Skip to main content

Tentang Pemikiran Marquis de Sade

Sekilas tentang Marquis de Sade   Marquis de Sade lahir di Paris, 2 Juni 1740 dengan nama Donatien Alphonse François de Sade. Ayahnya adalah tuan tanah dan pemilik properti sehingga dapat dikatakan bahwa de Sade berasal dari keluarga aristokrat. Pada usia 10 – 14 tahun, de Sade bersekolah di sekolah Yesuit bernama Louis le Grand. Di sekolah tersebut, de Sade sering mendapat hukuman penderaan atau pencambukan ( flagellation ). Tidak hanya itu, ia juga sering melihat orang-orang di sekolah tersebut mencambuk dirinya sendiri sebagai hukuman.  Semasa hidupnya, de Sade sering keluar masuk penjara dengan tuduhan terkait penistaan ( blasphemy ) dan percobaan pembunuhan. Artinya, perilaku seksual ganjil de Sade yang seringkali melakukan penyiksaan dalam melakukan hubungan seksual tidak masuk ke dalam alasan mengapa ia sering dipenjara. De Sade menikah dengan Renée-Pelagie yang meski mengetahui perilaku seksualnya yang ganjil, setia menemaninya hingga lebih dari dua puluh tahun. Meski ...

Nulis dan Kafe



Entah ini untuk keberapa kali saya menulis tentang kafe di blog. Yang pasti bukan pertama kalinya. Makin kemari saya merasa ada fetish tersendiri terhadap kafe. Melihat ada kafe yang menarik dari luar, langsung saya sempatkan mampir untuk sekadar memesan segelas kopi dan menulis sesuatu barang sejenak. Kafe seperti apa persisnya yang saya sukai, makin kemari makin random. Pernah saya begitu suka dengan kafe-kafe kekinian yang serba cozy, pernah juga saya suka kafe-kafe dengan gaya Pecinan semacam Kopi Purnama jika di Bandung atau pernah saya begitu menggilai nongkrong di Dunkin' Donuts. 

Pada dasarnya saya bukan penikmat kopi. Saya bahkan tidak tahu beda antara Cappuccino dan Caffè latte. Saya pesan kopi ya pesan kopi. Hal yang saya sukai dari nongkrong lebih pada suasana dan "ritual"-nya. Menulis, ngopi, sambil merokok di kafe adalah bayangan saya bertahun-tahun silam jika kelak menjadi penulis. 

Kalaupun ada hal yang dinamakan bahan pertimbangan dalam memilih kafe, saya lebih memikirkan soal musiknya ketimbang kopi/ makanannya. Seperti pernah saya tuliskan di Pop Hari Ini, musik yang diputar di kafe sebaiknya musik yang tidak populer sehingga tidak mendistraksi orang yang sedang asyik menulis atau bekerja di depan laptop. Himbauan tersebut tentu tidak berlaku bagi kafe yang memang ditujukan untuk orang-orang mengobrol dengan suara keras seperti kafe tempat minum-minum. Pada kafe yang demikian, musik populer lebih berguna supaya para pengunjung tidak mati gaya. Namun pada kafe yang menjadikan "ketenangan" sebagai tema, rasa-rasanya musik diputar sebagai latar saja, jangan menarik perhatian, tetapi tetap penting untuk memberikan nuansa. 

Harus diakui bahwa kafe-kafe seperti Dunkin' atau Starbucks sudah sangat ahli dalam menyetel musik supaya pas. Sebatas pengetahuan saya, mereka hampir tidak pernah memutar lagu-lagu populer. Biasanya, gerai-gerai semacam itu menyetel musik jazz atau lo-fi dengan volume yang enak sehingga pengunjung dalam mengobrol tidak perlu sampai berteriak-teriak. Singkatnya, kafe-kafe tersebut sudah mempunyai standar dalam pemutaran musik dan tidak begitu saja diserahkan pada barista. Seperti kata Sakamoto, jika makanan punya chef yang mengaturnya, interior punya desainer interior, maka musik juga harusnya diserahkan pada ahli musik. Bunyi bukanlah perkara sederhana. Kita bisa terkesan atau malah trauma oleh bebunyian yang mengganggu dan kurang nyaman di telinga, dan biasanya hal demikian terjadi tanpa disadari. 

Sebenarnya saya bisa-bisa saja menulis di kamar apartemen. Sudah ada meja, kursi dan internet yang kencang. Selain itu, saya juga tidak perlu keluar uang untuk beli kopi di luar. Cukup seduh kopi yang ada saja, toh saya juga tidak tahu persis bedanya kopi yang enak dan yang tidak enak. Namun justru di situ pokoknya: karena saya sudah keluar uang, maka menulis menjadi perkara serius yang tidak boleh gagal. Jika saya hanya mendekam di apartemen, maka menulis menjadi kegiatan yang kurang menantang. Di apartemen, saya bisa tidur kapan saja kalau merasa lelah. Sementara di kafe, saya menjadikannya sebuah tekanan: tidak ada jalan keluar untuk tidur atau pulang, karena sudah bayar, karena sudah mengondisikan diri untuk duduk dalam sebuah "ritual". 

Tetapi lebih daripada itu, duduk di kafe juga adalah tentang mengamati orang-orang. Tidak jarang ketika saya khusyuk menulis, terdengar orang-orang di sebelah membicarakan semiotika, membicarakan Kant, atau membicarakan pasangannya yang berlaku buruk. Distraksi-distraksi itu terlalu berlebihan jika disebut sebagai sumber inspirasi. Namun distraksi-distraksi tersebut memberikan perasaan up-to-date bahwa beginilah kira-kira percakapan manusia hari ini. Meski terkesan menggeneralisasi, tetapi kadang menarik saat tanpa sengaja mendengarkan pemuda bicara pada pemudi tentang Kant, maka kira-kira bisa disimpulkan secara lucu-lucuan, "Oh, percakapan tentang Kant mulai biasa di kafe-kafe dalam suasana yang banal." 

Distraksi-distraksi itu yang tidak didapat saat mendekam di apartemen. Di apartemen, suara-suara seolah sudah dikondisikan oleh apa yang saya inginkan. Saya tidak membuka diri terhadap beraneka kemungkinan. Saya sudah terlalu siap untuk mengantisipasi segala yang datang. Namun duduk di kafe, meski tetap duduk sendiri mengisolasi, tetapi ada bunyi-bunyi yang tanpa diduga bisa saja masuk mengganggu fokus. Gangguan-gangguan tersebut tidak sama dengan gangguan musik populer yang sama-sama mengisolasikan dirinya. Gangguan tersebut datang dari "latar alamiah", percakapan yang mengingatkan bahwa saya masih hidup di dalam dunia manusia. Itulah menulis sebagai sebuah kegiatan, terlepas dari apapun luarannya.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...