Renungan tentang sejarah kelihatannya adalah hal yang paling intens saya lakukan. Memang saya pernah memikirkan sesuatu yang kurang lebih mirip seperti Hegel (walaupun tentu tidak serumit beliau), bahwa sejarah mengarah pada sesuatu yang "lebih baik", "lebih cerah", "lebih maju", sehingga implikasi dari pemikiran semacam itu adalah bahwa sekarang lebih baik dari dulu, masa datang lebih baik dari sekarang. Namun di sisi lain, bahwa ada benarnya, bahwa sejarah tidak ke mana-mana. Apa yang pernah terjadi saat ini, mungkin pernah terjadi juga pada seribu tahun lalu, dengan situasi yang kurang lebih mirip, tetapi cuma "latar"-nya saja yang berbeda. Buktinya, dengan membaca literatur dari masa lampau, kita mendapat semacam panduan untuk menghadapi situasi di masa sekarang. Argumentasi semacam itu juga yang dipegang oleh kaum pendidik dari aliran perenialisme: cukup mempelajari buku-buku babon, maka nilai-nilai di dalamnya dapat digunakan untuk menghadapi persoalan dari berbagai masa. Di dalam ajaran tersebut terkandung suatu asumsi, bahwa tidak banyak hal-hal yang berubah dalam sejarah, jika tidak bisa dikatakan tetap. Pembacaan kita atas Robinson Crusoe, Oliver Twist, karya-karya Dostoevsky, atau teks kuno Yunani seperti Iliad dan Odyssey, dibayangkan dapat diterapkan bahkan di era digital seperti sekarang ini.
Tentu saja kita sekaligus dapat mengatakan: bahwa ada yang berubah, ada juga yang tetap. Kegelisahan kita atas tegangan antara kuasa Tuhan dan kenyataan hidup kurang lebih dapat terjelaskan dalam The Brothers Karamazov-nya Dostoevsky, tentang pengawasan otoritas dalam segala lini kurang lebih telah diperkirakan oleh 1984-nya George Orwell, hal yang bisa dikatakan selalu relevan karena hubungannya dengan keimanan dan konsep negara sebagai pengawas. Sejarah mencatat bagaimana peperangan, pembantaian, rasisme, diskriminasi budaya selalu terjadi, dan kita tidak bisa katakan bahwa semuanya itu telah terhapuskan di masa sekarang. Semuanya kerap muncul di berbagai belahan dunia, meski dengan "ekspresi" yang berbeda-beda. Sebagaimanapun kita belajar dari sejarah supaya perang tidak terulang, misalnya, dengan menghadirkan film-film tentang kekejaman perang, toh perang tetap terjadi. Dengan kenyataan bahwa masalah yang sama terus berulang, maka cara mengatasinya pun diasumsikan sama.
Namun di sisi lain, ada juga yang benar-benar berubah, berbeda sama sekali dari yang sudah-sudah. Sebagai contoh, kemunculan fenomena woke culture yang membuat banyak orang tersadarkan untuk rajin bersuara tentang masalah keadilan, kesetaraan, dan diskriminasi. Kita bisa membayangkan bahwa usaha-usaha semacam itu tentu selalu terjadi dari masa ke masa, tetapi rasanya baru di masa sekarang, gerakannya begitu masif, dan setidaknya bisa terlihat dari intensitas kemunculannya di media sosial. Jika dipandang dari kacamata Hegel, benar bahwa sejarah mengarah pada kebebasan, dan kebebasan tersebut kian tampak: kebebasan untuk menjadi setara, kebebasan untuk melawan beraneka bentuk diskriminasi, kebebasan untuk melawan segala sesuatu yang bertentangan dengan prinsip keadilan. Kondisi semacam ini tidak bisa dibayangkan terdapat kemunduran: apa yang sudah bebas, tidak bisa begitu saja dikekang; apa yang sudah terbuka, tidak bisa begitu saja ditutup. Dalam hal ini, rasanya kita tidak bisa mencari penjelasannya dari literatur, atau catatan sejarah yang sudah-sudah, karena ini merupakan fenomena yang baru terjadi di masa kontemporer. Hal yang kita bisa lakukan adalah mencari penjelasan dari tempat dan waktu kita sendiri.
