Skip to main content

Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci

  (Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”.  Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan.  Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...

Drama dan Sepakbola


Saya lupa sejak Piala Dunia kapan, mungkin 2010, tayangan ulang bisa menjadi sangat lambat, sehingga kita benar-benar menikmati momen ketika bulir keringat dari si pemain terlihat jatuh atau muncrat secara perlahan. Efek ini tentu menarik, karena jika saya menonton sejumlah tayangan YouTube dari Piala Dunia yang lalu-lalu, terutama sebelum tahun 1998, penggunaan kamera ini tidak terlalu banyak yang dengan demikian berdampak juga pada minimnya efek pada tayangan ulang. Namun rasanya dimulai dari Piala Dunia 1998 dan sesudah-sesudahnya, kamera di lapangan mulai banyak dan efek tayangan ulangnya pun kian beragam. Kamera, dalam hal ini, telah bertransformasi dari yang tadinya sekadar "memperlihatkan", menjadi "menceritakan". Kamera tidak lagi hanya menayangkan sepakbola, melainkan punya peran menghadirkan "drama sepakbola". Drama ini tidak lagi sekadar "ditemukan" (di dalam pertandingan itu sendiri), tetapi "diciptakan" (oleh beraneka perangkat dan aktor di luar sepakbola). 

Kita tahu, bahwa dalam pengertian formal tentang olahraga sepakbola, drama pertandingan tidak termasuk ke dalamnya. Olahraga sepakbola adalah olahraga yang melibatkan dua kubu dengan masing-masing sebelas pemain dan satu bola, yang bertujuan mencetak gol lebih banyak ke gawang lawan dalam rangka meraih kemenangan. Hal-hal terkait drama dan ketegangan di dalamnya, bukanlah bagian dari pengertian formal olahraga sepakbola dan lebih tepat dikatakan sebagai "ekstra-sepakbola". Kekecewaan dan tangisan sebuah kesebelasan karena gawangnya dijebol di menit-menit akhir pertandingan sehingga mereka harus tersingkir dalam sebuah kompetisi tidak akan membuat wasit menjadi iba sehingga mengubah skor pertandingan. Artinya, jika kita katakan bahwa sepakbola seringkali mengandung drama, penting untuk dijernihkan dulu bahwa drama bukanlah bagian esensial dalam olahraga sepakbola secara formal. 

Namun siapa tidak suka drama? Kita semua suka drama, asalkan bukan yang terjadi pada diri kita. Kita suka menonton drama orang lain, mungkin karena bukan kita yang mengalaminya. Demikian halnya dalam sepakbola. Rasanya tidak menarik jika sepakbola hanya tentang siapa yang menang dan siapa yang kalah berdasarkan skornya. Kita memerlukan drama seperti kemarahan, kegembiraan, kekecewaan, dan hal-hal yang menunjukkan bahwa sepakbola bukan hanya dimainkan oleh pesepakbola, tetapi juga oleh manusia yang memiliki emosi. Drama itu tentu diperkuat oleh keberadaan penonton sepakbola yang kita tahu, paling ramai ketimbang olahraga lainnya. Tidak seperti tenis yang memerlukan keheningan, penonton sepakbola justru dibiarkan berisik dan bahkan intimidatif. Penonton membuat kalah menang menjadi tidak sekadar urusan skor, tapi berurusan dengan harapan banyak orang. Namun bagaimana dengan mereka yang menonton dari luar stadion atau melalui layar? 

Sebelum penggunaan kamera kian canggih, komentator adalah faktor penting yang membuat tayangan sepakbola dari layar menjadi "cerita". Ia memberikan narasi, ilustrasi, dan konteks tidak hanya tentang pertandingan, tapi juga tentang masing-masing pemain. Mungkin di antara kita ada yang ingat bagaimana komentator asal Islandia, Gudmundur Benediktsson, begitu histeris kala melihat negaranya mengalahkan Inggris di Piala Eropa 2016. Komentator mungkin semestinya "netral" dan hanya berbicara tentang jalannya pertandingan, tetapi ia begitu berpihak: "We are never going home! Never wake me from this amazing dream". Jauh sebelumnya, di Piala Dunia 1986, Victor Hugo Morales memberikan komentar epik atas gol solo run Maradona melawan Inggris, yang memberikan narasi bahwa itu bukan sekadar gol, tapi gol "dari Tuhan". 

Dalam pengertian sinematografi paling mendasar, ciri esensial dari film terletak pada dua hal yakni montage dan mise-en-scène. Montage diartikan sebagai penyuntingan, sementara mise-en-scène secara sederhana diartikan sebagai bagaimana atau dari sudut pandang mana suatu gambar diambil. Dalam tayangan sepakbola, biasanya kita akan diperlihatkan wajah pemain segera setelah peristiwa seperti terjadinya gol atau kegagalan memanfaatkan peluang. Tidak hanya wajah pemain, seringkali kita juga diperlihatkan wajah orang-orang di antara kerumunan penonton. Melalui montage tersebut, kita tidak hanya ingin diperlihatkan suatu fakta dalam sepakbola (gol, kegagalan peluang), tetapi reaksi pemain dan penonton terhadapnya dalam sebuah sekuens. Dengan demikian, terjadi sebuah cerita, sebuah narasi. 

Sementara dalam hal mise-en-scène, saya kerap memperhatikan dalam adu penalti (yang menariknya, kerap disebut dengan "drama adu penalti"). Adu penalti seringkali ditampilkan dari depan gawang atau dari punggung pemain, sehingga kita bisa melihat dengan jelas gestur pemain yang berhadap-hadapan. Bahkan sesaat setelah tendangan dilakukan, kita bisa melihat ekspresi dari kedua pemain sebagai reaksi atas hasil tendangan penaltinya. Setelah itu, kita tahu, kamera akan memperlihatkan wajah dari masing-masing pemain dan bahkan penonton untuk menciptakan "drama". 

Terlebih lagi, dengan olahraga sepakbola hari ini yang menggunakan teknologi VAR, keberadaan kamera yang banyak tidak hanya dalam rangka menghasilkan efek dramatis, tapi juga fakta tentang apa yang terjadi di lapangan. Namun meski banyaknya kamera ini juga bertujuan untuk menambah informasi, tetapi justru dampaknya adalah sekaligus membumbui dramanya: VAR dibuat supaya kita tahu "kejadian yang sebenarnya", dan "kejadian yang sebenarnya" adalah salah satu hal yang diselidiki dalam drama. Atas dasar itu, saat kita sama-sama sedang menyaksikan VAR, kita sedang berada dalam situasi dramatis kala berusaha mengetahui "kejadian yang sebenarnya", seperti kisah cinta dalam sinetron yang begitu menegangkan saat salah satu pasangan mengetahui identitas sebenarnya dari pasangan lainnya. 

Jadi, sepakbola memang sudah bukan sekadar tontonan olahraga. Kita ingin melihat keseluruhan ceritanya, tentang jatuh bangunnya seseorang di dalam satu pertandingan. Kamera membuatnya lebih berharga.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...