Skip to main content

Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci

  (Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”.  Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan.  Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...

Demokrasi


Sebagai persiapan dalam mengikuti kegiatan yang diadakan oleh Salihara, saya menjadi baca-baca pemikiran Jacques Rancière. Karena agak tergesa-gesa, saya tidak bisa dikatakan tuntas dalam membaca pemikiran Rancière (bukunya juga cukup banyak), tetapi setidaknya dalam tulisan ini saya mencoba untuk menuangkan apa yang saya dapatkan dari pembacaan yang seadanya itu. 

Selama ini, pemikiran saya tentang demokrasi banyak dipengaruhi oleh Rousseau dan sedikit tentang Habermas. Dalam pandangan Rousseau, demokrasi adalah perkara kehendak umum (general will) yang dibentuk dalam suatu kesepahaman kolektif. Rousseau menganggap mereka yang punya kepentingan berbeda secara individu sebagai orang yang tercemar oleh peradaban modern yang mengunggulkan cinta-diri secara berlebihan. Artinya, peradaban modern adalah katalisator bagi sifat-sifat mau menang sendiri yang membuat kehendak umum menjadi rusak dan gagal mencapai tujuannya (untuk menjadi maslahat bagi kepentingan bersama). 

Bagaimana dengan Habermas? Habermas mengedepankan dialog rasional dalam demokrasi, yang mengacu pada prinsip deliberatif untuk menghasilkan semacam konsensus. Salah satu sumbangsih pemikiran demokrasi Habermas yang saya sukai adalah perkara ranah publik. Bagi Habermas, ruang-ruang publik yang dibuka oleh kaum borjuis justru membuat rakyat bisa berdemokrasi secara sehat tanpa kendali otoritas. Contoh gampangnya, jika kita ngopi di Starbucks, kita justru lebih bisa membicarakan marxisme ketimbang misalnya, di alun-alun atau taman kota yang notabene di bawah pengawasan pemerintah. 

Keduanya sukar dibantah, sekurang-kurangnya punya semangat yang mirip dengan demokrasi Yunani Kuno dimana hampir seluruh populasi laki-laki dewasa nimbrung untuk membicarakan kepentingan umum dalam bentuk musyawarah. Mungkin mirip juga dengan sila keempat Pancasila yang mengedepankan musyawarah dalam mencapai mufakat. Bentuk semacam ini juga, setidaknya mengacu pada pemikiran Rousseau, sekaligus menjadi kritik atas demokrasi perwakilan yang seringkali timpang antara kedudukan wakil dan mereka-mereka yang diwakilkan. 

Namun gagasan Rancière membuat saya mempertanyakan: benarkah mereka yang berbeda harus langsung dituding sebagai individu yang tercemar perasaan cinta-diri? Jika demokrasi mesti berujung pada konsensus, tidakkah hal demikian adalah utopis dalam corak kehidupan masa kini yang diwarnai jutaan kepentingan? Bagaimana mungkin bisa terjadi kehendak umum, jika di media sosial saja, orang berseliweran mencuit apapun dan keinginan mereka benar-benar berbeda satu sama lain secara individual? Mungkin pandangan Rousseau dan Habermas bisa dipahami dalam konteks musyawarah kelompok kecil, tetapi sama sekali sukar dibayangkan dalam populasi besar yang melibatkan banyak keinginan. 

Maka itu Rancière menawarkan pandangan bahwa demokrasi justru adalah membuat segalanya menjadi tampak, yang berdampak pada terjadinya disensus. Rancière beranggapan bahwa setiap orang adalah setara tanpa kecuali, berhak berpikir, berhak berbicara, berhak mengutarakan kegelisahan tentang kehidupan bermasyarakat, yang membuat setiap ungkapan-ungkapan itu menjadi sekaligus politis, sekaligus menciptakan ketidaksetujuan dalam proses demokrasi apapun. 

Misalnya, saya seorang tukang sepatu. Saya tidak pernah punya urusan dengan kehidupan bermasyarakat secara lebih luas karena fokus saya sehari-hari hanyalah mengerjakan sepatu. Lalu suatu hari jalanan menuju tempat kerja tiba-tiba macet parah. Rupanya ada orang-orang yang sedang berdemonstrasi menentang kebijakan pemerintah. Saya kemudian ikut mengemukakan pendapat tentang peristiwa tersebut, entah soal kemacetannya, entah soal poin tuntutannya, tapi saat saya serta merta terlibat dalam kehidupan bermasyarakat tersebut, saya pasti menciptakan ketaksepahaman atau disensus. 

Konsensus, bagi Rancière, di sisi lain, justru kerap mensyaratkan pembungkaman yang lain. Sebuah konsensus tidak pernah selalu konsensus untuk semuanya, melainkan harus ada yang mengalah, harus ada yang tidak dilibatkan, atau bahkan disingkirkan. "Konsensus" tentang Pancasila di masa Orde Baru misalnya, adalah sekaligus tentang penyingkiran atas tafsir Pancasila yang lain, katakanlah dari kaum marxis. Padahal marxis juga secara historis dan ideologis terlibat di dalam perumusan Pancasila dan sudah semestinya mereka diberi tempat. 

Bagi Rancière, demokrasi adalah tempat dimana setiap suara diberi tempat, termasuk mereka yang tersingkirkan dan terpinggirkan. FPI mungkin sempat meresahkan, tapi mereka adalah bagian dari demokrasi juga. Memberangus suara mereka berarti menempatkan demokrasi pada konsensus yang memaksa. Apalagi suara-suara dari kelompok LGBT, disabilitas, dan kelompok minoritas, mesti diangkat meski pastinya menciptakan disensus. 

Saya menikmati disensus setiap menceburkan diri pada pergolakan di Twitter. Setiap orang bicara, setiap orang bisa berdebat dengan siapa saja, setiap orang bisa saling membenci, setiap orang bisa saling menyumpahserapahi. Tidak perlu ada yang sepaham, karena demokrasi bukanlah tentang kesepahaman. Demokrasi adalah pengradikalan suara-suara.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...