Meski tidak berangkat dari pengamatan yang dikatakan sahih, tetapi saya punya simpulan bahwa untuk bisa berpikir agak keras, seseorang mesti makan atau minum sesuatu yang tidak sehat-sehat amat. Misalnya, sejumlah filsuf digambarkan sebagai perokok dan peminum, pun di antara kita kalau sedang berdiskusi filsafat, biasanya sambil ngopi, ngebir, atau minum alkohol. Meski ada, tapi agak jarang: orang berkegiatan filsafat sambil minum-minuman sehat. Entah kenapa terdapat kecenderungan seperti itu dan fenomena semacam ini tentu tidak memuaskan jika hanya dijawab dengan "urusan selera masing-masing". Padahal secara umum tentu kita tahu: alkohol, kopi, rokok, adalah sesuatu yang tidak sehat, yang cepat atau lambat akan menjadi penyakit dalam tubuh kita. Namun mengapa, terutama saat berdiskusi filsafat, seseorang bisa mengonsumsinya dengan gembira, dengan perasaan yang "adil" bahwa memang itu semualah yang diperlukan bagi proses pemerasan pikiran?
Mungkin problem ini bisa dimasukkan ke dalam problem pikiran - tubuh. Pertanyaannya, mengapa pikiran yang digunakan untuk berpikir filosofis, tidak dihasilkan dari tubuh yang prima, bugar dan sehat? Mengapa malah cenderung sebaliknya? Semacam tubuh itu "dirusak" supaya pikiran jernihlah yang kemudian menyembul. Jadinya bisa sekaligus dikatakan, bahwa pikiran yang jernih merupakan "kompensasi" dari pengrusakan tubuh. Hal-hal semacam ini sebenarnya sudah biasa dipraktikkan dalam agama: misalnya, praktik hidup asketik untuk mencapai tingkat spiritualitas tertentu. Contoh paling mudahnya tentu berpuasa. Berpuasa dan minum alkohol mungkin bisa dianggap dua hal yang berbeda, tetapi keduanya terdapat kesamaan: membuat diri sendiri menjadi sakit, meski berbeda rentang waktunya, meski berbeda kadar sakitnya.
Ternyata demikian halnya dengan berolahraga. Olahraga adalah kegiatan yang menyakitkan, bikin badan pegal-pegal meski efek berikutnya adalah segar. Namun ada pola yang sama dengan ngopi dan berfilsafat: untuk menghasilkan kejernihan, diperlukan suatu kegiatan yang "kotor" dan "sakit". Namun dari seluruh contoh-contoh yang random tersebut, terdapat sesuatu yang bisa ditarik kesamaannya: bahwa kita sama-sama meyakini ada kondisi yang lebih absolut dan meyakinkan sebagai balasan atas segala penderitaan yang telah dilalui.
Aku tahu dengan merokok dan minum kopi saat berfilsafat, aku akan menderita sakit suatu hari nanti, tetapi setidaknya ada yang jernih, ada yang lebih abadi dari tubuhku yang akan rusak ini: yaitu pikiran yang membumbung ke langit, hasil membicarakan kebenaran semalam suntuk. Aku tahu dengan berolahraga, tubuhku akan sakit-sakit dan pegal-pegal, tetapi ada yang lebih abadi dari tubuhku yang sakit dan pegal-pegal ini, yaitu kebahagiaan menikmati perasaan sehat suatu hari nanti. Aku tahu dengan berpuasa, perutku akan merasa lapar, kebebasanku untuk melampiaskan hawa nafsu terkekang oleh suatu peraturan yang tidak boleh dilanggar. Mengapa aku mau melakukannya? Karena aku yakin bahwa tubuh yang disakiti ini akan membawaku pada kebahagiaan batiniah yang kekal.
Comments
Post a Comment