Skip to main content

Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci

  (Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”.  Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan.  Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...

Perihal Kematian



Tahun 2021, saya mengalami dua kali sakit parah. Pertama, bulan Juli, saat terpapar COVID-19 edisi Delta dan kedua, bulan Oktober, saat dada saya tiba-tiba terasa sesak dan dilarikan ke rumah sakit. Awal tahun 2022, saya pindah ke Jakarta, menandai fase hidup yang baru. Namun baru saja beberapa hari beres-beres, saya mengalami masalah serius pada pencernaan hingga harus kembali menginap di rumah sakit. Kali ini sampai tiga atau empat hari (saya lupa persisnya dan malas mengingat-ingat). Sejak rentetan kejadian itu, saya mulai merenungkan tentang kematian. Meski saya kerap membicarakannya via gagasan para filsuf, tapi hal-hal demikian hanya ada dalam pikiran, hanya sebagai teori, bahwa kematian adalah begini begitu, sedangkan sejak kejadian itu, dan sesudah-sesudanya: kematian adalah sesuatu yang nyata, hal yang begitu dekat dan saya sama sekali tidak mampu mengantisipasinya. Nyaris setiap saat saya mengalkulasi: oke usiaku sekarang segini, mungkin masih ada umur sekitar dua puluh tahun lagi untuk hidup, oke, itu cukup lama, aku masih bisa ini itu untuk menyiapkan kematian yang mungkin "damai". 

Setiap mendengar berita kematian, saya melakukan tanya jawab dengan diri sendiri: kenapa ya dia meninggal? Usianya berapa? Oh, masih jauh dari usia saya. Oh, penyebab meninggalnya karena sakit A, mungkin karena dia kebanyakan merokok, kurang olahraga, kurang konsumsi makanan bergizi, kalau aku tidak merokok, rajin olahraga, makan makanan bergizi, mungkin aku tidak akan terkena sakit A. Begitulah, saya membuat semacam rumus, bahwa kematian bisa agak-agak "dihindari" atau setidaknya tidak mesti menjalani derita terlebih dahulu, jika melakukan tindakan A B C D dan menghindari tindakan E F G H. Kalkulasi semacam itu, saya sadar, tidak lebih dari penghiburan yang sangat mengada-ngada: kematian tidak berjalan dalam rumus-rumus demikian. Bahkan kalaupun seseorang telah menerapkan berbagai hidup sehat lahir batin, itu tidak berarti ia dijauhkan dari intaian sang maut. 

Jujur, meski saya khawatir akan kematian, saya tidak terlalu khawatir dengan apa yang menanti setelah mati. Konsep akhirat memang menenangkan, tapi sekaligus menggelisahkan. Lebih baik jika hal demikian tidak perlu dipikirkan, setidaknya untuk saat ini, dan fokus sebisa-bisa pada apa yang dilakukan di dunia. Pada beberapa kejadian saya mengalami sakit serius sebagaimana telah disinggung di atas, saya membayangkan kematian di hadapan. Namun pada saat bayangan akan kematian itu tiba, saat saya benar-benar berada di "sana", saya tidak dalam andaian seperti yang saya pikirkan sebelumnya. Ketika momen itu "tiba", kita ada di momen "itu", bukan renungan tentang momen "itu" sebagaimana kita pernah pikirkan. Seperti saat kita membayang-bayangkan bertemu A, tapi saat bertemu A, bayangan itu tidak sepenuhnya sama, bahkan banyak bedanya, bahkan buyar sekalian. 

Hiburan lain yang bisa saya ajukan adalah ini: kematian adalah hukum alam yang tidak bisa ditolak. Hal yang membuatnya menakutkan, bisa saja akibat konstruksi peradaban yang menganggap mati adalah suatu kemunduran, suatu hasil yang buruk dari apapun. Selain itu, kematian juga menjadi menyedihkan, karena kerap dihubung-hubungkan dengan dimensi etis. Dalam hal ini, Mba Upie membuat saya tercerahkan, dengan mengatakan bahwa kematian bisa juga dipandang dalam kerangka estetis. Iya juga ya: sehebat-hebatnya pertunjukan, tidak akan menjadi hebat jika tidak diakhiri.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...