Sebulan lalu, Papap wafat. Hanya tepat beberapa jam setelah saya menuliskan tulisan berjudul Selisih. Entah pertanda atau bukan, tapi saya menuliskan Selisih dalam keadaan galau, seperti membayangkan kematian dan imajinasi historis yang timbul daripadanya. Peran Papap bagi saya terlalu mendalam, sehingga menuliskan hal-hal seperti ini sangat saya hindari supaya tidak terlampau baper, membuat hari-hari menjadi gloomy. Namun rasanya perlu dituliskan juga, supaya berjarak, supaya renungan-renungan tentang Papap menjadi teks, menjadi suatu monumen yang bisa saya baca lagi, orang lain juga baca, dan menjadi perasaan yang mungkin relate bagi lebih banyak orang.
Supaya tidak terlalu sedih, untuk sementara ini saya hanya akan menuliskan bagian pengalaman saya bersama Papap saat awal-awal belajar filsafat. Waktu itu sekitar tahun 2006 atau 2007, saya mulai rajin mengikuti kelas Extension Course Filsafat UNPAR yang sering diisi oleh Prof. Bambang Sugiharto. Setiap pulang dari sesi kelas yang diadakan setiap Jumat itu, saya selalu berlari menemui Papap, menceritakan apa-apa saja yang baru dipelajari. Papap waktu itu menanggapi sambil tiduran saja depan televisi, setengah sadar mungkin ya, sembari semacam "menetralisir" pemahaman saya yang mungkin masih prematur. Segala pendapat yang aneh-aneh, termasuk tentang Tuhan, agama, tidak membuat beliau melarang saya belajar filsafat. Bahkan Papap mendukung dan membiayai saya dalam mengikuti kelas tersebut.
Dalam hal itu, Papap memang unik. Saat mulai muncul pertanyaan-pertanyaan dalam diri saya tentang Tuhan dan agama, Papap malah terlihat girang dan menyuruh saya mendalami filsafat. Tidak seperti Mamah yang tampak khawatir, Papap justru seolah menanti-nanti anaknya punya pertanyaan semacam ini. Juga bukannya distop atau disuruh hati-hati, saya malah disuruh tancap gas untuk bertanya-tanya sekalian hingga mentok. Seolah-olah Papap menaati kata-kata Kierkegaard, bahwa nalar harus dipakai hingga ujung supaya tahu keterbatasannya. Papap mengajak saya melakukan itu, dengan segala risiko, dengan kekhawatiran Mamah yang takut anaknya tidak sholat dan tidak lagi mendoakan kedua orang tua.
Setelah direnung-renungkan, cara Papap yang seperti itulah yang membuat saya menghayati arti filsafat sebagai sebuah penyengat. Papap senang saat nalar kritis saya mulai berdenyut, begitupun cara saya melihat murid-murid atau orang yang pikiran kritisnya mulai berdenyut. Saya akan dengan senang hati mengajaknya bicara, memfasilitasi kegundahannya, dan menjaganya agar selalu dalam tegangan: jangan terlalu semangat, juga jangan sampai patah semangat. Mereka yang baru punya ketertarikan tipis-tipis harus digas sampe mentok, sementara yang terlampau kritis mesti agak diredam untuk ditunjukkan bahwa "filsafat gak usah segitunya".
Hal demikian yang menjadi modal bagi saya untuk menulis buku tentang mengajarkan filsafat bagi anak-anak. Papap lah inspirasinya, yang membuat saya merasa bahwa beliau adalah model yang ideal tentang bagaimana harusnya orang tua mengajarkan anak-anaknya dalam berpikir kritis. Papap tidak bisa dikatakan menguasai filsafat sebagai sebuah disiplin, tetapi cara berpikirnya sudah sedemikian filosofis dan mendalam, sehingga mampu untuk mengatasi beragam pertanyaan khas filsafat sampai yang tersulit sekalipun. Beliau hanya tidak mengacu pada nama-nama filsuf dan istilah teknis filsafat saja, sisanya pada pokoknya Papap paham dengan problem-problem filosofis. Itu juga yang saya tulis dalam Seni Berfilsafat Bersama Anak, supaya fasilitator tidak perlu menyebut nama-nama filsuf dan istilah teknis filsafat, tetapi langsung pada problem yang bisa diajukan untuk ditanggapi anak-anak.
Saya masih terlalu berduka untuk menuliskan lebih banyak. Saya masih merasa-rasa: dimana sekarang Papap sebenarnya? Apa dia ada di sebuah tempat dengan segenap kesadaran, atau melebur bersama tawa dan tangis kita di sini?
Comments
Post a Comment