Waktu saya dikontak Pak Bambang Sugiharto untuk mengajar di Fakultas Filsafat UNPAR empat tahun lalu, saya tidak diberi mata kuliah yang katakanlah, "khas filsafat". Saya diminta untuk mengajar mata kuliah Public Relation, yang mungkin lebih sesuai dengan gelar S2 saya di bidang ilmu komunikasi. Keberadaan mata kuliah tersebut di FF memang agak aneh. Namun saya tidak banyak bertanya-tanya karena kira-kira tahu maksudnya, yakni supaya anak-anak filsafat lebih gaul, bisa berkomunikasi lebih luas, dan tidak terjebak dalam menara gading.
Kaprodi FF, Pak Djunatan, ternyata juga tidak banyak memberi rambu-rambu atau arahan bagi materi kelas ini. Sepertinya dibebaskan saja, yang penting luarannya "jelas". Waktu itu murid di kelas hanya ada empat, yang mana salah satunya adalah Nino, yang kelak menjadi mitra pendiri Kelas Isolasi. Saya juga sebenarnya bingung apa yang harus diajarkan. Terkadang saya mengacu pada public relation sebagai sebuah profesi, terkadang saya membicarakan tentang bagaimana menghubungkan filsafat dan orang-orang awam, tapi pada pokoknya, mereka semua, murid-murid, harus presentasi di depan publik sebagai tugas akhir.
Untungnya, waktu tugas akhir angkatan pertama kelas Public Relation, pandemi sudah melanda sehingga mereka bisa melakukan presentasi secara daring (jadinya tidak seberapa menakutkan karena tidak perlu menghadapi publik secara tatap muka). Kegiatan presentasi daring tersebut juga berlangsung hingga dua angkatan setelahnya. Baru di angkatan ini, anak-anak Public Relation melakukan presentasi luring, tepatnya di Ruang Dini. Mereka membawakan tema "filsuf-filsuf kurang terkenal".
Tidak keliru jika mata kuliah Public Relation ini berjasa melahirkan Kelas Isolasi. Di kelas itu, saya dipertemukan dengan Nino, dan juga karena memerlukan semacam luaran untuk terhubung dengan publik, kami kemudian "terpaksa" membuat platform Kelas Isolasi ini. Namun dalam perjalanannya, Kelas Isolasi tidak bisa dikatakan berafiliasi dengan FF UNPAR, karena kami banyak menjalani kegiatan-kegiatan secara mandiri dan berhubungan dengan lebih banyak orang-orang non FF UNPAR.
Selesai tahun keempat, kelas Public Relation kelihatan sebagai kelas yang "tidak jelas prosesnya, tapi jelas hasilnya". Saya kerap memodifikasi materi ajar tiap tahunnya. Namun yang pasti ada adalah anak-anak harus menganalisis berbagai jenis penampilan public speaking, mencoba menuliskan gagasan filsuf dengan sesederhana mungkin, dan mendiskusikan bagaimana seharusnya seorang pengkaji filsafat mempresentasikan materi filsafat di hadapan publik.
Namun pada akhirnya, bukan menjadi hal penting apakah yang dibawakannya tersebut, kelak, adalah materi filsafat atau bukan. Hal yang lebih pokok adalah apa yang dipresentasikan depan orang-orang itu adalah sesuatu yang menarik atau dibuat menarik. Dari mana asalnya kemenarikan, orang-orang komunikasi biasa menitikberatkan perkara retorika (ini juga mereka pelajari melalui teks-teks Aristoteles dan Cicero).
Namun kemenarikan bukan melulu soal "jago bacot", tapi juga koherensi berpikir. Nah, soal yang terakhir ini yang semestinya menjadi salah satu keunggulan anak-anak filsafat. Itulah sebabnya, saya paling tidak setuju jika lulusan filsafat susah cari kerja. Justru mereka itu bisa bekerja sebagai apapun. Literally sebagai apapun. Kemampuannya dalam koherensi berpikir sudah semestinya dibutuhkan di banyak lapangan pekerjaan. Poin pentingnya tinggal bagaimana siapapun itu, dengan kebijaksanaannya, bisa berjejaring dengan manusia lain supaya bisa bertahan dan menghasilkan. Mata kuliah Public Relation, pada dasarnya, mengajarkan itu.
Comments
Post a Comment