Toleransi adalah kata yang indah. Tapi iyakah? Tidak adakah masalah sama sekali dalam konsep toleransi? Toleransi mungkin secara sederhana bisa diartikan sebagai sikap saling menghargai dan menghormati perbedaan supaya dapat hidup bersama dan berdampingan. Tidak ada masalah, mungkin, tetapi bisa saja dipermasalahkan: apakah toleransi bersifat eksklusif hanya pada mereka yang juga toleran? Jika toleransi hanya terbatas pada mereka yang punya sikap toleran, tidakkah artinya toleransi juga punya sisi intoleran terhadap mereka yang intoleran? Permasalahan ini pernah disinggung oleh Karl Popper dalam gagasannya tentang paradoks toleransi. Bagi Popper, mereka yang intoleran tidak perlu ditoleransi karena jika diberi panggung, si intoleran nantinya akan menyingkirkan mereka yang toleran.
Popper mungkin ada benarnya, tapi juga bisa dipermasalahkan: tidakkah boleh-boleh saja bagi seseorang atau kelompok tertentu memandang perbedaan sebagai sesuatu yang menyusahkan bagi prinsip yang dianutnya? Di sisi lain, tidakkah juga "kodrati" bagi seseorang atau sebuah kelompok untuk hidup dengan memandang orang lain sebagai "yang lain" supaya dirinya dan kelompoknya tidak "tercemari"? Pandangan semacam itu mungkin menjadi seperti ancaman bagi prinsip toleransi, tetapi bukankah kita sebaiknya juga toleran terhadap hal demikian? Tidakkah mereka yang punya prinsip toleransi juga enggan "dicemari" oleh mereka-mereka yang dianggap intoleran?
Menghargai perbedaan memang perlu, tetapi aku juga merasa Kwame Anthony Appiah, si pemikir kosmopolitanisme ada benarnya soal problem dari pluralisme: aku dan kamu berbeda, lalu selesai. "Menerima perbedaan" dalam arti demikian sebenarnya bisa jadi bukan benar-benar "menerima perbedaan", tetapi hanya mengiyakan bahwa antara satu kelompok dan kelompok lain memang berbeda, dan mari lanjutkan kesibukan kita masing-masing asal tidak saling ganggu. Terdapat kesan bahwa toleransi juga demikian, bahwa yang terjadi hanyalah selebrasi atas perbedaan, suatu penerimaan demi tujuan yang satu: "hidup damai dan rukun" Tapi apakah itu "hidup damai dan rukun", apakah tentang mampu mengejar apa yang kita inginkan dan cita-citakan? Tapi apakah yang kita inginkan dan cita-citakan itu? Apakah kesejahteraan dan kesuksesan? Jika iya, adakah yang dikorbankan dalam usaha-usaha itu? Nah, jika ada, bisakah toleransi mendamaikan semua itu, menghargai "perbedaan" dalam hal ketimpangan?
Dalam pengertian demikian, toleransi bisa jadi semacam justifikasi untuk "tidak saling mencampuri urusan". Toleransi menjadi sebatas "aku dan kamu berbeda" jadi tidak usah saling mengganggu: padahal perbedaan itu bisa sesuatu yang "kodrati", bisa juga konstruksi, perbedaan yang "disengaja". Jika memang toleransi adalah pembenaran bagi perbedaan yang dikonstruksi sedemikian rupa, maka toleransi adalah sekaligus nama lain dari sikap "masa bodoh" dan "tidak peduli", semacam istilah halus bagi individualisme atau bahkan egoisme. Seorang kawan bahkan mengomentari dengan sinis, bahwa toleransi adalah situasi yang dibutuhkan sebagai prasyarat bagi investasi ekonomi.
Tentu saja toleransi tidak selalu seperti itu. Toleransi ada juga yang penting, yang memang dibutuhkan untuk mengatasi perbedaan yang "kodrati", yang memang tidak mungkin diubah karena sifatnya yang niscaya. Misalnya, perbedaan antar agama mau tidak mau mesti ditoleransi karena hal-hal tersebut biasanya ada unsur terberi dan kerap tidak perlu alasan rasional untuk memeluknya (sehingga tidak selalu bisa diajak berdiskusi). Hal-hal tentang agama juga malah kadang perlu semacam "ketertutupan" supaya bisa fokus terhadap apa yang diyakininya masing-masing. Bahkan sikap terlampau toleran kerapkali jatuh pada pembenaran atas keengganan untuk mendalami keyakinan sendiri dan malah menjadi oportunisme sempit: soal keimanan menjadi tidak penting, yang penting "kebersamaan".
Hal yang-penting-"kebersamaan" ini juga bisa dikritisi sebagai selebrasi permukaan: toleransi menjadi jargon, sesuatu yang dibesar-besarkan seperti slogan politik. Toleransi menjadi pertunjukkan kekuatan sebagaimana halnya parade militer, semacam kampanye penuh kemeriahan padahal mengandung sisi yang berbahaya: keinginan untuk menghancurkan si intoleran. Hal yang lebih buruk adalah apa yang dimaksud intoleran ini definisinya tidak jelas. Siapa si intoleran itu jadinya hanya diukur berdasarkan barometernya si paling toleran: ia yang berbeda dengan kami, itulah si intoleran.
Maka itu ketimbang kian sinis memandang jargon toleransi, lebih baik sama sekali tidak menjadikannya jargon atau bahan kampanye. Saat hal-hal tentang toleransi itu diterima dalam pikiran, seketika itu juga dicerna melalui tindakan. Toleransi hanyalah menjadi toleransi saat dipraktikkan, saat berhenti diperkatakan, melainkan mewujud dalam perbuatan. Mari diam saja tentang toleransi, dan bertindaklah yang toleran, tanpa perlu dirayakan.
Comments
Post a Comment