Bagaimana jika dunia ini bergerak dalam rangka menjauhi "yang klise"? "Yang klise" adalah segala sesuatu yang kita anggap usang, ketinggalan, basi, lebih karena ia diulang-ulang dan terus dibunyikan. Apakah sesuatu menjadi "yang klise" karena ia keliru atau tidak lagi dapat diandalkan? Tidak selalu seperti itu. "Yang klise" belum tentu salah, ia ditinggalkan karena orang menginginkan yang lebih segar, lebih baru, lebih terdengar berbeda dan belum ada sebelumnya. Kalaupun "yang klise" itu tetap ada, ia dikemas ulang, disuarakan dengan cara yang berbeda.
Kalau saya mengatakan, "Ini sudah abad ke-21 dan kau masih membicarakan Plato?" Itu bukan berarti Plato keliru dan tak lagi relevan. Saya hanya ingin mengatakan bahwa Plato telah menjadi "yang klise" karena banyak orang telah mengenal dan membicarakannya. Saya bosan dengan Plato. Lalu saya memikirkan hal lain, yang berbeda dengan Plato. Mungkin bedanya tidak banyak, sedikit saja, hanya supaya Plato tidak lagi dibicarakan terlalu sering dan orang-orang mulai membicarakan apa yang saya pikirkan sebagai sesuatu yang bukan baru, hanya lebih "segar".
Saya mendengar Martin Suryajaya sendiri mengatakan tentang alasan mengapa ia memilih filsafat analitik. Selain mungkin karena minat, ia juga mengemukakan alasan yang menarik: "Aku udah sumpek sama Derrida dan Deleuze," katanya. "Sumpek" bukanlah alasan logis, juga filosofis, "sumpek" adalah respons terhadap "yang klise". Martin mungkin tidak menganggap Derrida atau Deleuze keliru, bisa jadi ia hanya menganggap bahwa kedua pemikir tersebut sudah terlalu ramai dibicarakan, sehingga ia perlu berbicara tentang sesuatu yang jarang, supaya orang lebih tersegarkan, supaya ia sendiri menjadi tidak "sumpek".
Lantas, bagaimana dengan orang yang kelihatannya senang dengan "yang klise" dan bahkan kerap mengandalkannya? Misalnya, orang yang senang menjiplak atau mengulang-ulang konsep yang sudah pernah. Ada dua kemungkinan. Pertama, ia tidak benar-benar terpaku pada "yang klise" dan mungkin sedikit-sedikit membuat perbedaan. Setidaknya, lewat ucapan atau tangannya, ia menjadikan "yang klise" itu tidak pernah benar-benar sama dengan yang sebelumnya. Kedua, mungkin ia "membohongi diri"-nya sendiri, semacam jatuh pada penipuan terhadap dirinya sendiri. Ia tahu ia bosan dan muak dengan "yang klise", tetapi ia mengabaikannya, atau lebih tepatnya: ia terpaksa menerima "yang klise", meski penerimaan terhadap "yang klise" ini adalah sebentuk pergulatan batin.
Tapi bukankah "yang klise" terus dipegang oleh suatu kelompok masyarakat tertentu yang katakanlah, memegang teguh tradisi dan adat istiadat? Mungkin mereka mengagungkan "yang klise", menganggapnya sebagai sesuatu yang suci dan layak disembah. "Yang klise" di sini justru diperlakukan sedemikian rupa sehingga menerimanya justru menjadi sesuatu yang menenangkan, sejalan dengan batin. Sebaliknya, meninggalkan "yang klise" menjadi sesuatu yang menggelisahkan, membuat siapapun itu merasa telah membohongi dirinya.
Jadi, bagaimana sebenarnya gerak dunia yang "hakiki"? Apakah diam mensucikan "yang klise" atau punya tendensi menjauhinya? Saya cenderung memilih yang kedua. Kita akan selalu bergerak menjauhi "yang klise", dengan cara yang berbeda-beda: ada yang cepat dan revolusioner, ada yang sangat lambat hingga memerlukan ratusan bahkan ribuan tahun, atau ada yang berusaha tetap bersamanya dengan memuja serta mensucikannya, tetapi lama kelamaan akan luntur juga diterpa entah apa, mungkin apa yang orang-orang sebut sebagai "zaman".
Comments
Post a Comment