Skip to main content

Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci

  (Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”.  Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan.  Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...

Jakarta


Sembilan bulan sudah kami tinggal di Jakarta. Sepanjang hidup, memang sudah cukup sering saya pergi ke Jakarta, tapi tidak untuk tinggal dalam waktu yang lumayan lama. Ini adalah kali pertama saya tinggal agak lama di luar kota kelahiran dan tempat saya bertumbuh, Bandung. Saya memilih untuk mengiyakan pindah ke Jakarta karena istri diterima kerja di sana. Oke lah, kenapa enggak untuk nyoba tinggal di luar Bandung? Di Jakarta, saya lebih banyak berdiam di apartemen atau nongkrong di kafe untuk menulis. Sepanjang itu, saya memang ingin lebih fokus menulis sembari mengajar atau mengisi forum di beberapa kesempatan (umumnya masih online). Karena tidak punya kegiatan yang dikatakan rutin (meski menulis itu ya termasuk rutin), saya punya cukup waktu luang untuk bertemu beberapa kawan. 

Apa yang bisa dikatakan tentang Jakarta? Dibandingkan dengan umumnya orang-orang yang saya temui di Bandung, orang-orang di sekitaran apartemen tempat kami tinggal bukanlah orang yang terlalu senang beramah tamah. Mereka tampak fokus pada kesibukannya dan kelihatannya malas berurusan dengan orang yang berada di luar kepentingannya. Tempat kerja istri saya berada dalam sebuah mal dan saya cukup sering nongkrong di sekitar sana sambil menungguinya pulang. Kesan saya tentang orang-orang di tempat itu ya sama: mereka kelihatan begitu sibuk. Memang banyak di antara mereka juga bersantai, tetapi bersantai dalam kesibukannya. Mereka nongkrong, hang out, dalam tempo yang bagi kami orang-orang Bandung, terasa begitu cepat dan agak terburu-buru. 

Namun istilah saya - mereka, kami - mereka, dalam arti tertentu, agak terdengar aneh. Pembagian semacam itu mensyaratkan adanya keterpisahan antara saya, kami, dan mereka, dalam suatu kategori entah apa. Secara eksistensi tentu cukup jelas, bahwa saya, dia, si itu, si ini, orang-orang itu, adalah individu-individu yang berbeda satu sama lain. Tetapi letak permasalahannya adalah ini: jika individu-individu itu berbeda satu sama lain, mengapa saya berani menyatakan individu-individu tersebut dalam himpunan "mereka"? Artinya, kurang lebih, saya menyamakan individu-individu itu, dan individu-individu yang saya anggap "sama" tersebut, adalah berbeda dari saya. Pertanyaannya, apakah "saya" dan apakah "mereka"? 

Saya mengatakan di atas, bahwa "mereka" adalah "sekumpulan orang yang fokus pada kesibukannya dan kelihatannya malas berurusan dengan orang yang berada di luar kepentingannya", "mereka" adalah "sekumpulan orang yang bersantai, tapi bersantai dalam kesibukannya". Namun bagaimana kemungkinan "mereka" melihat "saya"? Mungkin sama saja: "Mereka" (yang di dalamnya ada "saya"), adalah "sekumpulan orang yang fokus pada kesibukannya dan kelihatannya malas berurusan dengan orang yang berada di luar kepentingannya" and so on and so on. Apa artinya? Penilaian saya tentang mereka, bisa jadi sama dengan penilaian mereka tentang saya, yang memang ada di dalam himpunan yang sama, ada-bersama-mereka. 

Poinnya, saya datang ke Jakarta, pada mulanya, dengan dibekali sejumlah teori tentang budaya urban, anti-kapitalisme, dan macam-macam amunisi kritis lainnya, berharap tetap waras dan terbebaskan di tengah kehidupan kota besar yang mengalienasi. Hal semacam itu bisa saja diterapkan, tetapi akan jatuh pada masalah lain: saya justru yang terasing dari sekitar, dengan menjadi "si paling sadar", "si paling kritis", dan lain-lain seolah-olah saya bukanlah seperti "mereka" yang tenggelam dalam rutinitas. Pada akhirnya, sikap solipsis semacam itu tidak melulu dibutuhkan dalam menjalani keseharian yang saya lalui di Jakarta. Saat berada di tengah-tengah orang-orang, letakkan sejenak praduga-praduga tentang masyarakat kontemporer, karena sebelum pikiran kita memikirkannya, kita telah, dan selalu menjadi bagian dari orang-orang itu. Kita adalah orang-orang itu

Jakarta, dengan segala pengalaman teralienasinya, sangat menantang untuk saya. Tapi kelihatannya kami tidak akan berlama-lama di sini. Bandung memanggil, kami mesti pulang. Dari pengalaman teralienasi satu, ke pengalaman teralienasi lainnya. Dalam terang kehidupan kota, kadang hidup berkesadaran hanyalah ilusi. Kehendak bebas hanyalah angan-angan.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...