Skip to main content

Tentang Pemikiran Marquis de Sade

Sekilas tentang Marquis de Sade   Marquis de Sade lahir di Paris, 2 Juni 1740 dengan nama Donatien Alphonse François de Sade. Ayahnya adalah tuan tanah dan pemilik properti sehingga dapat dikatakan bahwa de Sade berasal dari keluarga aristokrat. Pada usia 10 – 14 tahun, de Sade bersekolah di sekolah Yesuit bernama Louis le Grand. Di sekolah tersebut, de Sade sering mendapat hukuman penderaan atau pencambukan ( flagellation ). Tidak hanya itu, ia juga sering melihat orang-orang di sekolah tersebut mencambuk dirinya sendiri sebagai hukuman.  Semasa hidupnya, de Sade sering keluar masuk penjara dengan tuduhan terkait penistaan ( blasphemy ) dan percobaan pembunuhan. Artinya, perilaku seksual ganjil de Sade yang seringkali melakukan penyiksaan dalam melakukan hubungan seksual tidak masuk ke dalam alasan mengapa ia sering dipenjara. De Sade menikah dengan Renée-Pelagie yang meski mengetahui perilaku seksualnya yang ganjil, setia menemaninya hingga lebih dari dua puluh tahun. Meski ...

Terlalu Berduka Sehingga Sukar untuk Menuliskannya

Sebulan lalu, Papap wafat. Hanya tepat beberapa jam setelah saya menuliskan tulisan berjudul Selisih. Entah pertanda atau bukan, tapi saya menuliskan Selisih dalam keadaan galau, seperti membayangkan kematian dan imajinasi historis yang timbul daripadanya. Peran Papap bagi saya terlalu mendalam, sehingga menuliskan hal-hal seperti ini sangat saya hindari supaya tidak terlampau baper, membuat hari-hari menjadi gloomy. Namun rasanya perlu dituliskan juga, supaya berjarak, supaya renungan-renungan tentang Papap menjadi teks, menjadi suatu monumen yang bisa saya baca lagi, orang lain juga baca, dan menjadi perasaan yang mungkin relate bagi lebih banyak orang. 

Supaya tidak terlalu sedih, untuk sementara ini saya hanya akan menuliskan bagian pengalaman saya bersama Papap saat awal-awal belajar filsafat. Waktu itu sekitar tahun 2006 atau 2007, saya mulai rajin mengikuti kelas Extension Course Filsafat UNPAR yang sering diisi oleh Prof. Bambang Sugiharto. Setiap pulang dari sesi kelas yang diadakan setiap Jumat itu, saya selalu berlari menemui Papap, menceritakan apa-apa saja yang baru dipelajari. Papap waktu itu menanggapi sambil tiduran saja depan televisi, setengah sadar mungkin ya, sembari semacam "menetralisir" pemahaman saya yang mungkin masih prematur. Segala pendapat yang aneh-aneh, termasuk tentang Tuhan, agama, tidak membuat beliau melarang saya belajar filsafat. Bahkan Papap mendukung dan membiayai saya dalam mengikuti kelas tersebut. 

Dalam hal itu, Papap memang unik. Saat mulai muncul pertanyaan-pertanyaan dalam diri saya tentang Tuhan dan agama, Papap malah terlihat girang dan menyuruh saya mendalami filsafat. Tidak seperti Mamah yang tampak khawatir, Papap justru seolah menanti-nanti anaknya punya pertanyaan semacam ini. Juga bukannya distop atau disuruh hati-hati, saya malah disuruh tancap gas untuk bertanya-tanya sekalian hingga mentok. Seolah-olah Papap menaati kata-kata Kierkegaard, bahwa nalar harus dipakai hingga ujung supaya tahu keterbatasannya. Papap mengajak saya melakukan itu, dengan segala risiko, dengan kekhawatiran Mamah yang takut anaknya tidak sholat dan tidak lagi mendoakan kedua orang tua. 

Setelah direnung-renungkan, cara Papap yang seperti itulah yang membuat saya menghayati arti filsafat sebagai sebuah penyengat. Papap senang saat nalar kritis saya mulai berdenyut, begitupun cara saya melihat murid-murid atau orang yang pikiran kritisnya mulai berdenyut. Saya akan dengan senang hati mengajaknya bicara, memfasilitasi kegundahannya, dan menjaganya agar selalu dalam tegangan: jangan terlalu semangat, juga jangan sampai patah semangat. Mereka yang baru punya ketertarikan tipis-tipis harus digas sampe mentok, sementara yang terlampau kritis mesti agak diredam untuk ditunjukkan bahwa "filsafat gak usah segitunya". 

Hal demikian yang menjadi modal bagi saya untuk menulis buku tentang mengajarkan filsafat bagi anak-anak. Papap lah inspirasinya, yang membuat saya merasa bahwa beliau adalah model yang ideal tentang bagaimana harusnya orang tua mengajarkan anak-anaknya dalam berpikir kritis. Papap tidak bisa dikatakan menguasai filsafat sebagai sebuah disiplin, tetapi cara berpikirnya sudah sedemikian filosofis dan mendalam, sehingga mampu untuk mengatasi beragam pertanyaan khas filsafat sampai yang tersulit sekalipun. Beliau hanya tidak mengacu pada nama-nama filsuf dan istilah teknis filsafat saja, sisanya pada pokoknya Papap paham dengan problem-problem filosofis. Itu juga yang saya tulis dalam Seni Berfilsafat Bersama Anak, supaya fasilitator tidak perlu menyebut nama-nama filsuf dan istilah teknis filsafat, tetapi langsung pada problem yang bisa diajukan untuk ditanggapi anak-anak. 

Saya masih terlalu berduka untuk menuliskan lebih banyak. Saya masih merasa-rasa: dimana sekarang Papap sebenarnya? Apa dia ada di sebuah tempat dengan segenap kesadaran, atau melebur bersama tawa dan tangis kita di sini?



Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...