Skip to main content

Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci

  (Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”.  Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan.  Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...

Sesuatu di Yogya



Pada tanggal 30 Mei lalu, saya berangkat ke Yogya untuk memenuhi ajakan penerbit Edisi Mori. Ajakan tersebut adalah berupa bedah buku karya Muhammad al-Fayyadl berjudul Derridean. Perjalanan ini begitu istimewa karena forum ini diisi oleh, selain Gus Fayyadl tentunya, Martin Suryajaya dan Hizkia Yosie Polimpung. Ketiga pembicara tersebut adalah pembicara top yang mungkin terbaik di generasinya. Saya senang bisa "nyempil" di tengah-tengah mereka, meski sadar bahwa saya tidak bisa dikatakan pantas karena baik Gus Fayyadl, Bung Martin, dan Bung Yosie, ketiganya sudah jauh lebih lama menekuni filsafat dan bergulat dalam perdebatan-perdebatannya. Mungkin di masa-masa saya masih menekuni musik dan sepakbola, mereka sudah duluan berkutat dengan teks-teks filsafat yang rumit-rumit. 

Acara yang diadakan di Langgeng Art Foundation tersebut berjalan lancar dengan jumlah peserta yang banyak, terutama jika dibandingkan dengan umumnya peserta diskusi di Bandung. Mungkin ada seratusan orang yang datang dan mereka rasa-rasanya menyimak dengan antusias. Saya tidak perlu menceritakan jalannya diskusi karena rekamannya bisa ditonton di Instagram @edisimori. Hal yang saya rasa perlu diceritakan di sini adalah kesan tentang suasana diskusi di Yogya yang entah kenapa, begitu hidup. Selain bedah buku Derridean tersebut, saya mengikuti beberapa diskusi lainnya yaitu bedah buku Penyair Sebagai Mesin-nya Bung Martin di Kedai JBS, launching buku Seni Berfilsafat Bersama Anak di Bawabuku dan diskusi tentang demotivasi di Theotrapi. Tidak ada diantara diskusi-diskusi tersebut yang bisa dikatakan sepi. Orang-orang berdatangan dan tidak hanya datang, mereka juga mengajukan pertanyaan yang sulit-sulit. 

Diantara rangkaian diskusi tersebut juga saya berkesempatan mengunjungi Buku Akik, toko buku paling hits di Yogya yang bisa dibilang sudah menjadi objek wisata. Kami datang bukan di jam-jam biasa, melainkan pukul 12 malam! Bung Martin dan saya kemudian melakukan book signing sekitar jam 2.30 pagi, yang menurut Mas Tomi, pemiliknya, adalah waktu paling larut dalam sejarah penandatangan buku di Buku Akik. Sebelumnya, kami juga mengunjungi Fakultas Filsafat UGM dan bertemu banyak orang di sana, baik mahasiswa maupun dosen. Intinya, kami selalu bertemu banyak orang dan jika tidak pintar-pintar mencari alasan, bisa jadi kami nongkrong selama hampir non-stop! 

Selama di sana, saya menginap di "Wisma Cantrik", sebutan bagi kantor Cantrik Pustaka, penerbit yang menerbitkan buku Seni Berfilsafat Bersama Anak. Tidak hanya saya diperbolehkan untuk menginap di kantor mereka, saya juga dijamu dan dikenalkan dengan sejumlah jaringan perbukuan di Yogya. Bahkan oleh Mas Farisi saya diperkenalkan dengan rokok Gajah Baru yang rasanya seperti garpit dengan harga lebih murah. Oh ya, Mas Farisi ini adalah salah satu punggawa Cantrik yang baik sekali. Ia menemani saya sepanjang di sana, mengantar sambil foto-foto, plus cerita tentang kehidupan pesantren. Selain Mas Farisi, ada juga Mas Mawai, Mas Naufil, dan Bung Taufiq, yang semuanya membuat saya punya kesan manis tentang Yogya. Memang begitulah adanya: kesan atas sebuah tempat tergantung pada dengan siapa kita bertemu di sana. 

Satu hal yang saya renungkan adalah perkara habitat. Entah bagaimana, saya merasa disambut lebih banyak orang saat di Yogya, bahkan ketimbang di Bandung sendiri, kota tempat saya lahir dan besar selama lebih dari tiga puluh tahun. Saya teringat bagaimana Sixto Rodriguez, seorang musisi yang pernah menelurkan album di tahun 70-an, tidak diterima sama sekali di negerinya sendiri dan salah satu albumnya bahkan cuma terjual empat keping! Namun berpuluh tahun kemudian ia baru tahu bahwa di Afrika Selatan, ternyata banyak orang menggemari karya-karyanya. Sebagaimana bibit tertentu yang bisa tumbuh dalam kondisi tanah tertentu, mungkin demikian juga hidup manusia dan habitatnya.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...