Pada tanggal 30 Mei lalu, saya berangkat ke Yogya untuk memenuhi ajakan penerbit Edisi Mori. Ajakan tersebut adalah berupa bedah buku karya Muhammad al-Fayyadl berjudul Derridean. Perjalanan ini begitu istimewa karena forum ini diisi oleh, selain Gus Fayyadl tentunya, Martin Suryajaya dan Hizkia Yosie Polimpung. Ketiga pembicara tersebut adalah pembicara top yang mungkin terbaik di generasinya. Saya senang bisa "nyempil" di tengah-tengah mereka, meski sadar bahwa saya tidak bisa dikatakan pantas karena baik Gus Fayyadl, Bung Martin, dan Bung Yosie, ketiganya sudah jauh lebih lama menekuni filsafat dan bergulat dalam perdebatan-perdebatannya. Mungkin di masa-masa saya masih menekuni musik dan sepakbola, mereka sudah duluan berkutat dengan teks-teks filsafat yang rumit-rumit.
Acara yang diadakan di Langgeng Art Foundation tersebut berjalan lancar dengan jumlah peserta yang banyak, terutama jika dibandingkan dengan umumnya peserta diskusi di Bandung. Mungkin ada seratusan orang yang datang dan mereka rasa-rasanya menyimak dengan antusias. Saya tidak perlu menceritakan jalannya diskusi karena rekamannya bisa ditonton di Instagram @edisimori. Hal yang saya rasa perlu diceritakan di sini adalah kesan tentang suasana diskusi di Yogya yang entah kenapa, begitu hidup. Selain bedah buku Derridean tersebut, saya mengikuti beberapa diskusi lainnya yaitu bedah buku Penyair Sebagai Mesin-nya Bung Martin di Kedai JBS, launching buku Seni Berfilsafat Bersama Anak di Bawabuku dan diskusi tentang demotivasi di Theotrapi. Tidak ada diantara diskusi-diskusi tersebut yang bisa dikatakan sepi. Orang-orang berdatangan dan tidak hanya datang, mereka juga mengajukan pertanyaan yang sulit-sulit.
Diantara rangkaian diskusi tersebut juga saya berkesempatan mengunjungi Buku Akik, toko buku paling hits di Yogya yang bisa dibilang sudah menjadi objek wisata. Kami datang bukan di jam-jam biasa, melainkan pukul 12 malam! Bung Martin dan saya kemudian melakukan book signing sekitar jam 2.30 pagi, yang menurut Mas Tomi, pemiliknya, adalah waktu paling larut dalam sejarah penandatangan buku di Buku Akik. Sebelumnya, kami juga mengunjungi Fakultas Filsafat UGM dan bertemu banyak orang di sana, baik mahasiswa maupun dosen. Intinya, kami selalu bertemu banyak orang dan jika tidak pintar-pintar mencari alasan, bisa jadi kami nongkrong selama hampir non-stop!
Selama di sana, saya menginap di "Wisma Cantrik", sebutan bagi kantor Cantrik Pustaka, penerbit yang menerbitkan buku Seni Berfilsafat Bersama Anak. Tidak hanya saya diperbolehkan untuk menginap di kantor mereka, saya juga dijamu dan dikenalkan dengan sejumlah jaringan perbukuan di Yogya. Bahkan oleh Mas Farisi saya diperkenalkan dengan rokok Gajah Baru yang rasanya seperti garpit dengan harga lebih murah. Oh ya, Mas Farisi ini adalah salah satu punggawa Cantrik yang baik sekali. Ia menemani saya sepanjang di sana, mengantar sambil foto-foto, plus cerita tentang kehidupan pesantren. Selain Mas Farisi, ada juga Mas Mawai, Mas Naufil, dan Bung Taufiq, yang semuanya membuat saya punya kesan manis tentang Yogya. Memang begitulah adanya: kesan atas sebuah tempat tergantung pada dengan siapa kita bertemu di sana.
Satu hal yang saya renungkan adalah perkara habitat. Entah bagaimana, saya merasa disambut lebih banyak orang saat di Yogya, bahkan ketimbang di Bandung sendiri, kota tempat saya lahir dan besar selama lebih dari tiga puluh tahun. Saya teringat bagaimana Sixto Rodriguez, seorang musisi yang pernah menelurkan album di tahun 70-an, tidak diterima sama sekali di negerinya sendiri dan salah satu albumnya bahkan cuma terjual empat keping! Namun berpuluh tahun kemudian ia baru tahu bahwa di Afrika Selatan, ternyata banyak orang menggemari karya-karyanya. Sebagaimana bibit tertentu yang bisa tumbuh dalam kondisi tanah tertentu, mungkin demikian juga hidup manusia dan habitatnya.
Comments
Post a Comment