Pada setiap kita berada di suatu peristiwa, kita ada di suatu peristiwa tersebut. Maksudnya, kita ada di sana, menjadi bagiannya, melebur dalam ruang dan waktunya. Namun saat ruang dan waktu itu sudah berbeda, kita kemudian punya kemampuan untuk menceritakannya ulang, dalam lisan maupun tulisan. Namun apapun itu yang direpresentasikan oleh lisan ataupun tulisan, bukanlah persisnya peristiwa "itu". Ia telah memiliki "selisih" antara yang berada di ruang dan waktu sejatinya, dan ruang dan waktu yang telah diceritakan ulang.
Misalnya, terdapat periode yang kelihatannya rumit pada kehidupan Lacan antara tahun 1953 hingga 1962 terkait posisinya dalam beberapa asosiasi psikoanalisis. Sembilan tahun bukanlah periode yang bisa dikatakan singkat dalam kehidupan manusia. Namun kita membacanya bisa jadi sangat ringan, bahwa 1953 Lacan mengalami hal ini, lalu mengalami hal itu, begitu seterusnya hingga tahun 1962. Apakah aslinya demikian "ringan"-nya? Saya membayangkan tidak sama sekali: mungkin Lacan mengalami stres berat, menelpon temannya satu per satu, meminta pertolongan, galau berkepanjangan, memasuki ruangan dengan penuh curiga pada banyak kolega, dan sebagainya. Namun di hadapan sebuah kronologi kehidupan seseorang, kejadian demi kejadian rumit tersebut tampak berlalu begitu saja.
Namun tulisan ini bukan hendak mempermasalahkan ketidakmungkinan representasi itu (bahwa peristiwa sejati adalah selalu peristiwa sejati yang tidak bisa diwakili oleh lisan atau tulisan yang terpisah ruang dan waktu). Justru selisih itulah yang penting dalam perjalanan umat manusia, bahwa dalam selisih, orang menafsirkan lebih jauh apa yang ada di antaranya: sebuah ruang dan waktu antara peristiwa dan non-peristiwa. Selisih itu diselami di antaranya lewat film, novel, riset-riset lebih jauh, atau sekadar berada di imajinasi orang-orang yang memikirkannya.
Problem selisih ini juga adalah salah satu keresahan yang dipikirkan filsafat berabad-abad. Karena segala sesuatu berselisih, maka segala sesuatu sekaligus takajeg sehingga perlu dirajut oleh fondasi metafisis yang kokoh. Pada segala selisih yang terjadi, filsafat menyatukannya dalam macam-macam klaim, mulai dari akal budi yang mengetahui segala, rasio murni hingga dialektika sejarah. Kita mencoba "menyatukan" selisih lewat pikiran-pikiran, menjadikannya sesuatu yang sebenarnya satu rangkaian, satu gerbong, dengan lokomotif bernama metafisika. Usaha mengatasi selisih, adalah hal terbesar yang dilakukan rasio.
Namun selisih adalah sekaligus ketertutupan, sesuatu yang hanya mampu dikunjungi oleh memori seseorang atau suatu kelompok ke masa-masa terjadinya peristiwa "itu". Selisih tidak bisa ditampik kebenarannya, meski bisa disikapi berbeda-beda atas kebenaran tersebut. Pada seseorang yang baru saja patah hati, ia mengalami selisih itu, duduk di antara kehancuran cinta dan berseminya cinta, ia berada dalam tegangan antara hidup yang kehilangan jalannya dan hidup yang pernah begitu bertujuan.
Pada akhirnya yang kita kenang sekaligus rayakan, adalah selisih itu, bukan tentang masa lalunya, bukan tentang perasaan di masa kini, tetapi hal-hal yang berada di antaranya, yang terpisah oleh ruang dan waktu, tetapi kita kerap meregang bersamanya, menghidupi tegangannya. Antara narasi tentang Lacan dan peristiwa yang sebenarnya dihadapi Lacan, pada rongga-rongga itu kita menikmati imaji-imaji tentangnya.
Comments
Post a Comment