Skip to main content

Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci

  (Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”.  Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan.  Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam


 

Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat.

Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tipis pemikiran Agustinus, Johannes Scotus Eriugena, Thomas Aquinas hingga William of Ockham, mendadak saya merasa perlu kembali lagi menyusuri Sokrates, bahkan Pythagoras (padahal sudah sering sekali diceritakan pada orang-orang). 

Live Instagram tersebut awalnya direncanakan mulai pukul sepuluh pagi dan berakhir sepuluh malam dengan termasuk di dalamnya beberapa kali istirahat. Istirahat tersebut selain karena keterbatasan fisik, juga karena keterbatasan durasi dari live Instagram itu sendiri yang memang dibatasi hingga maksimal empat jam per sekali live. Maka itu dalam bayangan saya, akan dilakukan setidaknya tiga kali break dengan masing-masing durasi istirahat sekitar lima belas menit. Catatan-catatan sudah disiapkan, termasuk e-book yang dibuka di hadapan, supaya tidak kehabisan materi pembicaraan. Intinya, di hari H, saya merasa sudah sangat siap untuk melakukan “performance” ini – meski agak khawatir apakah bisa sampai finis atau tidak. 

Dua jam pertama, saya merasa sangat lancar dan bersemangat. Penonton lumayan, kira-kira stabil di angka lima puluh. Saya berhasil mengirit-irit pembahasan dengan mengulur periode Yunani Pra-Sokrates. Di atas dua jam, ternyata tenaga mulai berkurang drastis. Sesi pertama ditutup dengan pembahasan singkat tentang stoisisme dan stop di durasi dua jam empat puluh menit. Baru sesi pertama, saya terpikir untuk menyerah karena membayangkan akan ada sepuluh jam lagi di hadapan. Kemudian saya mengatur strategi, untuk tidak sepenuhnya bicara, melainkan sesekali berhenti, pergi ke toilet, merokok sambil bengong atau bahkan ngemil. Dengan bekal strategi tersebut, saya memulai sesi kedua. 

Sesi kedua, ternyata saya merasa lebih lemas dari sebelumnya. Tertatih-tatih membahas sejarah Abad Pertengahan mulai dari perdebatan doktrin Kristiani sampai Peter Abelard, saya stop di durasi dua jam dua belas menit. Artinya, kira-kira saya sudah menyelesaikan lima jam kurang sedikit. Masih tujuh jam lagi saya harus berbicara, akhirnya saya memutuskan tidur siang barang lima belas sampai dua puluh menit. Untuk menghibur diri sendiri, saya membangun sugesti: oh, mungkin saya kurang bersemangat karena membahas tema yang bukan favorit, yaitu Abad Pertengahan

Sesi ketiga, saya memutuskan untuk sekilas-kilas saja membahas Thomas Aquinas, Duns Scotus dan William of Ockham. Lagipula, setelah dipikir-pikir, mengapa harus dibahas secara lengkap? Toh, perjalanan masih jauh (selain itu, saya juga kurang menguasai bahasan tentang mereka). Akhirnya saya memutuskan untuk lebih berpanjang-panjang dalam memaparkan latar belakang masa Renaisans ketimbang berlama-lama di Abad Pertengahan. Pembahasan tentang masa Renaisans akhirnya berujung pada ulasan tentang pemikir kita semua: Rene Descartes. Stop di dua jam tiga puluh menit, sesi ketiga ditutup dengan pembahasan mengenai Descartes dan bagiku itu adalah pit stop yang melegakan. Alasannya, dari Descartes, saya sudah bisa berbicara tentang siapapun dengan agak bebas. Dengan berakhirnya sesi ketiga itu juga, artinya, tinggal empat jam setengah lagi durasi yang mesti diselesaikan. 

Sesi keempat, saya memulainya dengan membahas John Locke dan ditutup dengan pemaparan sekilas gagasan J.J. Rousseau tentang demokrasi. Total durasi sesi keempat ini hanyalah satu jam empat puluh dua menit. Alasannya? Saya sudah sangat kelelahan! Saya sudah sambil makan bubur kacang dan sering pura-pura ke toilet lama sekali padahal untuk menarik napas. Martin Suryajaya yang turut menonton sudah tampak khawatir dan memberi saran: baiknya sambil tiduran saja live-nya, hapenya dipegang. Istri mengecek tensi dan hasilnya membahayakan: 165 / 100. Dia sudah menyuruh stop tapi dia juga tahu suruhan semacam itu tidak akan mempan. 

Jadi, jika melihat waktu yang saat itu sekitar pukul sepuluh malam, mestinya saya sudah selesai melakukan live Instagram (karena sudah sesuai jadwal). Namun di sisi lain, saya masih merasa kurang puas karena dua belas jam ini artinya adalah waktu kotor. Jika dihitung durasi bersih, saya masih harus menyelesaikan dua jam setengah lagi. Akhirnya, saya putuskan untuk membereskan durasi bersih dan melanjutkan live hingga sekitar pukul dua belas lewat dua puluh lima menit. Saya menyelesaikan pemaparan di Jean Paul Sartre dan merasa tidak perlu lagi untuk meneruskan hingga posmodern. Di sesi terakhir ini, suara saya sudah diperkecil untuk menghemat tenaga. Setelah dihitung, durasinya ternyata tidak sampai dua belas jam, melainkan sebelas jam empat puluh menit. Yah, sudahlah. 

Besoknya saya tidur seharian, tidak kuasa untuk mengerjakan apapun yang serius kecuali makan, sambil mengingat-ingat apa yang saya lakukan kemarin itu adalah hal yang kurang kerjaan. Apa yang memberi saya kekuatan adalah pertama, filsafat itu sendiri. Kecintaan yang terlalu melimpah, sampai-sampai saya tidak butuh semacam doping untuk bicara selama setengah hari. Kedua, adalah ibu. Ia terbiasa mengajar dari pagi sampai malam. Hal demikian tidak hanya memerlukan kekuatan, tapi juga dedikasi. Saya tidak selalu mengingatnya, karena ia sudah ada dalam kata-kata dan hela nafas saya.

Comments

  1. Those giant deviations on the right have an effect, the very fact fact} that|although} they're a really small proportion of the info. Download a Stopwatch and Countdown timer that stays on top of all open home windows. Nikita is a published writer and an experienced gambling writer with a passion for all things iGaming. Billboard's blistering article about hip-hop's "magic" slipping away is 바카라사이트 completely on point, in accordance with Eminem's artist Westside Boogie ... About 23,000 stores in all 58 counties promote state lottery games. Lottery sales—after prizes and operation costs—support education.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...