Tidak berapa lama setelah saya mengetikkan kata "makanan kucing" di pesan WhatsApp untuk istri, di YouTube tiba-tiba muncul iklan Whiskas. Tidak berapa lama saya membicarakan soal pizza bersama teman lewat WhatsApp, di YouTube muncul juga iklan pizza. Di kendaraan saat mendengarkan Spotify, sedang asyik-asyiknya mendengarkan albumnya Michael Franks, iklan selalu menyela, yang mengarahkan kita pada playlist atau siaran lain (maklum, bukan premium). Saya tidak tahu, tapi pastilah dunia algoritma ini sudah canggih, mereka sudah mencatat tempat-tempat yang sering saya kunjungi di GMaps sehingga iklan-iklannya pun pasti menyesuaikan. Iya, iklan kopi.
Hampir setiap saat kita dibombardir iklan. Iklan-iklan tersebut tidak lagi seperti era media massa yang tembakannya membabibuta seperti machine gun. Iklan-iklan hari ini menembakkan sasarannya seperti sniper. Mengeceng dengan hati-hati, tapi tembakannya diusahakan langsung sekali mati. Lucunya, kita bukan benar-benar dicari oleh sniper, tapi kita sendirilah yang menyodorkan diri pada si penembak jitu. Kita sendirilah yang mengumbar informasi tentang siapa diri kita, termasuk apa yang kita suka, apa yang kita cari, siapa pasangan kita, bahkan dimana kita tinggal. Mungkin kita tidak benar-benar vulgar menginformasikan dimana kita tinggal via media sosial, tapi masa sih, tidak pernah bagi-bagi alamat via fitur chat pada orang terdekat? Bahkan kita pun sering diminta persetujuan lokasi setiap akan mengakses aplikasi atau situs tertentu.
Teman saya bahkan pernah melakukan tindakan bodoh. Ia dengan bangganya mengetes password-nya sendiri di sebuah aplikasi "pengecek kekuatan password" dan mengaku bahwa password-nya tidak dapat dijebol hingga jutaan tahun cahaya. Di mata platform yang berkuasa, teman saya itu tidak sedang mengecek kekuatan password-nya, melainkan sedang menjebol keamanannya sendiri. Belum lagi fitur-fitur di media sosial seperti Instagram Story atau cuitan di Twitter / X yang memungkinkan kita melaporkan apa yang sedang kita lakukan di waktu dan lokasi yang spesifik. Kita lagi-lagi menyerahkan diri sendiri sebagai sasaran tembak bagi sniper-sniper bernama advertiser (bahkan mungkin juga orang-orang jahat!).
Menariknya, seolah-olah tidak ada yang dirugikan di sana. Semua dibuat seolah-olah konsekuensi atas putusan kita sendiri. Salah sendiri tidak bayar premium, dibombardir iklan deh. Salah sendiri isi profilnya lengkap, disasar iklan deh. Salah sendiri kegiatannya diceritain via story, ketahuan deh lagi apa dan dimana. Namun di sisi lain kita tidak benar-benar punya pilihan: tidak bayar premium karena mungkin tidak ada uang; kita mengisi profil selengkap mungkin karena percaya bahwa semakin lengkap data, semakin tinggi kredibilitas seseorang; kita rajin update story atau cuitan supaya terlihat senantiasa aktual dan banyak kegiatan. Semua yang dilakukan itu hampir seperti standar kebaikan sekaligus cara bertahan hidup di masa sekarang. Pada pokoknya, kita dibuat "normal" atas segala yang kita perbuat di media sosial.
Problem sasaran lainnya adalah perkontenan. Saat ini tidak semua perbuatan baik menjadi tulus dan mengharap ridho ilahi untuk dibalas berlipat ganda. Ridho ilahi diterjemahkan menjadi monetisasi lewat konten. Saya mau memberikan informasi pada kalian secara gratis, tapi dengan kalian menontonnya, saya mendapat uang dari sana. Saya mau memberi uang pada pengemis, tapi mereka harus mau direkam dan menjadi konten yang menggugah bagi netijen. Saya mau menghibur kalian dengan adegan berbahaya, tapi mesti sekalian menggenjot traffic. Lagi-lagi orang-orang menjadi sasaran untuk pengemasan sedemikian rupa demi konten digital, untuk ditonton oleh sasaran lainnya.
Dengan demikian, privasi adalah omong kosong karena segala bentuk kegiatan privat, pertama, bisa jadi kita sendirilah yang menyebarluaskannya menjadi konten dan yang kedua, kemanapun kita bersembunyi atas nama kegiatan privat, selama terhubung dengan internet, maka kita sekaligus sasaran empuk oleh berbagai iklan. Kita bisa saja memutus hubungan dengan internet dan hidup melebur bertatap muka secara luring kemana-mana. Namun ingat, para pembuat konten tetap mengintai, mengobjektivikasi kita untuk menjadi tontonan dunia.
Comments
Post a Comment