Sembilan bulan sudah kami tinggal di Jakarta. Sepanjang hidup, memang sudah cukup sering saya pergi ke Jakarta, tapi tidak untuk tinggal dalam waktu yang lumayan lama. Ini adalah kali pertama saya tinggal agak lama di luar kota kelahiran dan tempat saya bertumbuh, Bandung. Saya memilih untuk mengiyakan pindah ke Jakarta karena istri diterima kerja di sana. Oke lah, kenapa enggak untuk nyoba tinggal di luar Bandung? Di Jakarta, saya lebih banyak berdiam di apartemen atau nongkrong di kafe untuk menulis. Sepanjang itu, saya memang ingin lebih fokus menulis sembari mengajar atau mengisi forum di beberapa kesempatan (umumnya masih online). Karena tidak punya kegiatan yang dikatakan rutin (meski menulis itu ya termasuk rutin), saya punya cukup waktu luang untuk bertemu beberapa kawan.
Apa yang bisa dikatakan tentang Jakarta? Dibandingkan dengan umumnya orang-orang yang saya temui di Bandung, orang-orang di sekitaran apartemen tempat kami tinggal bukanlah orang yang terlalu senang beramah tamah. Mereka tampak fokus pada kesibukannya dan kelihatannya malas berurusan dengan orang yang berada di luar kepentingannya. Tempat kerja istri saya berada dalam sebuah mal dan saya cukup sering nongkrong di sekitar sana sambil menungguinya pulang. Kesan saya tentang orang-orang di tempat itu ya sama: mereka kelihatan begitu sibuk. Memang banyak di antara mereka juga bersantai, tetapi bersantai dalam kesibukannya. Mereka nongkrong, hang out, dalam tempo yang bagi kami orang-orang Bandung, terasa begitu cepat dan agak terburu-buru.
Namun istilah saya - mereka, kami - mereka, dalam arti tertentu, agak terdengar aneh. Pembagian semacam itu mensyaratkan adanya keterpisahan antara saya, kami, dan mereka, dalam suatu kategori entah apa. Secara eksistensi tentu cukup jelas, bahwa saya, dia, si itu, si ini, orang-orang itu, adalah individu-individu yang berbeda satu sama lain. Tetapi letak permasalahannya adalah ini: jika individu-individu itu berbeda satu sama lain, mengapa saya berani menyatakan individu-individu tersebut dalam himpunan "mereka"? Artinya, kurang lebih, saya menyamakan individu-individu itu, dan individu-individu yang saya anggap "sama" tersebut, adalah berbeda dari saya. Pertanyaannya, apakah "saya" dan apakah "mereka"?
Saya mengatakan di atas, bahwa "mereka" adalah "sekumpulan orang yang fokus pada kesibukannya dan kelihatannya malas berurusan dengan orang yang berada di luar kepentingannya", "mereka" adalah "sekumpulan orang yang bersantai, tapi bersantai dalam kesibukannya". Namun bagaimana kemungkinan "mereka" melihat "saya"? Mungkin sama saja: "Mereka" (yang di dalamnya ada "saya"), adalah "sekumpulan orang yang fokus pada kesibukannya dan kelihatannya malas berurusan dengan orang yang berada di luar kepentingannya" and so on and so on. Apa artinya? Penilaian saya tentang mereka, bisa jadi sama dengan penilaian mereka tentang saya, yang memang ada di dalam himpunan yang sama, ada-bersama-mereka.
Poinnya, saya datang ke Jakarta, pada mulanya, dengan dibekali sejumlah teori tentang budaya urban, anti-kapitalisme, dan macam-macam amunisi kritis lainnya, berharap tetap waras dan terbebaskan di tengah kehidupan kota besar yang mengalienasi. Hal semacam itu bisa saja diterapkan, tetapi akan jatuh pada masalah lain: saya justru yang terasing dari sekitar, dengan menjadi "si paling sadar", "si paling kritis", dan lain-lain seolah-olah saya bukanlah seperti "mereka" yang tenggelam dalam rutinitas. Pada akhirnya, sikap solipsis semacam itu tidak melulu dibutuhkan dalam menjalani keseharian yang saya lalui di Jakarta. Saat berada di tengah-tengah orang-orang, letakkan sejenak praduga-praduga tentang masyarakat kontemporer, karena sebelum pikiran kita memikirkannya, kita telah, dan selalu menjadi bagian dari orang-orang itu. Kita adalah orang-orang itu.
Jakarta, dengan segala pengalaman teralienasinya, sangat menantang untuk saya. Tapi kelihatannya kami tidak akan berlama-lama di sini. Bandung memanggil, kami mesti pulang. Dari pengalaman teralienasi satu, ke pengalaman teralienasi lainnya. Dalam terang kehidupan kota, kadang hidup berkesadaran hanyalah ilusi. Kehendak bebas hanyalah angan-angan.
Comments
Post a Comment