Jadi, bagaimana? Sejarah itu adalah pengulangan atau kerap mengarah pada kebaruan? Kita bisa mengatakan, bahwa sejarah tidak berada pada salah satu kutub secara ekstrem. Gerak sejarah kerap mengandaikan ada yang terulang, tapi ada juga yang benar-benar baru. Pertempuran ideologi kanan dan kiri pernah menjadi wacana besar abad ke-20, tetapi hari ini tidak bisa dikatakan masih berlangsung kecuali dalam spektrum dan varian yang kompleks dan tidak sedikotomis abad yang lalu. Hal demikian telah berubah, tetapi ada yang tetap: perdebatan tentang keadilan, sifat mendasar manusia terkait kepentingan diri, hakikat masyarakat, dan sebagainya. Cara pandang manusia tentang ruang dan waktu turut berubah seiring dengan maraknya teknologi internet dan digitalisasi, tetapi ada yang tetap: bahwa secara eksistensi, manusia senantiasa berada di dalam ruang dan waktu itu, menjalani penantiannya terhadap kematian sebagai akhir dari ruang dan waktu internalnya.
Iya bahwa "anak-anak sekarang", katakanlah Gen-Z, menjalani hidup yang berbeda dengan generasi baby boomers. Makna kesuksesan, optimisme, menjadi sangat lain seturut dengan semangat zaman yang juga berbeda. Bagi baby boomers, perjuangan pasca perang kemerdekaan masih terasa, generasi mereka dituntut untuk lebih keras memasuki jalur akses yang masih terbatas. Saat ini, kehidupan Gen-Z sudah setengah abad lebih berlalu dari perang kemerdekaan. Aset-aset sudah dimiliki oleh baby boomers sehingga apa yang mereka bisa raih sebagai aset tetap menjadi berkurang. Perbedaannya, jalur akses mereka kelihatannya menjadi lebih luas salah satunya akibat kesempatan yang dibuka oleh teknologi internet dan digitalisasi. Baby boomers kelihatannya agak tertatih-tatih untuk mempelajari teknologi baru tersebut sehingga terjadilah jurang yang lumayan serius antar kedua generasi ini. Meski demikian, ada hal yang tidak berubah: kedua generasi yang berbeda ini sama-sama memperjuangkan kesempatan dan kepemilikan tertentu, meski dalam arena pertempuran yang berbeda.
Dengan demikian, untuk sementara, saya lebih senang menyebut bahwa sejarah memang melakukan repetisi, tetapi pada setiap repetisi itu, ada yang sama dan ada yang berbeda. Kita katakan sesuatu itu sebagai repetisi, karena ada yang sama di dalamnya. Tetapi antara repetisi dan hal pertama yang diulanginya, tentu berbeda, setidaknya: yang satu adalah repetisi, yang satu lagi bukan. Namun dalam hal ini, diandaikan bahwa setiap repetisi tidaklah berlangsung secara identik, melainkan punya perbedaan dari yang sebelumnya. Perjuangan baby boomers direpetisi oleh Gen-Z, tetapi repetisi itu berlangsung dinamis, tidak identik. Sekali lagi, ada yang sama-nya, ada yang beda-nya. Kelihatannya Deleuze berkata hal yang kurang lebih sama. Ia menolak pola sejarah Hegelian yang terlalu yakin bahwa tesis dan antitesis akan melahirkan sintesis, dan seluruhnya bergerak dalam bentuk yang seolah-olah seperti garis lurus. Hegel berasumsi bahwa ujung sejarah adalah pencerahan paripurna. Saya agak skeptik dengan proyek pencerahan ini, meskipun "bukti" woke culture adalah salah satu yang bisa dipegang. Dalam pemikiran saya, woke culture tetap sudah ada dari sebelumnya, tetapi diamplifikasi oleh teknologi hari ini, sehingga terasa lebih masif dan "ribut". Perjuangannya direpetisi, tetapi cara menyebarkannya menjadi lebih dinamis. Begitulah.
Comments
Post a Comment