2022 adalah tahun yang aneh. Awal tahun, kami sekonyong-konyong berada di Jakarta untuk memulai hidup baru di sana. Hanya beberapa hari selesai pindahan, saya masuk rumah sakit karena sakit pencernaan serius. Ternyata kami hanya sembilan bulan berada di Jakarta. Bulan September, kami pindah kembali ke Bandung. Sekitar dua bulan berada di Bandung, pernikahan kami mendapat ujian serius sehingga tahun baru 2023 dilewati dengan perasaan getir. Meski demikian, kami terus berdialog secara intens untuk semacam evaluasi dan juga menyusun ulang masa depan. Saya kira momen-momen sulit dalam hubungan terkadang perlu ada, supaya relasi tidak menjadi teralienasi, dan merasakan kembali betapa pentingnya keberadaan satu sama lain. Walau saya mengatakan "perlu ada", tetapi momen ketika menjalani waktu-waktu sulit itu, jujur, bak neraka. Jadi kalau saya mengatakan "perlu ada", mungkin karena ketika saya menuliskan ini, masalahnya sudah agak mereda, sehingga biasanya mudah jika orang bicara bijak dari ketinggian, dari posisi yang sudah lebih nyaman.
Meski dalam kerumitan, saya berhasil menamatkan satu naskah yang "tidak disengaja" menjadi buku. Saya tidak tahu apakah saya boleh menyebut nama pemberi proyek atau tidak, tapi saya memilih tidak (supaya aman). Kenapa disebut "tidak disengaja", karena begini: saya mendapat pekerjaan untuk menerjemahkan kutipan-kutipan, tetapi yang terjadi bukannya saya menerjemahkan saja, melainkan mencari sendiri kutipan-kutipan itu. Sehingga dari sebelumnya status saya adalah penerjemah, akhirnya disepakati untuk menjadi penulis. Sehingga tanpa sengaja, saya mengawali tahun 2023 dengan mengirimkan naskah buku. Judulnya Ayat-Ayat Demotivasi, isinya adalah 99 kutipan dari para filsuf yang saya kategorikan sendiri sebagai "filsuf-filsuf demotivasional". Siapa sajakah mereka? Nanti, tunggu saja tanggal terbitnya. Mungkin sekitar Maret atau April.
2023 adalah juga tahun penentuan. Saya harus lulus S3 di tahun ini. Bukan karena waktu yang sudah di ujung, bukan juga akibat "surat cinta" dari Ibu Karlina. Tapi saya merasa menamatkan kuliah doktoral sesegera mungkin sudah bukan lagi tugas akademik, melainkan "tugas suci". Mengapa? Pertama, ayah saya sudah sakit-sakitan. Beliau menjalani separuh akhir tahun 2022 dalam kondisi bolak-balik rumah sakit. Saya ingin beliau melihat saya lulus kelak. Kedua, Mbak Saras Dewi sudah sering bertanya-tanya kapan kuliah saya selesai. Mungkin, beliau ingin mengajak saya untuk mengajar di kampus yang sama dengannya (mungkin, saya tidak berani berspekulasi atau PHP pada diri sendiri). Ketiga, saya ingin mengubah nasib kami, supaya istri tidak pusing lagi melihat kelakuan saya yang cari uang suka-suka, yang terlalu banyak rebahan dengan dalih mencari inspirasi. Mungkin dengan status saya sebagai doktor kelak, rebahan pun menjadi lebih bermakna (walau sekarang pun buat saya tetap bermakna).
2023 juga artinya tahun yang menunjukkan bahwa 20 tahun lalu, saya masuk kuliah S1. Artinya juga, saya sudah kian menua. Jujur saya tadinya tidak percaya bahwa saya akan menjadi tua. Tapi kenyataannya saya benar-benar menjadi tua. Hal yang menakutkan saat menjadi tua adalah tentu saja mati. Namun tidak hanya itu, hal-hal yang saya dulunya benci, ternyata mesti juga dicicipi. Misalnya, saya tidak suka mendengar orang tua membicarakan sesuatu yang itu-itu lagi. Bosan. Seperti tidak ada hal lain untuk diceritakan. Namun ternyata saya mulai menjadi seperti itu. Saya mulai mengisahkan hal-hal masa lalu yang menurut saya menarik. Padahal mungkin sudah lebih dari tiga kali saya bercerita hal yang sama, terutama pada istri. Istri saya pasti bosan, tapi dia pura-pura tidak bosan. Dulu saya merasa tidak relevan jika para orang tua membicarakan penyakit dan obat-obatan. Berbagi tips ini itu supaya tetap sehat. Sekarang saya mulai relevan dengan hal-hal demikian! Setiap saya mendengar atau membaca sesuatu yang berhubungan dengan diabetes, saya langsung menyimak dengan seksama. Sialan.
Menua adalah sekaligus menyaksikan orang-orang muda mulai menapaki kiprahnya. Sementara saya sendiri masih berjuang untuk memperoleh gengsi, prestise, dan hal-hal tidak jelas lainnya, orang-orang yang sepuluh tahun lebih di bawah saya mulai menunjukkan kilaunya. Bahkan di era digital seperti sekarang ini, orang-orang bisa lebih cepat belajar, akses mereka lebih terbuka, sehingga menjadi brilian di usia 20-an awal bukanlah hal yang aneh. Sementara saya memulai S3 di usia 34 atau 35, mereka-mereka sudah ada yang menjadi doktor sebelum usia 30.
Di tahun yang baru, yang menandai bahwa saya semakin tua ini, saya juga semakin sadar, bahwa saya makin tidak berhak menyandang predikat "muda" sebagaimana saya banggakan selama ini. Sudah banyak orang-orang yang lebih muda, yang dengan demikian menganggap saya sudah tua. Saya tidak perlu terlalu sakit hati jika dikatai tua, karena hal yang membuat saya sakit hati adalah ketidakmampuan saya menerima kenyataan. Harusnya yang terjadi adalah saya menertawakan mereka diam-diam, "Tenang, kalian juga pasti bakal menua kok."
Saya kira hal yang perlu ditekankan berulang-ulang pada diri saya adalah ini: waktu sudah semakin menipis. Saya sudah kian terbatas melakukan banyak hal dan meraih banyak hal. Ada hal-hal yang mesti mulai dikompromikan: bahwa saya tidak mungkin mencapainya, karena waktu, karena juga tenaga. Ambisi-ambisi masa muda harus disimpan dalam-dalam, disalurkan pada entah apa kelak, atau juga tidak perlu disalurkan. Semuanya akan hancur bersama waktu, begitu juga dengan eksistensi kita. Saya menyambut 2023 dengan renungan macam-macam, sambil memikirkan dengan ngeri-ngeri sedap: kira-kira saya akan menjalani finis sebagai apa? Dengan pencapaian seperti apa? Dengan bahagia atau tidak?
Comments
Post a Comment