perlu komentar-komentar membangun atau menunjukkan sisi positifnya terlebih dahulu. Ulasan bisa di-framing seolah-olah produk dan produsennya serba buruk. Gaya ekspresi pun kadang-kadang bisa kasar sekalian. Jika niat menghancurkan dianggap terlalu keras, bisa juga niat ini berasal dari hal lain, misalnya perbedaan pandangan atau ideologi antara si pengulas dan yang diulas. Si pengulas misalnya, adalah seorang sosialis, tapi ideologi yang ada pada produk yang diulas, bermuatan liberal. Si pengulas bisa mengkritik dari sudut pandangnya, yang malah jatuh pada penghakiman ideologis (padahal mungkin secara tulisan baik-baik saja). Dalam konteks makanan, si pengulas adalah orang yang berpegang teguh bahwa serabi hanya dua macam yaitu oncom dan kinca, sementara makanan yang diulasnya melebarkan varian serabi pada coklat, keju, dan lain-lain, bisa saja berpengaruh pada hasil ulasannya.
Pada pokoknya, "honest review" adalah istilah yang rancu, menempatkan pengulas pada posisi yang "tak bersalah", seolah-olah "aku kan udah jujur, apa adanya, ya kalau orang gak terima, itu masalah dia". Dengan demikian, si pengulas, atas nama kejujurannya, memposisikan si produsen sebagai anti kritik. Namun perlu diingat, bahwa "honest review" juga dilatari oleh hal-hal lain yang mungkin bersifat tak netral atau malah politis, sehingga apa yang dimaksud "jujur", bisa jadi tidak jujur-jujur amat. Seseorang yang marah akibat diulas buruk belum tentu bisa langsung dicap anti kritik. Mungkin ia hanya mencoba menerka maksud politis di balik si pengulas. Meski demikian, apapun ulasannya, meski bermuatan politis, pihak yang diulas seyogianya tetap melakukan evaluasi.
Comments
Post a Comment