Skip to main content

Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci

  (Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”.  Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan.  Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...

Olahraga


Olahraga bukan suatu kegiatan yang akrab dengan hidup saya. Meski demikian, ada masa-masa saya menyukai praktik olahraga, tepatnya sepakbola, hingga masa-masa kuliah S1 sebelum akhirnya mesti "pensiun" karena mengalami cedera serius pada lutut. Belakangan, terutama dalam dua tahun terakhir, saya mulai kembali rutin berolahraga meski kecil-kecilan lewat aerobik via instruktur di YouTube. Dulu, berolahraga punya tujuan yang ambisius, yakni ingin menjadi pemain sepakbola profesional. Sekarang, berolahraga bertujuan supaya sehat saja, memperbesar peluang untuk tetap hidup, meski belum tentu juga. Setidaknya dengan berolahraga, badan menjadi lebih segar. 

Olahraga yang saya lakukan sekarang, tentu memerlukan waktu luang. Saya bisa berolahraga karena ada waktu santai, meski kadang memaksakan diri juga di tengah kesibukan. Namun saya memikirkan suatu masalah keadilan: apakah mereka yang tidak punya waktu luang, kemudian menjadi tidak punya waktu berolahraga, dan maka itu menjadi sama dengan kerap sakit-sakitan? Atau bagaimana dengan orang-orang yang lebih sering menggunakan fisik ketimbang pikirannya, seperti katakanlah, tukang panggul, apakah mereka sama dengan telah berolahraga dan maka itu menjadi sehat? 

Saya menanyakan perkara tersebut pada istri dan ia menjawab bahwa sebenarnya sama-sama saja antara mereka yang jogging di waktu senggang dan pekerjaannya tukang kuli panggul. Maksudnya sama saja: mereka sama-sama berolahraga, tanpa perlu membedakan apakah yang satu dilakukan di waktu senggang dan satu lagi dilakukan karena tuntutan pekerjaan (soal persisnya berapa kalori yang terbakar tentu mesti dihitung secara rinci dan itu bukan perkaranya). Namun apakah olahraga butuh kesadaran? Maksudnya, apakah mereka yang jogging, dengan menyadari bahwa dirinya sedang berolahraga, akan "lebih sehat" ketimbang kuli panggul yang tidak menyadari dan yang ada di pikiran mereka hanya sedang mengerjakan suatu pekerjaan? Jawabannya sama: mestinya tidak ada bedanya. Artinya, berolahraga bukan perkara intensi, bukan perkara kesengajaan, bukan perkara mengarahkan kegiatannya pada tubuh, berolahraga adalah murni soal gerakan tubuh yang bisa dikatakan lebih intens. 

Oke, jadi jika waktu senggang dan keterarahan pikiran bukanlah suatu hal yang menentukan apakah seseorang dapat dikatakan berolahraga atau tidak, lantas apa hal yang membedakannya? Jangan-jangan memang tidak ada. Misalnya, mereka yang tidak pernah olahraga secara disengaja, tetapi setiap hari berjalan ke kantornya dengan menempuh waktu lima belas menit dan harus naik turun tangga, tetap dapat dikatakan berolahraga. Jadi dengan demikian, untuk sementara gugur bahwa olahraga adalah problem kelas. Mereka yang bisa berolahraga bukan hanya mereka yang punya kemewahan waktu luang, mereka yang terdesak pekerjaan pun tetap berolahraga, dan bahkan tanpa sadar bisa muncul otot-otot yang diidamkan oleh orang-orang yang mesti bersusah payah di gym

Namun apakah benar-benar olahraga tidak bisa dibaca dari sudut pandang masalah kelas? Kita bisa melihat bagaimana orang-orang tertentu tidak hanya bersepeda, tapi juga menjadikannya semacam gaya hidup dengan menggunakan sepeda mahal dan kadang tidak perlu taat berlalu lintas karena mungkin merasa berkuasa. Orang-orang yang nge-gym tidak hanya menjadikan olahraga sebagai alat untuk menjadi sehat, tetapi supaya menjadi "keren", menjadi sesuatu yang mungkin mereka inginkan ada pada iklan-iklan atau film. Hal demikianlah yang mungkin tidak terpikirkan oleh orang-orang yang berolahraga karena tuntutan pekerjaan atau melakukannya "tanpa disadari". Fokus mereka adalah bekerja, mencari uang, dan bertahan hidup, sementara otot-otot yang muncul hanyalah bonus, konsekuensi yang boleh ada dan boleh tidak. Masalah sehat mungkin sama-sama sehat, tetapi yang satu sudah memprediksinya (mereka yang punya waktu luang), sementara yang lain merasa itu tidak terlalu penting karena yang lebih diutamakan, mungkin, kesehatan dalam hal ekonomi. 

Akhirnya, meski punya luaran fisik yang sama-sama saja, tetap ada kelebihan bagi mereka yang berolahraga di waktu senggang ketimbang mereka yang berolahraga karena tuntutan. Karena tidak bisa ditampik, olahraga di waktu senggang membuat mereka yang melakukannya bisa memusatkan pikiran pada fisik itu sendiri, sekaligus mencita-citakan banyak hal yang turut memotivasi seperti memiliki tubuh layaknya artis Korea atau menunjukkan gaya pada sekitarnya. Sementara mereka yang dituntut pekerjaan, tujuannya mungkin agak satu dimensi. Namun justru melalui kelebihan yang dimiliki salah satu pihak tersebut, kita bisa menemukan ketimpangan: mereka yang sehat secara ekonomi, dapat juga fokus sehat secara badani; sebaliknya mereka yang kurang sehat secara ekonomi, akan berpotensi kurang sehat juga secara badani. Meski luarannya sama-sama "sehat" jika sama-sama berolahraga, tapi mereka yang masuk golongan pertama punya kemampuan menakar kalori, bercermin lebih banyak untuk melihat massa ototnya, dan mengatur jadwal rutin. Golongan kedua bisa jadi tidak punya privilese untuk itu semua, dan olahraga bisa menjadi kontraproduktif jika misalnya, tidak diimbangi oleh makan makanan bergizi atau jam tidur yang memadai. Lagi-lagi, waktu luang menciptakan ketimpangan.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...