Pendapat bahwa yang membuat sesuatu adalah sekaligus pengendalinya adalah hal yang bagi saya sudah usang. Pembuat memang serba mengetahui seluk beluk tentang apa yang dibuatnya hingga sampai tahap menjadinya, tetapi ia bisa jadi tidak mampu mengantisipasi apa-apa yang terjadi sesudahnya atau katakanlah, pada tahap pasca-eksistensinya.
Bersama teman-teman pada sekitar tahun 2004, kami pernah menginisiasi komunitas musik klasik bernama KlabKlassik. Iya kami membuat rencana tentang mesti seperti apa KlabKlassik ke depannya, tetapi hal yang lebih sering terjadi adalah sebaliknya: rencana kami disetir oleh "makhluk" yang kami ciptakan sendiri. KlabKlassik mungkin pernah berkembang dalam arti tertentu, tetapi hal yang kerap terjadi adalah kami yang dibuat berkembang oleh KlabKlassik. Kami belajar dari apa yang kami inisiasi sendiri.
Belakangan hal yang sama terjadi saat kami membentuk Kelas Isolasi pada tahun 2020. Saya tidak tahu akan seperti apa Kelas Isolasi ke depannya dan waktu itu Nino dan saya tidak punya bayangan yang terlalu jauh tentang masa depan kami. Bahkan saat kami mengkreasi "makhluk" ini, kami hanya bermodalkan keberanian saja plus pengetahuan filsafat yang bisa dikatakan pas-pasan. Namun seiring berjalannya waktu, Kelas Isolasi ternyata tidak bubar-bubar dan malah dapat dikatakan terus berkembang: kami menjadi dipaksa olehnya untuk memperdalam filsafat secara lebih intens. Ini bukan perumpaan yang dibuat-buat, tapi benar bahwa kami menjadi dikendalikan oleh Kelas Isolasi. Hidup kami dikendalikan oleh Kelas Isolasi.
Sekarang saya paham kenapa pernyataan bahwa teknologi itu tergantung dari orang yang menggunakannya adalah pernyataan yang sudah tidak laku. Pernyataan antroposentris tersebut mengandaikan bahwa segala-galanya selalu dalam pengaruh pikiran dan kesadaran kita. Seolah-olah pikiran dan kesadaran ini mampu mengontrol dan memprediksi apapun. Dalam arti tertentu boleh saja kita optimis akan kemampuan daya pikir kita sendiri, tetapi kenyataannya tidak pernah sesederhana itu. Saya memiliki ponsel, tapi sekaligus ponsel itu memiliki saya; saya membuat kurikulum untuk mengajar di kelas, tetapi kurikulum itu kemudian yang menata jadwal dan kegiatan saya; saya menciptakan teknologi untuk menyelesaikan masalah lingkungan, tapi teknologi itu membuat masalah lain yang tidak sempat saya pikirkan. Pada pokoknya, saya bisa menghasilkan banyak hal sebagai produk dari pikiran saya, tapi produk tersebut kemudian yang "memproduksi saya".
Dengan demikian, dalam arti motivasional (juga sekaligus demotivasional), proses kreasi bukanlah proses yang dalam sendirinya sudah final. Kita selalu menciptakan embrio yang pertumbuhannya selalu punya dua sisi: sisi yang bisa kita antisipasi dan sisi yang tidak bisa kita antisipasi. Entah pada akhirnya dia akan mati bahkan sebelum menjadi dewasa, jangan lupa, ia setidaknya pernah membuat kita berpikir tentangnya, ia pernah mengajari kita sesuatu tentang kematian yang terlalu cepat.
Saya kira begitulah Tuhan saat mengkreasi. Ia punya sisi tahu dan sisi tidak tahu. Tapi Ia tahu sesuatu yang pasti: bahwa Ia mencipta dalam rangka untuk terus menjadi. Bahwa lewat ciptaan-Nya Ia sedang bertumbuh bersama ciptaan-Nya, supaya Ia sendiri bisa terus relevan bersama peradaban.
Comments
Post a Comment