Sebagai persiapan dalam mengikuti kegiatan yang diadakan oleh Salihara, saya menjadi baca-baca pemikiran Jacques Rancière. Karena agak tergesa-gesa, saya tidak bisa dikatakan tuntas dalam membaca pemikiran Rancière (bukunya juga cukup banyak), tetapi setidaknya dalam tulisan ini saya mencoba untuk menuangkan apa yang saya dapatkan dari pembacaan yang seadanya itu.
Selama ini, pemikiran saya tentang demokrasi banyak dipengaruhi oleh Rousseau dan sedikit tentang Habermas. Dalam pandangan Rousseau, demokrasi adalah perkara kehendak umum (general will) yang dibentuk dalam suatu kesepahaman kolektif. Rousseau menganggap mereka yang punya kepentingan berbeda secara individu sebagai orang yang tercemar oleh peradaban modern yang mengunggulkan cinta-diri secara berlebihan. Artinya, peradaban modern adalah katalisator bagi sifat-sifat mau menang sendiri yang membuat kehendak umum menjadi rusak dan gagal mencapai tujuannya (untuk menjadi maslahat bagi kepentingan bersama).
Bagaimana dengan Habermas? Habermas mengedepankan dialog rasional dalam demokrasi, yang mengacu pada prinsip deliberatif untuk menghasilkan semacam konsensus. Salah satu sumbangsih pemikiran demokrasi Habermas yang saya sukai adalah perkara ranah publik. Bagi Habermas, ruang-ruang publik yang dibuka oleh kaum borjuis justru membuat rakyat bisa berdemokrasi secara sehat tanpa kendali otoritas. Contoh gampangnya, jika kita ngopi di Starbucks, kita justru lebih bisa membicarakan marxisme ketimbang misalnya, di alun-alun atau taman kota yang notabene di bawah pengawasan pemerintah.
Keduanya sukar dibantah, sekurang-kurangnya punya semangat yang mirip dengan demokrasi Yunani Kuno dimana hampir seluruh populasi laki-laki dewasa nimbrung untuk membicarakan kepentingan umum dalam bentuk musyawarah. Mungkin mirip juga dengan sila keempat Pancasila yang mengedepankan musyawarah dalam mencapai mufakat. Bentuk semacam ini juga, setidaknya mengacu pada pemikiran Rousseau, sekaligus menjadi kritik atas demokrasi perwakilan yang seringkali timpang antara kedudukan wakil dan mereka-mereka yang diwakilkan.
Namun gagasan Rancière membuat saya mempertanyakan: benarkah mereka yang berbeda harus langsung dituding sebagai individu yang tercemar perasaan cinta-diri? Jika demokrasi mesti berujung pada konsensus, tidakkah hal demikian adalah utopis dalam corak kehidupan masa kini yang diwarnai jutaan kepentingan? Bagaimana mungkin bisa terjadi kehendak umum, jika di media sosial saja, orang berseliweran mencuit apapun dan keinginan mereka benar-benar berbeda satu sama lain secara individual? Mungkin pandangan Rousseau dan Habermas bisa dipahami dalam konteks musyawarah kelompok kecil, tetapi sama sekali sukar dibayangkan dalam populasi besar yang melibatkan banyak keinginan.
Maka itu Rancière menawarkan pandangan bahwa demokrasi justru adalah membuat segalanya menjadi tampak, yang berdampak pada terjadinya disensus. Rancière beranggapan bahwa setiap orang adalah setara tanpa kecuali, berhak berpikir, berhak berbicara, berhak mengutarakan kegelisahan tentang kehidupan bermasyarakat, yang membuat setiap ungkapan-ungkapan itu menjadi sekaligus politis, sekaligus menciptakan ketidaksetujuan dalam proses demokrasi apapun.
Misalnya, saya seorang tukang sepatu. Saya tidak pernah punya urusan dengan kehidupan bermasyarakat secara lebih luas karena fokus saya sehari-hari hanyalah mengerjakan sepatu. Lalu suatu hari jalanan menuju tempat kerja tiba-tiba macet parah. Rupanya ada orang-orang yang sedang berdemonstrasi menentang kebijakan pemerintah. Saya kemudian ikut mengemukakan pendapat tentang peristiwa tersebut, entah soal kemacetannya, entah soal poin tuntutannya, tapi saat saya serta merta terlibat dalam kehidupan bermasyarakat tersebut, saya pasti menciptakan ketaksepahaman atau disensus.
Konsensus, bagi Rancière, di sisi lain, justru kerap mensyaratkan pembungkaman yang lain. Sebuah konsensus tidak pernah selalu konsensus untuk semuanya, melainkan harus ada yang mengalah, harus ada yang tidak dilibatkan, atau bahkan disingkirkan. "Konsensus" tentang Pancasila di masa Orde Baru misalnya, adalah sekaligus tentang penyingkiran atas tafsir Pancasila yang lain, katakanlah dari kaum marxis. Padahal marxis juga secara historis dan ideologis terlibat di dalam perumusan Pancasila dan sudah semestinya mereka diberi tempat.
Bagi Rancière, demokrasi adalah tempat dimana setiap suara diberi tempat, termasuk mereka yang tersingkirkan dan terpinggirkan. FPI mungkin sempat meresahkan, tapi mereka adalah bagian dari demokrasi juga. Memberangus suara mereka berarti menempatkan demokrasi pada konsensus yang memaksa. Apalagi suara-suara dari kelompok LGBT, disabilitas, dan kelompok minoritas, mesti diangkat meski pastinya menciptakan disensus.
Saya menikmati disensus setiap menceburkan diri pada pergolakan di Twitter. Setiap orang bicara, setiap orang bisa berdebat dengan siapa saja, setiap orang bisa saling membenci, setiap orang bisa saling menyumpahserapahi. Tidak perlu ada yang sepaham, karena demokrasi bukanlah tentang kesepahaman. Demokrasi adalah pengradikalan suara-suara.
Comments
Post a Comment