Mengelola Kelas Isolasi semestinya adalah semacam hobi, hal yang dikerjakan di waktu-waktu luang alias di luar jam kerja (meski saya tidak punya pemisahan yang tegas tentang mana jam kerja dan mana non jam kerja). Namun terutama sejak kehadiran para relawan mulai sebulan lalu, mengurusi Kelas Isolasi menjadi hal yang mesti dikerjakan penuh waktu. Mengapa demikian? Bukankah keberadaan 32 relawan yang membantu Kelas Isolasi membuat kami bisa lebih santai-santai? Ternyata sebaliknya, perhatian yang lebih besar justru dibutuhkan akibat lebih banyaknya konten yang diproduksi.
Konten-konten yang diproduksi tersebut tidak semuanya bisa langsung diposting, melainkan mesti dibaca kembali, direvisi tipis-tipis, bahkan dalam beberapa kasus, harus dirombak habis-habisan. Konten yang melimpah juga membuat kami mesti mengatur jadwal supaya frekuensi kemunculannya menjadi rapi sekaligus estetik. Hal-hal demikian, mau tidak mau, memerlukan semacam sistem, supaya segalanya agak-agak otomatis dan tidak terganggu oleh kondisi-kondisi eksternal (maksudnya, meskipun kami sedang tidak mood, postingan tersebut akan terbit dengan sendirinya karena telah terjadwal).
Memasuki tahun ketiga Kelas Isolasi, yang kami sendiri tidak mengira akan berkiprah sejauh ini, banyak hal yang mesti dibenahi, termasuk program dan konten yang lebih sering dan tentu saja, kian bermutu. Mengapa demikian? Bukankah lebih enak jika semuanya seperti awal pendiriannya: santai dan tanpa beban? Hal demikian pada dasarnya merupakan pilihan saja. Tentu saja kami bisa-bisa saja untuk mengerjakan semuanya "sesuai mood" atau tergantung "musim", tetapi di sisi lain, kami juga bisa membayangkan Kelas Isolasi yang lebih "melembaga", memiliki sistem, dan hal tersebut, secara tidak langsung, membantah stereotip terhadap orang-orang filsafat yang umumnya dianggap "semaunya", "cuma asyik sendiri", dan "cuma bisa berteori tapi buruk dalam implementasi".
Memang jadinya memilih pilihan terakhir akan membuat Kelas Isolasi terkesan tak sejalan dengan prinsip yang saya seringkali kritik yakni motivasi. Kelas Isolasi menjadi terlampau bersemangat untuk mengejar sesuatu yang besar, yang ideal, dan berupaya mencapainya dengan ambisius. Ada benarnya, tetapi ada kelirunya: Kelas Isolasi dibangun oleh gairah kami sendiri, kecintaan kami terhadap filsafat, hal yang tumbuh dari keinginan pribadi, yang mudah-mudahan, bukan berlandaskan kesadaran palsu, bukan karena terpaksa karena tiada jalan lain. Kami semua kelihatannya selalu punya pilihan untuk lebih banyak mengerjakan hal lain, yang lebih berduit, yang lebih punya jalan menuju kesuksesan material, tetapi rasa-rasanya, hampir semua dari kami memilih untuk ikut merawat Kelas Isolasi, yang dananya belum jelas, yang segalanya serba swadaya, yang entah akan menjanjikan suatu kejayaan atau malah bubar di tengah jalan.
Dengan demikian, apa yang dikerjakan di Kelas Isolasi masihlah memiliki unsur demotivasi, karena kami bersemangat, bergairah, untuk hal-hal yang bukan disuntikkan oleh aspek eksternal sebagai cita-cita palsu tentang kesuksesan. Dalam Kelas Isolasi, tidak ada hal-hal jauh yang disiapkan, karena memang kami tidak tahu apakah ada atau tidak hal-hal jauh (yang menggiurkan) itu. Hal yang lebih penting adalah kami mencintai apa yang disebut filsafat itu, dan kami mengerjakan sebisa-bisa untuk mewujudkan kecintaan tersebut.
Memang terdengar romantis, tapi lama-lama apalah arti justifikasi semacam itu. Setidaknya sekarang ini kami punya sesuatu untuk dirawat dan ditumbuhkan, karena tidakkah hal demikian yang menjadi salah satu keindahan dari hidup di dunia? Di surga, konon segalanya bisa diperoleh tanpa berusaha, sehingga alih-alih menyenangkan, saya membayangkan surga sebagai proyek yang membosankan.
Comments
Post a Comment