Skip to main content

Pulih

  Jalan beberapa hari jaga, saya mulai bosan. Rasanya berat sekali menunggui dagangan yang pembelinya terhitung sedikit. Lebih menderita lagi jika melihat barang dagangan sebelah lebih ramai dibeli. Hal yang menjadi hiburan adalah menulis terus menerus, supaya tidak terlihat bengong. Supaya tidak mati gaya.  Beberapa hari yang lalu, pas hari awal-awal saya mulai jaga, tiba-tiba saya punya keberanian untuk posting foto di Instagram. Setelah itu mulai merambah ke Facebook, lalu mulai semangat untuk posting sejumlah story di Instagram, mulai dari tentang jalannya kasus sejauh ini sampai kegiatan sehari-hari. Entah keberanian dari mana, tiba-tiba saya mem-posting story tentang tulisan-tulisan yang diturunkan dari berbagai website. Saya menuliskan, "Siapa yang mau tulisan saya? Gratis, akan saya kirimkan via e-mail". Ternyata banyak juga yang menginginkan tulisan-tulisan itu, ada lebih dari 90 orang.  Kemudian saya terpikir untuk membuat grup lagi, bersama orang-orang yang bisa di

Toleransi


Toleransi adalah kata yang indah. Tapi iyakah? Tidak adakah masalah sama sekali dalam konsep toleransi? Toleransi mungkin secara sederhana bisa diartikan sebagai sikap saling menghargai dan menghormati perbedaan supaya dapat hidup bersama dan berdampingan. Tidak ada masalah, mungkin, tetapi bisa saja dipermasalahkan: apakah toleransi bersifat eksklusif hanya pada mereka yang juga toleran? Jika toleransi hanya terbatas pada mereka yang punya sikap toleran, tidakkah artinya toleransi juga punya sisi intoleran terhadap mereka yang intoleran? Permasalahan ini pernah disinggung oleh Karl Popper dalam gagasannya tentang paradoks toleransi. Bagi Popper, mereka yang intoleran tidak perlu ditoleransi karena jika diberi panggung, si intoleran nantinya akan menyingkirkan mereka yang toleran. 

Popper mungkin ada benarnya, tapi juga bisa dipermasalahkan: tidakkah boleh-boleh saja bagi seseorang atau kelompok tertentu memandang perbedaan sebagai sesuatu yang menyusahkan bagi prinsip yang dianutnya? Di sisi lain, tidakkah juga "kodrati" bagi seseorang atau sebuah kelompok untuk hidup dengan memandang orang lain sebagai "yang lain" supaya dirinya dan kelompoknya tidak "tercemari"? Pandangan semacam itu mungkin menjadi seperti ancaman bagi prinsip toleransi, tetapi bukankah kita sebaiknya juga toleran terhadap hal demikian? Tidakkah mereka yang punya prinsip toleransi juga enggan "dicemari" oleh mereka-mereka yang dianggap intoleran? 

Menghargai perbedaan memang perlu, tetapi aku juga merasa Kwame Anthony Appiah, si pemikir kosmopolitanisme ada benarnya soal problem dari pluralisme: aku dan kamu berbeda, lalu selesai. "Menerima perbedaan" dalam arti demikian sebenarnya bisa jadi bukan benar-benar "menerima perbedaan", tetapi hanya mengiyakan bahwa antara satu kelompok dan kelompok lain memang berbeda, dan mari lanjutkan kesibukan kita masing-masing asal tidak saling ganggu. Terdapat kesan bahwa toleransi juga demikian, bahwa yang terjadi hanyalah selebrasi atas perbedaan, suatu penerimaan demi tujuan yang satu: "hidup damai dan rukun" Tapi apakah itu "hidup damai dan rukun", apakah tentang mampu mengejar apa yang kita inginkan dan cita-citakan? Tapi apakah yang kita inginkan dan cita-citakan itu? Apakah kesejahteraan dan kesuksesan? Jika iya, adakah yang dikorbankan dalam usaha-usaha itu? Nah, jika ada, bisakah toleransi mendamaikan semua itu, menghargai "perbedaan" dalam hal ketimpangan? 

Dalam pengertian demikian, toleransi bisa jadi semacam justifikasi untuk "tidak saling mencampuri urusan". Toleransi menjadi sebatas "aku dan kamu berbeda" jadi tidak usah saling mengganggu: padahal perbedaan itu bisa sesuatu yang "kodrati", bisa juga konstruksi, perbedaan yang "disengaja". Jika memang toleransi adalah pembenaran bagi perbedaan yang dikonstruksi sedemikian rupa, maka toleransi adalah sekaligus nama lain dari sikap "masa bodoh" dan "tidak peduli", semacam istilah halus bagi individualisme atau bahkan egoisme. Seorang kawan bahkan mengomentari dengan sinis, bahwa toleransi adalah situasi yang dibutuhkan sebagai prasyarat bagi investasi ekonomi. 

Tentu saja toleransi tidak selalu seperti itu. Toleransi ada juga yang penting, yang memang dibutuhkan untuk mengatasi perbedaan yang "kodrati", yang memang tidak mungkin diubah karena sifatnya yang niscaya. Misalnya, perbedaan antar agama mau tidak mau mesti ditoleransi karena hal-hal tersebut biasanya ada unsur terberi dan kerap tidak perlu alasan rasional untuk memeluknya (sehingga tidak selalu bisa diajak berdiskusi). Hal-hal tentang agama juga malah kadang perlu semacam "ketertutupan" supaya bisa fokus terhadap apa yang diyakininya masing-masing. Bahkan sikap terlampau toleran kerapkali jatuh pada pembenaran atas keengganan untuk mendalami keyakinan sendiri dan malah menjadi oportunisme sempit: soal keimanan menjadi tidak penting, yang penting "kebersamaan". 

Hal yang-penting-"kebersamaan" ini juga bisa dikritisi sebagai selebrasi permukaan: toleransi menjadi jargon, sesuatu yang dibesar-besarkan seperti slogan politik. Toleransi menjadi pertunjukkan kekuatan sebagaimana halnya parade militer, semacam kampanye penuh kemeriahan padahal mengandung sisi yang berbahaya: keinginan untuk menghancurkan si intoleran. Hal yang lebih buruk adalah apa yang dimaksud intoleran ini definisinya tidak jelas. Siapa si intoleran itu jadinya hanya diukur berdasarkan barometernya si paling toleran: ia yang berbeda dengan kami, itulah si intoleran. 

Maka itu ketimbang kian sinis memandang jargon toleransi, lebih baik sama sekali tidak menjadikannya jargon atau bahan kampanye. Saat hal-hal tentang toleransi itu diterima dalam pikiran, seketika itu juga dicerna melalui tindakan. Toleransi hanyalah menjadi toleransi saat dipraktikkan, saat berhenti diperkatakan, melainkan mewujud dalam perbuatan. Mari diam saja tentang toleransi, dan bertindaklah yang toleran, tanpa perlu dirayakan.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k