Memang tidak bisa ditolak, sebagai konsekuensi dari kepemilikan pribadi, terjadilah hal yang namanya privilese atau hak istimewa. Privilese ini melekat, buah dari apa yang dikerjakan orang tua, kakek-nenek, dan leluhur kita, yang tidak bisa begitu saja ditanggalkan dan bahkan cenderung dinikmati. Memang ada privilese berupa kepemilikan rumah sejak lahir, kemudahan mengakses sekolah-sekolah bagus sejak TK, hingga fasilitas uang jajan yang memadai untuk membeli ini-itu, tetapi ada juga privilese berupa hal-hal yang melekat pada tubuh, yakni kenyataan bahwa seseorang lahir sebagai laki-laki, lahir sebagai suku yang umumnya bertempat di Pulau Jawa, lahir sebagai muslim, dan lahir sebagai heteroseksual. Privilese terakhir ini memang juga berhubungan dengan apa yang dikerjakan orang tua (migrasi, kawin dengan siapa), tetapi secara umum lebih tidak bisa dilepaskan ketimbang harta benda (yang statusnya lebih tidak stabil).
Konsekuensi dari privilese itu bisa pada akses-akses berikutnya yang seolah "diusahakan oleh diri sendiri". Misalnya, kita bisa masuk universitas top memang sebagai buah hasil kerja keras mengerjakan tes, tetapi kenyataan bahwa kita pernah masuk sekolah-sekolah bermutu sebelumnya tidak lepas dari privilese. Kita bisa mudah bergaul dengan lingkungan sekitar memang hasil dari sikap supel dan empati, tetapi kenyataan bahwa kita, katakanlah, heteroseksual, membuat kita tidak perlu mendapat hambatan untuk bergaul di tengah masyarakat yang memandang homoseksual sebagai sesuatu yang buruk. Termasuk saat kita mencapai posisi atau jabatan tertentu, akumulasi kekayaan tertentu, agak sukar untuk dikatakan semua itu murni merupakan kerja keras yang tidak ditopang privilese. Kenyataannya, ada orang-orang yang juga pintar, juga ulet, keinginannya tinggi, tetapi sedari remaja ia sudah harus menanggung sekolah adik-adiknya karena orang tuanya sudah tidak ada atau secara ekonomi tidak sanggup. Bagi mereka yang mendapati keadaannya harus seperti itu, keadaannya menjadi sukar untuk sampai pada pencapaian-pencapaian tertentu di kemudian hari.
Privilese ini, sekali lagi, tidak bisa begitu saja ditolak. Bahkan sebisa mungkin, dalam titik tertentu, dinikmati saja. Namun bagaimana cara menikmatinya, hal ini yang perlu dibahas lebih jauh. Kita tahu bahwa belakangan ini masyarakat kita diganggu oleh berita-berita tentang orang-orang berprivilese yang bergaya hidup mewah dan bahkan berlaku semena-mena. Mereka adalah anak-anak pejabat, di antaranya anak pejabat Ditjen Pajak dan juga Bea Cukai. Mereka menikmati privilese-nya, tetapi dengan cara mengabaikan kenyataan di sekitar: bahwa terjadi ketimpangan, bahwa banyak orang yang kerja keras banting tulang tapi tidak mungkin bisa membeli Rubicon (seperti yang dilakukan salah satu pejabat), bahwa untuk menikmati gemerlap dunia malam saja perlu menghabiskan separuh gaji (sementara anak-anak berprivilese tersebut mungkin hampir setiap minggu atau bahkan setiap hari!). Perbuatan mereka membuat orang-orang (setidaknya yang saya perhatikan di Twitter) sadar akan apa itu hak. Mungkin anak-anak pejabat tersebut merasa mempunyai hak bergaya hidup mewah, karena itu adalah harta pribadinya, tetapi hak belum tentu diperoleh lewat "transaksi" yang adil dan malah hak-hak tersebut bisa jadi didapat lewat penghisapan, penindasan, korupsi, suap, dan lain-lain. Bahayanya, hal-hal tersebut dianggap sebagai "kerja keras"-nya sendiri, sehingga mereka berhak menikmati apa yang menjadi "hak"-nya.
Maka itu, privilese penting juga untuk dipandang sebagai "beban moral", sebagai tanggung jawab yang lebih besar terhadap orang-orang yang kurang berprivilese atau bahkan tidak memilikinya. Bahwa kehidupan mestilah adil merupakan hal yang menurut saya utopis, tetapi kita bisa setidaknya, mengusahakannya dengan mengandaikan keadilan di dalam pikiran. Jika kita masuk pada dunia filsafat-filsafat-an, kesinisan terhadap privilese kerap dialamatkan pada geng Mazhab Frankfurt yang berbicara kesadaran kelas dari tembok akademik yang nyaman. Namun Christian Fuchs membela privilese semacam ini (secara khusus ia membela Theodor Adorno) dengan mengatakan bahwa iya jelas bahwa mereka-mereka berprivilese, tetapi lantas bagaimana? Apakah mereka harus menanggalkan seluruh jabatannya baru kita mau mendengarkannya? Bagi Fuchs, Adorno punya kelebihan dalam hal kenyamanan hidup dan waktu luang, tetapi ia memanfaatkan semua itu untuk menulis tentang dialektika negatif, budaya industri, dan kritik terhadap musik pop. Tidakkah itu pilihan yang "lebih baik" ketimbang menghabiskannya untuk mabuk-mabukan atau membeli Rubicon?
Saya sendiri menyadari privilese saya. Sedari kecil, karena orang tua yang berprofesi sebagai dosen, saya sudah terbiasa dengan buku-buku dan diskusi apa saja tanpa mengenal tabu. Karena orang tua yang dosen itulah, saya juga dipilihkan sekolah-sekolah yang baik. Mereka mengerti pendidikan dan melakukan riset secara sungguh-sungguh terhadap sekolah-sekolah yang saya masuki. Saya juga punya privilese sebagai laki-laki, sebagai muslim, sebagai orang dari suku Sunda yang tinggal di Pulau Jawa, sebagai heteroseksual, dan lain-lain. Semua hal tersebut membawa saya pada pertanyaan besar: apakah patut bagi saya untuk berbangga diri, merasa lebih dari orang lain, ketika modal yang saya punya terlalu besar untuk menjadi orang yang, katakanlah, maju dan punya pencapaian? Saya kira tidak ada kerennya untuk menjadi keren di antara orang-orang yang tidak keren (karena mereka tidak punya cukup akses terhadap kekerenan). Maka itu mengajarlah, berbagilah, supaya orang-orang lain juga ikut keren, supaya kita menjadi keren di antara orang-orang yang juga keren: tidakkah itu adalah sekeren-kerennya keren?
Comments
Post a Comment