Sebagai orang yang mengklaim diri sebagai "demotivator", nyaris setiap malam saya menyempatkan diri untuk menonton ceramah para motivator via Youtube. Supaya apa? Supaya mengetahui apa yang mereka katakan bersama problem yang dibawanya. Intinya, saya mengumpulkan bahan untuk mengkritik para motivator. Sebagai contoh, terdapat motivator yang kerap mengatakan, "Apakah harus ada orang yang miskin? Harus, yang penting bukan kita." Bagi saya ungkapan tersebut bermasalah, karena menjustifikasi individualisme atau komunalisme sempit, sekaligus meneguhkan paradigma motivasional sebagai agen neoliberal yang mendewakan persaingan dalam konteks zero-sum game - bahwa kemenangan kita adalah sekaligus kekalahan bagi yang lain.
Di tengah keasyikan saya dalam membongkar modus para motivator ini, tiba-tiba seorang kawan mengirimkan buku motivasi dengan dilampiri surat langsung dari penulisnya. Katanya, silakan dibaca, dan mudah-mudahan bisa diulas. Tentu saja hal ini mengejutkan. Bukankah jika seorang motivator ingin bukunya diulas oleh demotivator, itu artinya siapapun itu mesti siap dengan kritikan dan bahkan cacian? Bukankah jika buku tersebut, yang berjudul Love is the Answer, ternyata bisa dibongkar kelemahan-kelemahannya (sebagaimana yang kerap saya lakukan terhadap omongan para motivator), bisa jadi akan berdampak pada turunnya animo pembeli terhadap buku tersebut? Singkatnya, tidakkah langkah penulis, Arvan Pradiansyah, adalah semacam "bunuh diri"?
Tetapi saya sekaligus punya pikiran begini: sebagaimana apa yang dituliskan dalam Demotivasi 3, relasi antara motivasi dan demotivasi memang sekilas berkontradiksi, tetapi keduanya sesungguhnya adalah anak kandung dari rahim yang sama, yakni Motivasi (dengan M besar). Perhatikan bahwa di dalam motivasi, seringkali juga terdapat secuil elemen demotivasi. Misalnya, dari kata-kata motivasi yang saya ambil sembarang di internet, terdapat kalimat-kalimat seperti, "Keraguan adalah musuh terbesar dalam meraih mimpi," atau "Syukuri dan hargai hal-hal yang kamu miliki."
Hal-hal semacam itu juga tidak berbeda jauh dari "ajaran" demotivasi, tetapi yang berbeda adalah akrobat penyampaiannya. Demotivasi pada akhirnya tidak melulu mempermasalahkan problem kalimat motivasi secara semantik, tetapi lebih memasalahkan kekliseannya. Kalimat motivasi adalah kalimat yang terlalu sering diulang-ulang dan seolah dipaksakan sebagai kebenaran mutlak sehingga sekaligus tidak punya makna lagi ketika diperkatakan dimana-mana (seperti nasihat orangtua yang terus direpetisi hingga kita bosan mendengarnya). Saat kalimat motivasi mengatakan, "Ambil risiko, bermimpi lebih besar, dan berharap besar," hal tersebut bukannya keliru, tetapi terlalu sering kita dengarkan hingga bagi sebagian orang mungkin telah kehilangan maknanya.
Kalimat demotivasi, pada titik itu, adalah semacam "serangan atas yang klise", suatu gaya utak-atik agar pembaca mendapatkan kalimat yang lebih segar seperti misalnya, "Jangan ambil risiko, jangan bermimpi, dan jangan berharap," atau "Di balik setiap kesulitan, terdapat kesulitan yang lebih besar." Bagi sebagian orang, ungkapan semacam itu mungkin memberikan semacam pengaruh buruk, semacam pesimisme yang menodai pola pikir. Namun bagi sebagian lainnya, mungkin ungkapan demotivasional tersebut lebih mengajak pada sikap realistis, semacam usaha penyadaran bahwa hidup memang bukan semata-mata tentang pola pikir, tapi juga pada titik tertentu, perkara penerimaan kita terhadap problem struktural yang seringkali telah begitu masif dan sistematis sehingga usaha mengubahnya malah berujung sia-sia. Dalam kondisi yang demikian, sebenarnya pemikiran demotivasi tidak ubahnya seperti kalimat motivasi di atas yang berbunyi, "Syukuri dan hargai hal-hal yang kamu miliki."
