Mungkin tidak ada orang yang menginginkan seluruh dunia bagi dirinya sendiri. Setiap orang rasa-rasanya memikirkan juga soal keadilan dan distribusi. Namun keadilan dan distribusi tersebut harus melalui sebuah syarat: kepemilikan. Orang mesti memiliki dulu, baru memikirkan keadilan dan distribusi. Supaya apa? Entah, karena mungkin masing-masing orang punya versinya sendiri tentang apa yang adil.
Contoh ekstremnya, pemerintah. Pemerintah pada prinsipnya adalah pihak yang (merasa) berhak menyimpan kekayaan negara dan mendistribusikannya. Saat kekayaan itu hendak didistribusikan, mereka tentu tidak langsung membagikannya pada rakyat, melainkan lewat beberapa tahapan administratif. Pada setiap tahapan-tahapan tersebut, perpindahan kepemilikan terjadi dari satu institusi ke institusi yang lain. Lalu pada masing-masing institusi yang katakanlah di Indonesia, hampir pasti terjadi korupsi atau semacamnya, supaya kepemilikan menjadi lebih spesifik ke tangan tertentu. Mereka yang korupsi itu kemudian akan membagikannya kembali pada orang-orang yang berjasa pada terjadinya penguasaan atas uang tersebut. Namun pada pokoknya, distribusi kekayaan pasti terjadi asal itu tadi: melewati suatu kepemilikan terlebih dahulu.
Entah mengapa sesuatu harus dimiliki terlebih dahulu baru memikirkan keadilan tentangnya. Kelihatannya kepemilikan adalah syarat juga bagi sikap moral tertentu: kalau sesuatu aku miliki dan aku yang bagikan, maka akulah yang bermoral, akulah yang mendapat ganjaran akan kegiatan memberi itu. Maka saya teringat ceramah-ceramah agama bertemakan "teologi kemakmuran": "Kalau kita tidak kaya, maka bagaimana kita bisa bersedekah?" Menurut saya pertanyaan tersebut menunjukkan kepemilikan sebagai prasyarat bagi moral. Padahal jika kita coba lebih kritis, bisa saja yang terjadi sebaliknya: bukankah kegiatan sedekah ada akibat kepemilikan berlebihan dari si kaya?
Jadi sebenarnya apa yang dicita-citakan secara ideal oleh masing-masing orang jangan-jangan bukanlah semata-mata tindakan baik, melainkan kepemilikan yang mengawali segala tindakan baik. Mereka tidak mau begitu saja melihat tindakan baik yang hanya dilakukan oleh negara, misalnya, melainkan juga ingin mencicipi kepemilikan untuk mendistribusikan tindakan baik itu dalam versinya sendiri. Apa yang baik memang secara normatif ditujukan untuk kepentingan komunal, tetapi mestilah berangkat dari motif-motif personal.
Pada titik ini, rasa-rasanya saya mulai menyerah pada kebenaran egoisme etis. Bahwa setiap orang pada dasarnya hanya memikirkan kepentingannya sendiri untuk dipenuhi, sebelum kemudian mulai memikirkan kepentingan yang lain. Orang harus terpenuhi dulu tentang apa-apa yang ia inginkan, baru mulai beranjak pada urusan moral. Tanpa kepemilikan yang dikuasai dirinya sendiri, orang akan terus mencurigai kepemilikan orang lain sebagai praktik yang tidak adil: "Berikan padaku, aku tahu apa yang adil," begitulah kata semua orang di manapun.
Maka patut kita curigai adakah yang benar-benar altruis di dunia ini? Kalaupun saya berkorban untuk seseorang, mungkin saya mesti memastikan terlebih dahulu: bahwa saya adalah pemilik dari pengorbanan ini dan bukan yang lain.
Comments
Post a Comment