Kegiatan kuliah di tempat saya mengajar, Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan, kembali diselenggarakan secara luring pada semester ini. Dosen tetap dapat mengadakan kuliah daring, tetapi dijatah beberapa kali saja dan utamanya tetap harus berlangsung secara offline. Tentunya banyak hal yang membuat saya mesti beradaptasi setelah menjalani serangkaian kuliah daring, baik pada acara kampus maupun non-kampus, di masa pandemi. Misalnya, hal sederhana saja: saya belum terbiasa mengukur waktu untuk bersiap dan melakukan perjalanan menuju kampus. Pada masa kuliah daring, untuk kuliah yang diadakan pukul delapan pagi, saya bisa saja bangun pukul tujuh, leyeh-leyeh, cuci muka pukul 7.45 sebelum mulai menyalakan Zoom dan memasukkan mereka satu per satu ke ruangan. Namun di masa luring, ternyata saya harus bangun pukul enam, siap-siap yang serius (mandi dan mengenakan pakaian yang sopan), dan pergi paling lambat pukul 7.15 supaya tidak terlambat. Dalam hal persiapan ini, tentu kuliah luring menjadi merepotkan.
Tentu ada hal yang menjadi kelebihan dari kelas luring, sesuatu yang kerap diromantisasi sebagai aspek yang direnggut oleh pandemi, yakni "aura pertemuan tatap muka". Bagian ini, harus diakui, memang mengejutkan saya: betapa rindunya saya dengan interaksi di kelas secara langsung. Saya bisa melihat langsung wajah dari mahasiswa mahasiswi dan mereka tidak lagi bersembunyi di balik sekat digital yang memungkinkan mereka terlihat menyimak materi padahal sambil melakukan hal lain.
Namun di sisi lain, saya ada sedikit keberatan dalam pertemuan luring ini. Pertemuan langsung ternyata menciptakan tegangan, semacam keterpaksaan untuk saling bersikap formal satu sama lain dalam kerangka relasi dosen - mahasiswa yang di kelas offline, menjadi sangat penting untuk dijaga. Hal tersebut bukannya tidak ada dalam kelas daring, tetapi sikap formal tersebut dapat dikikis lewat kenyataan bahwa setiap orang dalam kelas online bisa melakukan hal "semaunya" selama kegiatan belajar mengajar tetap terselenggara. Mahasiswa mahasiswi bisa menyimak sambil masak, tiduran, atau mengerjakan hal lainnya, yang bisa dianggap sebagai suatu kekurangan dari kelas daring, tapi juga sekaligus kelebihan: mereka dibiarkan menyimak dengan cara yang nyaman sesuai versi mereka sendiri, pun demikian halnya dengan saya, yang bisa mengajar dengan cara yang saya anggap nyaman. Mengajar tanpa harus mandi adalah suatu kelebihan, mengajar sambil merokok adalah suatu kelebihan, mengajar dengan baju santai adalah suatu kelebihan, dan hal-hal demikian tidak bisa dilakukan di kelas luring. Dalam arti tertentu, ketika mahasiswa juga merasakan hal yang sama (dengan segala kelebihan dalam menyimak itu), bisa jadi nilai sesungguhnya dari belajar mengajar malah lebih terjadi.
Tapi hal yang pasti, ada satu perkara yang benar-benar membuat sedih: akses. Dulu, saya bisa menyebarkan ke sebanyak mungkin orang di medsos untuk bergabung di kelas online yang diselenggarakan di kampus. Orang-orang non-UNPAR bisa ikut belajar (tentunya atas persetujuan mahasiswa mahasiswi plus otoritas) dan bahkan ikut berdiskusi. Dengan kembalinya kelas-kelas luring ini, akses belajar menjadi kembali ke tembok-tembok kampus dan hanya bisa dinikmati oleh mahasiswa luring yang sifatnya internal. Betul bahwa pengajar-pengajar di kelas luring ini bisa tetap mengajar online di luar jam kelas, tetapi tentu sudah tidak bisa seintens dulu karena lelah melakukan persiapan kelas offline (beserta perjalanan ke lokasinya).
Jadi dalam hal tertentu, khususnya bagi geliat filsafat di Indonesia, yang harus diakui, cukup dipengaruhi oleh keberadaan kelas-kelas daring, kembalinya kegiatan belajar mengajar filsafat ke luring ini adalah semacam "kemunduran". Padahal telah kita rasakan bersama, betapa hidupnya dunia filsafat di Indonesia di masa pandemi. Setiap orang menjadi bisa punya akses untuk belajar dari seluruh Indonesia, dan bisa mendapatkan pelajaran filsafat dari pengajar filsafat dari kampus-kampus top. Segala keterbatasan ini membuat saya bertanya-tanya: kemudian apa artinya, menjadi jago filsafat di tengah orang-orang yang kesulitan akses atas pelajaran filsafat? Bukankah lebih keren, menjadi jago filsafat di antara orang-orang yang jago filsafat?
Comments
Post a Comment