Atas dasar irisan tipis-tipis antara motivasi dan demotivasi, saya kemudian memutuskan untuk menenggelamkan diri pada karya Arvan Pradiansyah yang terbit pada Agustus 2022 lalu ini. Sesuai judulnya, buku Love is the Answer membahas tentang cinta. Apakah topik tentang cinta adalah hal baru bagi para motivator? Kelihatannya tidak, tetapi dari beberapa ceramah yang sudah ditonton via Youtube, biasanya hal tentang cinta ini bersifat normatif saja: "Cintai keluargamu", "cintai pekerjaanmu", tanpa dibahas lebih lanjut: cinta yang seperti apa? Tidakkah cinta ada banyak ragamnya? Tidakkah cinta juga menimbulkan beraneka konsekuensi yang katakanlah, buruk? Sebagai contoh, rasa cinta yang berlebihan terhadap pekerjaan membuat kita menjadi lebih mudah untuk dimanfaatkan dan dieksploitasi oleh atasan; rasa cinta yang berlebihan terhadap kepemilikan pribadi membuat kita akan lebih mudah menyingkirkan orang lain dalam rangka memperebutkan kekayaan. Itulah pertanyaan pertama yang muncul kala memegang buku setebal 185 halaman ini: cinta seperti apa yang dimaksud oleh Arvan Pradiansyah?
Ternyata Arvan sudah mengantisipasi pertanyaan semacam itu dengan menjabarkannya pada halaman 11. Menurut Arvan, cinta yang dimaksudnya adalah agape atau cinta tak bersyarat, cinta yang tulus pada sesama. Konsep cinta dalam hal ini bukanlah eros (cinta birahi) atau philia (cinta persahabatan) yang mungkin dianggap terlalu terbatas. Dengan terlebih dahulu menjernihkan konsep cinta yang diangkatnya sebagai agape, Arvan melanjutkan pandangannya dengan menunjuk kekurangan agape sebagai problem masyarakat modern. Arvan bahkan menganalisis bahwa penyakit bangsa ini adalah diakibatkan oleh kehilangan cinta, krisis cinta, dan Darurat Cinta Kasih (hlm 11 - 13).
Melalui pernyataan tersebut juga secara implisit Arvan hendak menegaskan bahwa bangsa ini tidak punya masalah dengan "cinta-cinta parsial" seperti eros atau philia, yang malah tumbuh subur sebagai konsekuensi dari kehidupan masyarakat yang diwarnai serba kepentingan. Dalam kehidupan yang segala sesuatunya serba transaksional, yang jarang justru: agape, sebuah cinta tanpa syarat, atau filsuf Prancis, Emmanuel Levinas, menyebutnya sebagai "hubungan asimetris".
Jika kita kembalikan pada pernyataan seorang motivator di awal tulisan ini yang menyiratkan penggunaan motivasi sebagai usaha memenangkan kompetisi dalam konteks zero-sum game ("Apakah harus ada orang yang miskin? Harus, yang penting bukan kita."), maka pandangan Arvan bisa jadi sangat bertentangan dengan pendapat demikian. Arvan bahkan bergerak lebih jauh ketimbang tawaran penulis terkenal Amerika Serikat, Stephen Covey, yang masih "berpikir menang-menang" sebagai hal yang lebih baik dari "berpikir menang-kalah". Arvan melampaui Covey dengan mengritik bahwa "berpikir menang-menang" masihlah terperangkap dalam hubungan yang transaksional. Hal yang lebih penting, lanjut Arvan, adalah hubungan yang transformasional, yang dasarnya adalah "cinta dan kasih" (hlm 23).
Bahasan yang tak kalah menarik, yang membuat Arvan punya gagasan yang cukup berbeda dari para motivator lainnya adalah pandangannya tentang waktu. Para motivator pada umumnya kerap mengaitkan waktu dengan konversi berupa uang. Waktu yang berharga adalah waktu yang bisa dimanfaatkan untuk hal-hal yang berguna. "Berguna" dalam konteks demikian tentu lebih banyak diarahkan pada aspek keuntungan material. Sebaliknya, waktu yang tidak bisa dimanfaatkan untuk mendapatkan uang, adalah sekaligus waktu yang terbuang sia-sia. Pandangan-pandangan demikian yang kemudian melahirkan hustle culture atau desakan-desakan seperti "punya rumah sebelum usia 30", "sukses sebelum usia 30" dan hal-hal semacamnya. Dengan ajaran seputar "waktu adalah uang", umumnya manusia modern menjadikan pencapaian di usia tertentu sebagai patokan kesuksesan.
Dalam bab berjudul Hidup di Jalur Cepat, Arvan justru mengritik serba ketergesa-gesaan tersebut. Dorongan kita untuk serba cepat dalam mengejar sesuatu mungkin bisa saja menghasilkan keuntungan material, tetapi konsekuensinya juga tidak main-main: mungkin dalam perjalanannya, kita kehilangan cinta, cinta pada sesama (akibat terburu-buru mengejar kesuksesan sehingga mengorbankan banyak orang). Atas dasar itu, Arvan mengajak pembacanya untuk memperlambat tempo supaya terbangun hubungan emosional, menunjukkan bahwa kita mengasihi orang lain, dan sekaligus meningkatkan kepekaan kita terhadap sesama (hlm 18). Dengan tegas Arvan menuliskan: kasih bukanlah ditumbuhkan dalam kecepatan, kasih ditumbuhkan dalam kelambatan.
