Baru saja saya menyelesaikan tugas sebagai moderator diskusi hukuman mati. Topik ini sebenarnya tidak pernah menjadi hal yang saya fokuskan. Soal hukuman mati saya selalu mengacu pada cerpen Anton Chekhov berjudul Pertaruhan. Dalam cerpen tersebut, diceritakan bagaimana bankir dan ahli hukum bertaruh mana hukuman yang lebih baik, hukuman mati atau hukuman seumur hidup. Ahli hukum, yang memilih opsi kedua, bersedia mendekam di penjara selama lima belas tahun dan jika ia berhasil melewatinya, maka lawan taruhannya harus membayarnya dua juta rubel. Bankir yakin akan memenangkan pertaruhan ini karena siapa yang mau secara sukarela mengurung dirinya sendiri di penjara selama lima belas tahun?
Namun tak disangka-sangka, bankir berhasil membuat dirinya betah bertahun-tahun karena membaca buku. Begitu banyaknya ia membaca buku sehingga ia mendapatkan suatu kebijaksanaan yang membuat pertaruhan tersebut terasa sia-sia. Kita tidak perlu membahas bagaimana akhir dari pertaruhan ini karena takut menjadi spoiler bagi mereka yang berminat membacanya sendiri. Meski tidak tersurat, tetapi saya bisa setidaknya menyimpulkan bahwa hukuman seumur hidup, dalam tafsir saya terhadap cerpen Chekhov tersebut, lebih baik karena memberi kesempatan si terhukum untuk memperbaiki dirinya, berubah menjadi orang yang lebih baik. Sebenarnya alih-alih mengambil hikmah tentang hukuman mati dari cerpen tersebut, saya lebih tertarik membaca kesan si ahli hukum tentang membaca. Dalam cerpen tersebut, Chekhov menceritakan dengan indah bagaimana membaca membuat si ahli hukum dapat mengembangkan pikirannya jauh melampaui tembok-tembok penjara sehingga ia tidak pernah merasa bosan meski mendekam lima belas tahun.
Meski ditulis dalam bentuk fiksi, argumen Chekhov tentang penolakan hukuman mati, bagi saya, tetap kokoh. Sementara itu, di sisi lain, umumnya mereka yang pro hukuman mati mempunyai sekurang-kurangnya dua alasan yaitu pertama, perkara retribusi atau pembalasan atau sering diilustrasikan dengan "mata dibalas mata". Hukuman mati dianggap "adil" karena mereka yang telah misalnya, membunuh seseorang, mesti juga kehilangan nyawanya. Immanuel Kant bahkan membela hukuman mati dengan mengatakan bahwa hukuman harus dijatuhkan sebagai bentuk penghargaan kita terhadap maksim universal si pelaku kejahatan yang jika ia membolehkan dirinya untuk membunuh, maka sudah sepatutnya kita selaku pengadil membolehkan diri kita juga untuk membunuh si pembunuh. Alasan kedua umumnya berkaitan dengan efek jera. Dengan melaksanakan hukuman mati terhadap suatu kejahatan, maka diharapkan orang menjadi enggan untuk melakukan kejahatan serupa.
Bantahan terhadap dua alasan tersebut juga sudah sering dikemukakan. Tentang retribusi, kita tidak tahu hingga seberapa jauh pembalasan tersebut dapat terpuaskan. Misalnya, jika seseorang membunuh anak kandung orang lain, apakah orang lain tersebut merasa terpuaskan jika anak kandung si pembunuh juga dibunuh? Atau hal tersebut tidak membuatnya puas dan bisa jadi malah ingin membunuh seluruh keluarganya? Selain itu, alasan retributif juga seringkali gagal secara etis karena mengapa kejahatan seseorang mesti dibalas dengan kejahatan yang sama? Tidakkah kita menjadi "sama" dengan orang jahat tersebut? Sementara terhadap alasan efek jera, umumnya bantahan yang diungkapkan adalah terkait tidak adanya bukti meyakinkan bahwa hukuman mati menekan angka kejahatan. Bahkan bagi orang dengan ideologi tertentu, hukuman mati bisa menjadi suatu kebanggaan, ia merasa telah menjadi martir, yang membuat kelompoknya bertambah semangat.
Masalah lain pada hukuman mati adalah ketidakmungkinannya untuk merevisi putusan pasca eksekusi dijalankan (karena orangnya sudah telanjur mati). Padahal putusan hakim bisa saja keliru. Selain itu, dalam pelaksanaannya, hukuman mati juga biasanya bias kelas. Umumnya pada orang-orang golongan ekonomi menengah ke bawah atau mereka yang mendapat diskriminasi secara sosial, hukuman mati lebih mudah dijatuhkan ketimbang pada orang-orang kaya dan berprivilese. Terakhir, dalam nuansa yang lebih teologis, kita bisa katakan bahwa negara bukan Tuhan, ia, dan siapapun juga, tidak berhak mengambil nyawa siapapun.
Comments
Post a Comment