Skip to main content

Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci

  (Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”.  Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan.  Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...

Perihal Kelas Luring


Kegiatan kuliah di tempat saya mengajar, Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan, kembali diselenggarakan secara luring pada semester ini. Dosen tetap dapat mengadakan kuliah daring, tetapi dijatah beberapa kali saja dan utamanya tetap harus berlangsung secara offline. Tentunya banyak hal yang membuat saya mesti beradaptasi setelah menjalani serangkaian kuliah daring, baik pada acara kampus maupun non-kampus, di masa pandemi. Misalnya, hal sederhana saja: saya belum terbiasa mengukur waktu untuk bersiap dan melakukan perjalanan menuju kampus. Pada masa kuliah daring, untuk kuliah yang diadakan pukul delapan pagi, saya bisa saja bangun pukul tujuh, leyeh-leyeh, cuci muka pukul 7.45 sebelum mulai menyalakan Zoom dan memasukkan mereka satu per satu ke ruangan. Namun di masa luring, ternyata saya harus bangun pukul enam, siap-siap yang serius (mandi dan mengenakan pakaian yang sopan), dan pergi paling lambat pukul 7.15 supaya tidak terlambat. Dalam hal persiapan ini, tentu kuliah luring menjadi merepotkan. 

Tentu ada hal yang menjadi kelebihan dari kelas luring, sesuatu yang kerap diromantisasi sebagai aspek yang direnggut oleh pandemi, yakni "aura pertemuan tatap muka". Bagian ini, harus diakui, memang mengejutkan saya: betapa rindunya saya dengan interaksi di kelas secara langsung. Saya bisa melihat langsung wajah dari mahasiswa mahasiswi dan mereka tidak lagi bersembunyi di balik sekat digital yang memungkinkan mereka terlihat menyimak materi padahal sambil melakukan hal lain. 

Namun di sisi lain, saya ada sedikit keberatan dalam pertemuan luring ini. Pertemuan langsung ternyata menciptakan tegangan, semacam keterpaksaan untuk saling bersikap formal satu sama lain dalam kerangka relasi dosen - mahasiswa yang di kelas offline, menjadi sangat penting untuk dijaga. Hal tersebut bukannya tidak ada dalam kelas daring, tetapi sikap formal tersebut dapat dikikis lewat kenyataan bahwa setiap orang dalam kelas online bisa melakukan hal "semaunya" selama kegiatan belajar mengajar tetap terselenggara. Mahasiswa mahasiswi bisa menyimak sambil masak, tiduran, atau mengerjakan hal lainnya, yang bisa dianggap sebagai suatu kekurangan dari kelas daring, tapi juga sekaligus kelebihan: mereka dibiarkan menyimak dengan cara yang nyaman sesuai versi mereka sendiri, pun demikian halnya dengan saya, yang bisa mengajar dengan cara yang saya anggap nyaman. Mengajar tanpa harus mandi adalah suatu kelebihan, mengajar sambil merokok adalah suatu kelebihan, mengajar dengan baju santai adalah suatu kelebihan, dan hal-hal demikian tidak bisa dilakukan di kelas luring. Dalam arti tertentu, ketika mahasiswa juga merasakan hal yang sama (dengan segala kelebihan dalam menyimak itu), bisa jadi nilai sesungguhnya dari belajar mengajar malah lebih terjadi. 

Tapi hal yang pasti, ada satu perkara yang benar-benar membuat sedih: akses. Dulu, saya bisa menyebarkan ke sebanyak mungkin orang di medsos untuk bergabung di kelas online yang diselenggarakan di kampus. Orang-orang non-UNPAR bisa ikut belajar (tentunya atas persetujuan mahasiswa mahasiswi plus otoritas) dan bahkan ikut berdiskusi. Dengan kembalinya kelas-kelas luring ini, akses belajar menjadi kembali ke tembok-tembok kampus dan hanya bisa dinikmati oleh mahasiswa luring yang sifatnya internal. Betul bahwa pengajar-pengajar di kelas luring ini bisa tetap mengajar online di luar jam kelas, tetapi tentu sudah tidak bisa seintens dulu karena lelah melakukan persiapan kelas offline (beserta perjalanan ke lokasinya). 

Jadi dalam hal tertentu, khususnya bagi geliat filsafat di Indonesia, yang harus diakui, cukup dipengaruhi oleh keberadaan kelas-kelas daring, kembalinya kegiatan belajar mengajar filsafat ke luring ini adalah semacam "kemunduran". Padahal telah kita rasakan bersama, betapa hidupnya dunia filsafat di Indonesia di masa pandemi. Setiap orang menjadi bisa punya akses untuk belajar dari seluruh Indonesia, dan bisa mendapatkan pelajaran filsafat dari pengajar filsafat dari kampus-kampus top. Segala keterbatasan ini membuat saya bertanya-tanya: kemudian apa artinya, menjadi jago filsafat di tengah orang-orang yang kesulitan akses atas pelajaran filsafat? Bukankah lebih keren, menjadi jago filsafat di antara orang-orang yang jago filsafat?

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...