Saya agak heran saat bisa menamatkan Nyanyi Sunyi (Cantrik Pustaka, 2023) karya Uly Siregar dalam sekali duduk. Cara berceritanya begitu mengalir, pemilihan katanya lincah, dan topik-topiknya menggoda. Jujur, tadinya saya tidak berharap banyak pada tulisan-tulisan berisi kisah pribadi. Dalam bayangan saya, itu kan catatan personal, mungkin berharga untuk si penulis sendiri, tapi mungkin kurang relevan bagi orang lain.
Namun pikiran tersebut terbantahkan oleh perjalanan menulis saya sendiri. Saya menerjemahkan biografi Jacques Derrida (Puruṣa, 2022). Pada teks yang ditulis oleh Benoît Peeters tersebut, apa yang dipikirkan Derrida tidaklah seberapa menjadi titik berat. Hal yang lebih ditekankan adalah pergulatannya dengan masalah mental, perjumpaan pertamanya dengan calon istri di masa depan, Marguerite Aucotourier; kegalauannya saat dipanggil untuk wajib militer, hingga perjalanannya ke Amerika Serikat dengan kapal laut.
Poin berharga dari sebuah catatan personal justru bukan perkara kehebatan siapapun itu di mata orang-orang, tetapi kenyataan bahwa hidup manusia adalah selalu tentang pertarungan dengan dirinya sendiri. Kita semua punya kehidupan seksual, kisah perseteruan dengan keluarga, dan memori masa kecil yang terus menghantui. Iya, kita hidup bersama kesunyian masing-masing.
Dalam tulisannya, Uly tidak menyembunyikan kenyataan bahwa ia hidup dalam keluarga ber-privilege. Ayahnya adalah pebisnis properti sukses yang sanggup menyekolahkan anak-anaknya (yang berjumlah sepuluh) dengan baik, bahkan hingga ada yang ke luar negeri. Meski terdapat sisipan cerita getir tentang kondisi keluarga yang sempat susah, Uly tidak mengglorifikasi kisah-kisah tersebut seolah-olah ia adalah orang yang “lahir dari keluarga petani miskin”.
Namun Nyanyi Sunyi bukan juga berisi kisah inspiratif – motivasional. Kisah-kisah inspiratif ditandai dengan kesuksesan sebagai ujung dari “kerja keras”. Sementara dalam tulisan Uly, kesuksesan menjadi titik awal. Apa yang terjadi sesudah kesuksesan, itulah problem yang lebih “mengerikan”.
Dalam catatan Uly sendiri, kehidupan percintaan bukanlah sesuatu yang sulit. Ia tergolong mudah menggaet laki-laki, termasuk dari kalangan bule. Karirnya sebagai wartawan pun tergolong cemerlang. Saat menikah dengan pria pilihannya, ia pindah ke Arizona, menetap tiga belas tahun, sebelum pindah ke New York pada tahun 2019. Memiliki tiga anak, Uly digambarkan tinggal di “rumah yang asri dengan halaman belakang luas dan kolam renang di pinggiran kota yang menyenangkan”. Sekilas, terlihat seperti kehidupan ideal, idaman banyak orang.
Namun di sini juga letak kesunyiannya. Kebahagiaan Uly bukan terletak pada pencapaian atas impian banyak orang. Kebahagiaan Uly, kenyataannya, tidak pernah berhenti diperjuangkan. Ia menuliskan suatu periode kehidupannya sebagai “Segala sesuatunya buruk. Hidupku buruk …”, “Aku hanya jenuh dan ingin berfantasi …” atau “Menangis sudah jadi santapan sehari-hari…”.
Hal inilah yang seharusnya membukakan mata orang-orang yang mudah menghakimi pihak lain dengan “kurang bersyukur”, “kamu masih untung …”, atau “saya lebih parah …”. Tidak peduli kondisi eksternalnya seperti apa, problem eksistensi adalah selalu problem yang tidak mudah untuk masing-masing orang.
Bayangan kita tentang hidup di negeri Paman Sam mungkin terdengar indah jika acuannya adalah film-film Holywood yang menjual impian. Namun Uly seolah mengingatkan kita: terkadang keindahan hidup dalam impian, memang lebih baik tinggal dalam impian.
Dalam Nyanyi Sunyi, Uly juga tidak menutup-nutupi kehidupan seksualnya yang cukup dinamis. Lahir dari keluarga konservatif, Uly kelihatannya enggan dikekang dalam urusan tubuh. Justru ketubuhannya itulah yang membuatnya mampu menikmati hidup dengan segala risikonya.
Agaknya terjawab mengapa saya mudah sekali menamatkan buku ini, selain dari gaya bahasanya yang lincah dan mengalir. Nyanyi Sunyi adalah cerita tentang “naluri”, tentang “sensasi”, yang menjadi penuntun Uly dalam menjalani kehidupannya. Uly tidak sedang berkhotbah tentang moral dan akal sehat, justru ia tengah membicarakan apa yang dibenarkan Kahlil Gibran dalam Sang Nabi, bahwa “cinta bisa saja memahkotai dan menyalibmu, membelai ujung-ujung ranting sekaligus menggoyang akar-akarmu hingga tercabut dari bumi”.
Dengan demikian, tulisan Uly adalah sekaligus ajakan untuk mengikuti insting, yang dalam ceritanya begitu diragukan oleh orang di sekitarnya (“Bagaimana jika hubunganmu gagal?”). Uly tahu bahwa feeling-nya bisa saja keliru. Bisa saja ia hanya termakan cinta buta atau nafsu sesaat. Namun justru di situlah poinnya, bahwa kalaupun jalan naluri ini konsekuensinya buruk, Uly rasa-rasanya akan tetap puas karena telah membiarkan dirinya "bersimbah darah oleh cinta". Hal demikian baginya, mungkin, lebih baik ketimbang membicarakan teori-teori tentang bagaimana berenang, tanpa pernah mencebur ke air.
Comments
Post a Comment