Skip to main content

Tentang Pemikiran Marquis de Sade

Sekilas tentang Marquis de Sade   Marquis de Sade lahir di Paris, 2 Juni 1740 dengan nama Donatien Alphonse François de Sade. Ayahnya adalah tuan tanah dan pemilik properti sehingga dapat dikatakan bahwa de Sade berasal dari keluarga aristokrat. Pada usia 10 – 14 tahun, de Sade bersekolah di sekolah Yesuit bernama Louis le Grand. Di sekolah tersebut, de Sade sering mendapat hukuman penderaan atau pencambukan ( flagellation ). Tidak hanya itu, ia juga sering melihat orang-orang di sekolah tersebut mencambuk dirinya sendiri sebagai hukuman.  Semasa hidupnya, de Sade sering keluar masuk penjara dengan tuduhan terkait penistaan ( blasphemy ) dan percobaan pembunuhan. Artinya, perilaku seksual ganjil de Sade yang seringkali melakukan penyiksaan dalam melakukan hubungan seksual tidak masuk ke dalam alasan mengapa ia sering dipenjara. De Sade menikah dengan Renée-Pelagie yang meski mengetahui perilaku seksualnya yang ganjil, setia menemaninya hingga lebih dari dua puluh tahun. Meski ...

Sasaran


Tidak berapa lama setelah saya mengetikkan kata "makanan kucing" di pesan WhatsApp untuk istri, di YouTube tiba-tiba muncul iklan Whiskas. Tidak berapa lama saya membicarakan soal pizza bersama teman lewat WhatsApp, di YouTube muncul juga iklan pizza. Di kendaraan saat mendengarkan Spotify, sedang asyik-asyiknya mendengarkan albumnya Michael Franks, iklan selalu menyela, yang mengarahkan kita pada playlist atau siaran lain (maklum, bukan premium). Saya tidak tahu, tapi pastilah dunia algoritma ini sudah canggih, mereka sudah mencatat tempat-tempat yang sering saya kunjungi di GMaps sehingga iklan-iklannya pun pasti menyesuaikan. Iya, iklan kopi. 

Hampir setiap saat kita dibombardir iklan. Iklan-iklan tersebut tidak lagi seperti era media massa yang tembakannya membabibuta seperti machine gun. Iklan-iklan hari ini menembakkan sasarannya seperti sniper. Mengeceng dengan hati-hati, tapi tembakannya diusahakan langsung sekali mati. Lucunya, kita bukan benar-benar dicari oleh sniper, tapi kita sendirilah yang menyodorkan diri pada si penembak jitu. Kita sendirilah yang mengumbar informasi tentang siapa diri kita, termasuk apa yang kita suka, apa yang kita cari, siapa pasangan kita, bahkan dimana kita tinggal. Mungkin kita tidak benar-benar vulgar menginformasikan dimana kita tinggal via media sosial, tapi masa sih, tidak pernah bagi-bagi alamat via fitur chat pada orang terdekat? Bahkan kita pun sering diminta persetujuan lokasi setiap akan mengakses aplikasi atau situs tertentu. 

Teman saya bahkan pernah melakukan tindakan bodoh. Ia dengan bangganya mengetes password-nya sendiri di sebuah aplikasi "pengecek kekuatan password" dan mengaku bahwa password-nya tidak dapat dijebol hingga jutaan tahun cahaya. Di mata platform yang berkuasa, teman saya itu tidak sedang mengecek kekuatan password-nya, melainkan sedang menjebol keamanannya sendiri. Belum lagi fitur-fitur di media sosial seperti Instagram Story atau cuitan di Twitter / X yang memungkinkan kita melaporkan apa yang sedang kita lakukan di waktu dan lokasi yang spesifik. Kita lagi-lagi menyerahkan diri sendiri sebagai sasaran tembak bagi sniper-sniper bernama advertiser (bahkan mungkin juga orang-orang jahat!). 

Menariknya, seolah-olah tidak ada yang dirugikan di sana. Semua dibuat seolah-olah konsekuensi atas putusan kita sendiri. Salah sendiri tidak bayar premium, dibombardir iklan deh. Salah sendiri isi profilnya lengkap, disasar iklan deh. Salah sendiri kegiatannya diceritain via story, ketahuan deh lagi apa dan dimana. Namun di sisi lain kita tidak benar-benar punya pilihan: tidak bayar premium karena mungkin tidak ada uang; kita mengisi profil selengkap mungkin karena percaya bahwa semakin lengkap data, semakin tinggi kredibilitas seseorang; kita rajin update story atau cuitan supaya terlihat senantiasa aktual dan banyak kegiatan. Semua yang dilakukan itu hampir seperti standar kebaikan sekaligus cara bertahan hidup di masa sekarang. Pada pokoknya, kita dibuat "normal" atas segala yang kita perbuat di media sosial. 

Problem sasaran lainnya adalah perkontenan. Saat ini tidak semua perbuatan baik menjadi tulus dan mengharap ridho ilahi untuk dibalas berlipat ganda. Ridho ilahi diterjemahkan menjadi monetisasi lewat konten. Saya mau memberikan informasi pada kalian secara gratis, tapi dengan kalian menontonnya, saya mendapat uang dari sana. Saya mau memberi uang pada pengemis, tapi mereka harus mau direkam dan menjadi konten yang menggugah bagi netijen. Saya mau menghibur kalian dengan adegan berbahaya, tapi mesti sekalian menggenjot traffic. Lagi-lagi orang-orang menjadi sasaran untuk pengemasan sedemikian rupa demi konten digital, untuk ditonton oleh sasaran lainnya. 

Dengan demikian, privasi adalah omong kosong karena segala bentuk kegiatan privat, pertama, bisa jadi kita sendirilah yang menyebarluaskannya menjadi konten dan yang kedua, kemanapun kita bersembunyi atas nama kegiatan privat, selama terhubung dengan internet, maka kita sekaligus sasaran empuk oleh berbagai iklan. Kita bisa saja memutus hubungan dengan internet dan hidup melebur bertatap muka secara luring kemana-mana. Namun ingat, para pembuat konten tetap mengintai, mengobjektivikasi kita untuk menjadi tontonan dunia.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...