Apakah Heidegger tahu bahwa Nazi nantinya akan melakukan kejahatan kemanusiaan? Apakah Sartre tahu bahwa Uni Soviet ujung-ujungnya akan bubar? Apakah Cioran tahu bahwa gerakan yang ia bela, Garda de Fier, membantai orang-orang Yahudi dalam perebutan kekuasaan? Bukan maksudnya memaklumi langkah-langkah mereka, tapi apakah mereka sudah tahu sejak awal bahwa pilihannya tersebut adalah pilihan historis yang keliru?
Dosa-dosa mereka akan terus diingat dalam sejarah. Heidegger terbilang "beruntung" karena pemikirannya terlalu canggih sehingga sebagian orang tetap mempelajarinya. Mereka tahu bahwa Heidegger berdosa, tetapi memilih untuk memisahkan pemikirannya dari aktivitas politiknya. Bukan maksud membenarkan Heidegger, tetapi mumpung menjelang tahun politik, kita akan lebih mudah membayangkan hal ini: mungkin kita sedang dihadapkan pada pilihan presiden, caleg, dan partai untuk berkuasa di pemerintahan. Beberapa dari kita tidak cuma memberikan dukungan dari luar, tapi ada juga yang diajak ke dalam. Motifnya tentu beragam, ada yang memang benar-benar bersimpati, haus kekuasaan, atau sedang perlu uang.
Dalam kondisi demikian, maka pilihan-pilihan politik tidak selalu jernih. Baik Heidegger, Sartre, atau Cioran, di masa saat terlibat gerakan-gerakan itu, sudah dikenal sebagai pemikir dan penulis jempolan. Tentu mereka diajak bicara, diberitahu soal visi misi yang pasti terdengar bagus-bagus, dan dijanjikan iming-iming yang bisa jadi besar. Hal ini tentu menggiurkan, apalagi bagi Cioran, yang pekerjaannya waktu itu cuma penulis (Sartre dan Heidegger mending, sudah jadi dosen). Coba bayangkan: Cioran lahir tahun 1910 dan Garda de Fier aktif antara tahun 1927 sampai tahun 1941. Kalaupun Cioran banyak terlibat di sekitar tahun 1930-an, maka usianya sekitar 20 atau maksimal 30 tahun. Masih tergolong muda. Mungkin ia memilih gerakan tersebut dengan naif dan tanpa pikir panjang (terbukti, Cioran di usia tuanya menyesal pernah bersimpati pada Garda de Fier).
Sartre kelihatannya juga sukar untuk tahu yang sebenar-benarnya. Di era Perang Dingin, rasanya menjadi pilihan keren untuk menjadi intelektual yang pro Blok Timur. Sartre mencitrakan dirinya sebagai pemikir antikolonialisme dan menuding Amerika sebagai negara yang menuju "pra-fasisme". Begitu bersemangatnya Sartre, sampai-sampai Merleau-Ponty menjulukinya sebagai "ultra-Bolshewik". Sartre wafat tahun 1980 atau satu dekade sebelum Uni Soviet akhirnya bubar. Amerika "menang" Perang Dingin dan wajah dunia tidak pernah lagi ramah terhadap komunisme - sosialisme. Untung Sartre sudah meninggal, sehingga ia tidak perlu menanggung malu akibat pernah begitu aktif menangkal segala kritik bagi Uni Soviet.
Bayangkan kita sekarang dihadapkan beberapa pilihan, entah itu tim Ganjar, tim Anies, tim Prabowo. Saat berada di luar, mungkin kita mudah untuk bersikap sinis terhadap mereka dan segenap sistem politik. Namun saat mulai dirayu, diberitahu kebaikan-kebaikan dari si capres, caleg, dan sebagainya, apalagi diberitahu jumlah uang yang bisa diperoleh, mungkin kita langsung berpikir: oh, tidak ada salahnya juga ya, mungkin mereka akan membawa perubahan ke arah lebih baik. Saat terlibat dan berada di dalam, mana terpikir bagi kita jika salah satu pemimpin tersebut, ternyata, amit-amit, menyimpan nafsu keji untuk membantai ras tertentu, atau memperkuat angkatan perang supaya bisa menginvasi seluruh Asia.
Sekali lagi bukan membenarkan Heidegger dan filsuf sejenis lainnya yang ternyata memilih opsi keliru secara historis. Kenyataannya, ada pemikir-pemikir yang waras yang tidak memilih untuk terlibat bersama gerakan-gerakan yang pada akhirnya menjadi blunder kemanusiaan tersebut. Kropotkin misalnya, sudah sejak awal tidak setuju dengan Uni Soviet dan ternyata ia banyak benarnya. Camus akhirnya pisah jalan dengan Sartre salah satunya karena Camus tidak percaya akan Uni Soviet dan ternyata Camus benar. Namun seberapa besar mereka Heidegger dan Sartre punya niat jahat dalam keterlibatan bersama gerakan-gerakan itu, sepertinya perlu diperiksa ulang atau bahkan kita tidak pernah bisa tahu yang sebenar-benarnya.
Hal yang bisa kita refleksikan adalah hal apa yang kita lakukan jika dihadapkan pada pilihan untuk berpartisipasi pada politik (praktis). Para pemikir, secerdas apapun, juga manusia, yang bisa tergiur dan bahkan tertipu oleh janji-janji manis, apalagi uang besar yang bisa mengatasi kesusahannya dalam menyambung hidup. Filsuf tidak sekadar tentang alam fikirnya yang seolah steril dari kedagingan. Filsuf justru selalu ada dalam pertaruhan, apakah pilihannya dalam hidup akan dikenang atau dicemooh oleh sejarah. Tapi jika ia tidak mengambil langkah apapun, pikiran-pikirannya akan tetap berada di sebuah alam yang tenang, alam yang tanpa pertaruhan, yang tidak teruji oleh zaman.
Comments
Post a Comment