Skip to main content

Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci

  (Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”.  Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan.  Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gramsci, salah sat

Kampung Halaman


Hari Minggu, minggu yang lalu, saya diajak orang tua untuk berkunjung ke Garut. Tempat tersebut tepatnya adalah kampung halaman bapak, yang sependek pengetahuan saya, jarang sekali dikunjungi. Tentu saja, kesok-sibuk-an urban istri dan saya membuat kunjungan semacam ini, terlebih di hari Minggu, terasa amat berat. Dalam kehidupan perkotaan yang segala-galanya mesti serba berguna, mengunjungi sebuah tempat dengan dalih romantisme kadang terdengar membuang-buang waktu. Namun setelah direnung-renungkan, terutama mengingat usia bapak sekarang sudah kepala tujuh, ajakan-ajakan semacam itu, bagi saya, tidak boleh disikapi dengan egois. Saya harus memikirkan juga dari sudut pandang bapak, yang di usia lansianya mungkin tiada lagi hal yang ingin dilakukan kecuali mengenang dan mengenang. Alhasil, kami pun memutuskan ikut berangkat ke Garut, menanggalkan segala pekerjaan yang seringkali masih harus digarap di hari Minggu. 

Bandung - Garut jaraknya tidak jauh. Bahkan lebih dekat dari yang saya bayangkan. Tidak sampai dua jam, kami sudah sampai di lokasi setelah melewati pemandangan mooi indie yang biasanya hanya bisa dilihat di gambar-gambar waktu SD. Iya, dua gunung yang dibelah jalanan, yang di samping-sampingnya ada sawah-sawah dengan latar belakang langit biru dan awan bergulung-gulung. Karena itu kampung halaman bapak, tentu secara tidak langsung itu juga kampung halaman saya. Meski mungkin saya menghubung-hubungkannya dengan cara yang romantis, dengan bayangan bahwa saya "dilahirkan di desa" seperti kisah masa kecil Soeharto. Kenyataannya, saya lahir dan besar di Bandung, dengan lingkungan yang telah terbuat dari beton, dengan pemandangan pegunungan indah permai yang hanya diketahui dari gambar-gambar anak SD. Garut bukanlah kampung halaman saya yang nyata, tetapi saya perlu mengidentifikasi sebagai "orang Garut", supaya ke-Sunda-an saya sah - karena "orang Bandung" belum tentu menggambarkan keabsahan sebagai orang Sunda. 

Apa yang saya temukan di Garut, tepatnya di wilayah Leles tersebut? Kita tidak perlu membicarakan pemandangan dan pemandangan lagi. Sekarang mari kita bicarakan manusia. Orang-orang Garut yang saya temui, umumnya adalah mereka kerabat bapak yang sudah sepuh-sepuh. Mereka saling menanyakan kabar, bercerita tentang si ini dan si itu, menunjukkan kalau anak ini yang tadinya kecil sekarang sudah besar, kerja di mana. Beberapa dari anak muda atau remaja bermain dengan ayam-ayam atau mengambil mangga dari pohon. Hal yang berbeda dari apa yang umumnya saya temui di perkotaan adalah cara mereka bergerak yang lebih santai. Tidak ada ketergesaan, harus membatasi pertemuan berapa lama karena "ada meeting lagi", atau bertanya "ada perlu apa" seolah-olah segala kunjungan mestilah bernilai praktis (yang terhubung dengan materi). 

Konsep waktu yang "mendesak" tentu ada juga di desa-desa, dalam artian usia berapa harus sekolah, usia berapa harus dapat kerja, usia berapa harus menikah, usia berapa harus punya anak, dan sebagainya. Bahkan hal-hal demikian dipandang sebagai sesuatu yang seolah-olah "kodrati" dan kegagalan seseorang dalam menepati ukuran-ukuran waktu tersebut akan menjadi gunjingan atau cibiran. Umumnya orang-orang di kota, karena paradigma individualisnya, yang menganggap segala sesuatu diukur oleh kehendak dirinya sendiri, melihat konsep pencapaian sebagai sesuatu yang bisa didekonstruksi waktu-waktunya (tidak perlu menikah di usia sekian, tidak perlu lulus di usia sekian). Namun tetap: orang kota selalu tertekan oleh pencapaian, meski jalur yang dilaluinya dapat beraneka ragam. Seberapa pun mereka berusaha santai, mereka tahu bahwa lingkungan urban selalu menekannya, mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang pencapaian material. 

Umumnya orang-orang di desa, sekali lagi, juga punya keharusan untuk mencapai sesuatu, tetapi tidak melulu material. Hal-hal seperti sekolah, menikah, bekerja, mungkin bukan sekat-sekat waktu yang cuma sekadar tentang uang, tapi tentang sesuatu yang membuat kita mesti kembali pada pandangan bahwa hidup ya memang "begitu-begitu saja". Kalaupun terdapat uang yang dicari di dalamnya, uang itu hanyalah suatu prasyarat untuk mewujudkan seremoni-seremoni yang membawa kita pada renungan tentang hidup yang sebagaimana adanya, bukan dalam bentuk jargon-jargon bombastis sebagaimana dikumandangkan oleh orang-orang kota. Bahwa hidup manusia di usia sekian sudah "kodrat"-nya untuk sekolah, menikah, bekerja, yang entah berdasarkan apa, mungkin faktor psikologis, "kematangan jiwa", atau mungkin juga "formula yang sudah berhasil turun temurun". 

Memang ada kesan orang-orang di desa ini tidak ingin maju, atau fetish dengan kestagnanan hidup yang "begitu-begitu saja". Namun bisa jadi mereka punya visi yang sudah tercium jauh sebelum orang-orang kota sibuk dengan pencapaian ini itu: bahwa hidup pada akhirnya juga akan "begitu-begitu saja". Meski dalam varian yang seolah-olah begitu beragam, umumnya orang kota juga, pada titik tertentu, percaya bahwa sekat-sekat waktu itu penting, hanya saja disikapinya kurang santai, seperti tidak menyandarkan proses-prosesnya pada "kodrat", melainkan pada "keinginan pribadi". 

Namun bisa jadi saya keliru tentang orang-orang desa itu. Saya hanya sedang merenungkan bahwa orang-orang dalam kondisi "alamiah"-nya, lebih dekat pada pandangan Rousseau (yang percaya orang-orang dalam kondisi "alamiah"-nya lebih murni dan bening) ketimbang Hobbes (yang percaya orang-orang dalam kondisi "alamiah"-nya saling tikam satu sama lain).

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat