Tahun 2021, saya mengalami dua kali sakit parah. Pertama, bulan Juli, saat terpapar COVID-19 edisi Delta dan kedua, bulan Oktober, saat dada saya tiba-tiba terasa sesak dan dilarikan ke rumah sakit. Awal tahun 2022, saya pindah ke Jakarta, menandai fase hidup yang baru. Namun baru saja beberapa hari beres-beres, saya mengalami masalah serius pada pencernaan hingga harus kembali menginap di rumah sakit. Kali ini sampai tiga atau empat hari (saya lupa persisnya dan malas mengingat-ingat). Sejak rentetan kejadian itu, saya mulai merenungkan tentang kematian. Meski saya kerap membicarakannya via gagasan para filsuf, tapi hal-hal demikian hanya ada dalam pikiran, hanya sebagai teori, bahwa kematian adalah begini begitu, sedangkan sejak kejadian itu, dan sesudah-sesudanya: kematian adalah sesuatu yang nyata, hal yang begitu dekat dan saya sama sekali tidak mampu mengantisipasinya. Nyaris setiap saat saya mengalkulasi: oke usiaku sekarang segini, mungkin masih ada umur sekitar dua puluh tahun lagi untuk hidup, oke, itu cukup lama, aku masih bisa ini itu untuk menyiapkan kematian yang mungkin "damai".
Setiap mendengar berita kematian, saya melakukan tanya jawab dengan diri sendiri: kenapa ya dia meninggal? Usianya berapa? Oh, masih jauh dari usia saya. Oh, penyebab meninggalnya karena sakit A, mungkin karena dia kebanyakan merokok, kurang olahraga, kurang konsumsi makanan bergizi, kalau aku tidak merokok, rajin olahraga, makan makanan bergizi, mungkin aku tidak akan terkena sakit A. Begitulah, saya membuat semacam rumus, bahwa kematian bisa agak-agak "dihindari" atau setidaknya tidak mesti menjalani derita terlebih dahulu, jika melakukan tindakan A B C D dan menghindari tindakan E F G H. Kalkulasi semacam itu, saya sadar, tidak lebih dari penghiburan yang sangat mengada-ngada: kematian tidak berjalan dalam rumus-rumus demikian. Bahkan kalaupun seseorang telah menerapkan berbagai hidup sehat lahir batin, itu tidak berarti ia dijauhkan dari intaian sang maut.
Jujur, meski saya khawatir akan kematian, saya tidak terlalu khawatir dengan apa yang menanti setelah mati. Konsep akhirat memang menenangkan, tapi sekaligus menggelisahkan. Lebih baik jika hal demikian tidak perlu dipikirkan, setidaknya untuk saat ini, dan fokus sebisa-bisa pada apa yang dilakukan di dunia. Pada beberapa kejadian saya mengalami sakit serius sebagaimana telah disinggung di atas, saya membayangkan kematian di hadapan. Namun pada saat bayangan akan kematian itu tiba, saat saya benar-benar berada di "sana", saya tidak dalam andaian seperti yang saya pikirkan sebelumnya. Ketika momen itu "tiba", kita ada di momen "itu", bukan renungan tentang momen "itu" sebagaimana kita pernah pikirkan. Seperti saat kita membayang-bayangkan bertemu A, tapi saat bertemu A, bayangan itu tidak sepenuhnya sama, bahkan banyak bedanya, bahkan buyar sekalian.
Hiburan lain yang bisa saya ajukan adalah ini: kematian adalah hukum alam yang tidak bisa ditolak. Hal yang membuatnya menakutkan, bisa saja akibat konstruksi peradaban yang menganggap mati adalah suatu kemunduran, suatu hasil yang buruk dari apapun. Selain itu, kematian juga menjadi menyedihkan, karena kerap dihubung-hubungkan dengan dimensi etis. Dalam hal ini, Mba Upie membuat saya tercerahkan, dengan mengatakan bahwa kematian bisa juga dipandang dalam kerangka estetis. Iya juga ya: sehebat-hebatnya pertunjukan, tidak akan menjadi hebat jika tidak diakhiri.
Comments
Post a Comment