Dalam Love is the Answer, Arvan tidak banyak menyinggung ajaran agama, tetapi jika kita kait-kaitkan, apa yang hilang dari praktik beragama juga kelihatannya sama: cinta. Benar bahwa agama mengajarkan kebaikan, mengajarkan berbagai ritual untuk membuat seseorang lebih mendekat pada Sang Pencipta, dan berbagai ajaran lainnya yang memandu hidup manusia. Namun apa yang kerap luput dari bagaimana kita mempraktikkan hidup beragama, jangan-jangan adalah perkara cinta. Letak persoalannya mungkin bisa dimulai dari pendefinisian cinta itu sendiri. Bagi sebagian tafsir umat beragama, cinta bisa diartikan sebagai birahi, kemelekatan, atau ketertarikan berlebihan terhadap dunia (sehingga dalam arti tertentu mesti diredam). Namun Arvan sudah menekankan, bahwa cinta memang banyak ragamnya, dan yang harus kita tumbuhkan adalah cinta dalam arti agape.
Cinta agape ini pastilah merupakan cinta yang juga dicurahkan oleh junjungan kita dan orang-orang suci lainnya terhadap para pengikutnya. Kalau dipikir-pikir, untuk apa mereka harus bersusah-susah mencintai umatnya, padahal orang-orang terpilih tersebut sudah pasti masuk surga? Bukankah hidup dalam kesendirian dan fokus beribadah terasa lebih "aman" ketimbang harus menyelami kehidupan manusia dengan segala dinamikanya? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu, justru yang menjadi sasaran kritik Arvan sebagai kerangka transaksional dan serba kepentingan. Nabi-nabi mungkin sudah lepas dari pola pikir demikian dan telah memahami kehidupan sebagai transformasi terus-menerus, yang hanya bisa bertumbuh justru oleh hubungan yang asimetris: bahwa meski tanpa memberi pun aku sudah masuk surga, aku akan tetap memberi. Aku akan tetap memberi bukan karena aku akan mendapatkan sesuatu dari memberi itu, tapi karena memberi adalah suatu keharusan sebagai seorang manusia.
Memberi sebagai sebuah keharusan, sebuah tuntutan moral, sebuah ekspresi cinta tanpa pamrih, adalah hal yang kian langka dalam kehidupan serba transaksional ini. Memberi yang didasari sebuah cinta yang bening atau apa yang disebut dalam bahasa agama sebagai ikhlas malah tampak asing, aneh, dan "tidak normal". Lewat bukunya yang renyah ini, Arvan berusaha meletakkan kembali cinta sebagai fondasi moral masyarakat masa kini yang rasa-rasanya kian rapuh diterjang pola pikir yang serba transaksional, yang ironisnya, turut ditanamkan oleh sebagian motivator.
Kemudian saya menjadi teringat mengapa Arvan mengirimkan saya bukunya, yang notabene semacam keputusan "bunuh diri" karena mengirimkan buku motivasi kepada penulis buku demotivasi. Jika saya ini katakanlah, secara pemikiran adalah "musuh", maka Arvan telah mempraktikkan cinta sebagaimana ditulisnya: cintai "musuh"-mu. Hal tersebut justru merupakan tempaan sejati, yang begitu berat dipraktikkan pada orang-orang yang secara kepentingan justru bertentangan. Arvan di sini telah mendagingi pemikirannya, merangkul saya, yang sudah dalam posisi siap mencaci, sebagai orang-tak-dikenal yang justru mesti diciprati agape.
Ya, saya ternyata belajar, bahwa label motivator yang melekat pada profil Arvan tidak harus membuat saya langsung mengambil kuda-kuda. Saya membaca terlebih dahulu, menyelami pemikirannya, dan tanpa usah mengategorikan ini buku motivasi atau bukan, saya tetap fokus pada kalimat demi kalimat yang disampaikan. Tidak perlu semua ajaran dalam buku ini harus saya sepakati, tetapi yang lebih penting: saya dengan tulus membacanya. Memahami bahwa apapun pemikiran yang disampaikan: motivasi atau demotivasi, tidak jadi soal, selama sama-sama punya sikap kritis terhadap kehidupan manusia yang terlampau materialistis sehingga kehilangan ruhnya yang paling hakiki.
Jangan-jangan ruh yang hakiki itu adalah cinta.
Comments
Post a Comment