Sejak menikah dengan Puspa Agustus 2020, kami selalu tinggal di apartemen. Hingga sekarang, kami sudah lima kali berpindah unit, dua di antaranya di Jakarta. Pernah kami menyewa tahunan, tapi sekarang kami lebih nyaman menyewa bulanan. Mungkin karena kami sudah terbiasa hidup tidak pasti, sehingga membayar sewa jangka pendek lebih masuk akal untuk mengantisipasi berbagai perubahan rencana dalam hidup. Sebelum menikah dengan Puspa, saya terbiasa hidup rumahan. Apartemen adalah bentuk tempat tinggal yang asing bagi saya. Namun setelah dijalani, saya mulai kerasan hidup di apartemen dan bahkan belum terpikirkan untuk membeli rumah (selain karena juga belum ada uangnya).
Apartemen adalah tempat yang nyaman untuk orang yang malas bersosialisasi dengan tetangga-tetangga. Saat tinggal di rumah, biasanya kita diharuskan untuk bersosialisasi. Tetangga adalah semacam "keamanan organik". Kita dijejali semacam prinsip rukun warga yang kira-kira menyatakan, "Kalau bukan dengan tetangga, dengan siapa kita saling melindungi?" Namun di apartemen, tugas keamanan dipegang oleh satpam dan akses pribadi. Di apartemen juga, sejauh kami tinggal di sini, tidak ada keharusan untuk kumpul pengajian, makan-makan, arisan, atau rapat warga yang kadang menyita waktu dan tenaga. Apartemen adalah perkara membayar, dan serta merta segala bentuk paksaan untuk bersosialisasi menjadi tereliminasi.
Ada kalanya saya merindukan halaman yang luas dengan aneka tanaman. Hal semacam itu hanya dimungkinkan terjadi jika kita tinggal di rumah. Bagaimanapun, urban farming di balkon apartemen tidak bisa menggantikan keindahan halaman rumah. Namun hal-hal demikian kadang menjadi sebentuk romantisme. Romantisme tentang rumah, halaman, tumbuh-tumbuhan, beserta keluarga di dalamnya. Apartemen, apalagi apartemen yang kami tinggali dengan hanya satu kamar tidur, tidak menawarkan "ekosistem organik" semacam itu, melainkan lebih tepat dikatakan sebagai "ekosistem material": tempat segalanya dijalankan secara transaksional. Kita bisa memenuhi kebutuhan karena mau membayar, bukan karena mau berbasa-basi dan "berbuat baik".
Apartemen adalah tempat yang memungkinkan kita untuk menghayati bahwa orang lain adalah neraka. Bertemu orang lain terkadang begitu membuat curiga, khawatir bahwa langkahnya di lorong mengarah pada niat jahat yang membahayakan kita; berada di lift adalah ketidaknyamanan tersendiri, saling bertatapan sejenak, berharap tidak berlama-lama bersama-sama di kotak sempit itu. Di apartemen yang kami tinggali saat di Kemayoran, bahkan kami menemukan bagaimana sebagian orang enggan untuk satu lift bersama kami. Entah kenapa, mereka memilih menggunakan lift lainnya. Mungkin pikir mereka, lebih baik menunggu (lift lain) sedikit lebih lama daripada harus bersama-sama orang lain. Mungkin takut virus, atau kamilah virusnya. Di apartemen juga, tidak ada keinginan untuk mencampuri urusan orang lain. Apa yang dilakukan di balik kamarnya, atas dasar apa ia berada di sana, apakah untuk bercinta atau narkoba, bukanlah urusan orang di sekitarnya. Baru menjadi urusan kalau urusan dirinya menjadi terganggu (misalnya, karena terlalu gaduh). Selebihnya, tiada yang peduli.
Namun hal rumit pernah terjadi saat saya mengalami sakit di apartemen di Jakarta. Tiada yang peduli. Sekeliling cuek saja, ambulans pun tidak tersedia. Bayangannya, orang di apartemen adalah orang-orang produktif, tidak cocok untuk orang sakit. Beda dengan di perumahan, di mana tetangga-tetangga langsung bisa dimintai tolong. Apartemen mungkin juga menyediakan bantuan semacam itu, tetapi sekali lagi, hadir lewat ekosistem material. Selama ada uang, "atmosfer perumahan" bisa langsung dihadirkan, meski mungkin bukan oleh tetangga-tetangga unit, melainkan oleh orang-orang yang memang bekerja di sana seperti satpam, OB atau petugas kebersihan.
Saya tidak tahu apakah tinggal di apartemen adalah ideal untuk menghabiskan masa tua. Mungkin saat usia relatif muda, tempat ini cocok untuk memupuk jiwa individualis. Namun lama-lama, kala tubuh semakin renta, mungkin kita perlu orang lain yang membantu ini itu. Ekosistem material apartemen mungkin tidak seberapa cocok. Pada akhirnya, saya membayangkan tempat tinggal konvensional untuk menghabiskan masa tua, dengan ekosistem organik yang siap membawa kita ke rumah sakit dan menguburkan jika meninggal. Ekosistem organik cocok jika persediaan uang kian menipis, sehingga harta yang tersisa tinggal keramahan dan harapan atas penghormatan orang lain. Karena kita sudah tua.
Comments
Post a Comment