Sebagai orang yang pengetahuan filsafatnya banyak didapat dari diskusi ke diskusi di alam liar, saya baru intens menggeluti teks primer sejak belajar S3 di STF Driyarkara atau mulai dari dua tahun silam. Khususnya bagi mereka yang mengambil program doktor, bahkan jika yang digelutinya adalah teks primer dalam bahasa Jerman, misalnya, mereka harus benar-benar bisa berbahasa Jerman! Artinya, kami dilarang menggeluti teks primer terjemahan dalam bahasa Inggris, apalagi bahasa Indonesia. Dengan demikian, otomatis teks sekunder atau komentar tidak diperkenankan menjadi rujukan utama. Namun ketentuan demikian hanya diberlakukan bagi riset akhir atau disertasi. Memahami teks filsafat untuk "kebutuhan sehari-hari", bagi saya, tidak perlu seketat itu. Apalagi jika mesti berhadapan dengan kepadatan jadwal menulis dan mengajar yang membutuhkan tidak hanya kedalaman, melainkan juga kecepatan. Bagaimana dua hal tersebut bisa didamaikan?
Tentu saja saya tidak mendaku bahwa saya punya kedalaman dalam mengkaji teks. Namun persoalan kecepatan, hal tersebut merupakan kemampuan yang tidak terbantahkan sebagai konsekuensi dari dikejar-kejar jadwal. Setidaknya, hal yang penting bagi saya bukan benar-benar kedalaman, melainkan "bisa terlihat cukup mendalam" dan ini ada trik tersendiri. Oh ya, tentu saja kiat ini hanya diberlakukan dalam keadaan darurat. Jika dosen-dosen saya di STF tahu ternyata saya punya pendapat bahwa "belajar filsafat tidak usah terlalu mendalam", mungkin mereka akan sangat keberatan. Berikut kiat-kiat yang bisa saya bagikan:
1. Membuka Wikipedia itu tidak haram.
Namun perlu ditekankan bahwa masuk ke Wikipedia ini bukan dalam rangka menyomot gagasan inti, melainkan sebagai gerbang masuk menuju pemikiran yang kita tuju. Ambil contoh kita sebelumnya tidak pernah mengenal pemikiran Friedrich Nietzsche, lalu kita masuk pada Wikipedia tentang Nietzsche. Di sana kita akan menemukan kisah hidupnya dan kurang lebihnya ia membicarakan apa. Dari sana kita akan tahu Nietzsche menulis buku atau artikel apa saja. Hal inilah yang akan kita gunakan untuk masuk ke tahap selanjutnya.
2. Selalu punya waktu untuk bersentuhan dengan teks primer.
Setelah kita mengetahui bahwa Nietzsche menulis, katakanlah, The Birth of Tragedy, maka kita bisa mencarinya di internet dan mengunduhnya. Mengunduh teks primer saat ini adalah hal yang sangat mudah. Bandingkan dengan sekitar lima hingga sepuluh tahun silam, teks primer filsafat di Indonesia masih sebuah barang langka dan mungkin hanya bisa didapat di perpustakaan kampus atau bahkan mesti dibeli dari luar negeri. Oh ya, untuk keadaan darurat semacam ini, teks primer terjemahan tentu saja diperkenankan (tidak mungkin kita belajar bahasa Jerman terlebih dahulu jika seminggu kemudian harus presentasi).
Setelah itu, apa yang kita bisa lakukan dengan teks primer? Tentu membacanya, tetapi jika tidak keburu untuk menghabiskan, kita bisa baca bagian-bagian tertentu saja yang dirasa sesuai dengan kebutuhan presentasi atau penulisan. Bahkan jika kita membukanya di pdf, kita bisa langsung mencari kata kunci yang diinginkan. Setidaknya lewat persentuhan dengan teks primer, kita bisa mengetahui gaya menulis si filsuf dan caranya dalam mengurai gagasan. Misalnya, kita tidak akan tahu betapa uniknya cara Wittgenstein menuliskan gagasan dalam Tractatus jika tidak pernah membaca teks primernya. Kita juga akan sekaligus tahu bahwa Deleuze menulis dengan sangat rumit dalam Difference and Repetition dan sebaliknya, Aristoteles menulis dengan sangat jernih dan mudah dipahami.
Untuk kebutuhan presentasi atau tulisan yang sifatnya mendesak, kita bisa mengambil satu atau dua bagian dari buku dan mengulasnya hanya di situ. Kadang satu atau dua bab dari filsuf tertentu sudah merupakan kunci untuk menjelaskan sebagian besar gagasannya, seperti misalnya bab The Fall of Legislator dan The Rise of Interpreter dalam buku Legislators and Interpreters karya Zygmunt Bauman sudah kurang lebih menggambarkan pokok pemikiran filsuf Polandia tersebut tentang posmodernisme.
3. Mulai masuk ke teks sekunder.
Teks sekunder adalah teks yang isinya berupa ulasan atau komentar terhadap teks primer. Membaca teks sekunder ini tentu saja membantu, karena diasumsikan bahwa penulis teks sekunder adalah pembaca serius teks primer. Hanya saja, kita terkesan "disuapi" karena biasanya bahasanya sudah dibuat lebih ringan dan gagasannya sudah dirangkumkan. Meski demikian, ada juga teks sekunder yang ditulis lebih tebal dari teks primer karena penulis teks sekunder ini berusaha menjelaskan dengan lebih rinci apa yang dimaksud oleh si pemikir dalam teks primer. Hal yang lebih penting adalah tetap bersikap kritis terhadap teks sekunder. Selalu ada usaha untuk bolak-balik mengecek antara pernyataan pada teks sekunder dan pernyataan pada teks primer.
4. Mulai menggunakan asupan lainnya seperti Podcast dan YouTube.
Inilah kelebihan era digital yang membuat kita tidak hanya dimungkinkan untuk membaca beraneka teks, tetapi juga menikmati audio - visual tertentu yang berisi ulasan, kuliah atau bahkan wawancara dengan filsuf yang bersangkutan. Melalui Podcast atau Youtube ini, kita bisa mendengarkan sambil melakukan kegiatan lain seperti memasak atau menyetir. Namun hal yang perlu diingat, Podcast atau Youtube ini sifatnya suplemen, untuk menambal lubang-lubang saja, karena, bagi saya pribadi, gagasan dapat berkembang secara imajinatif hanya melalui teks. Maksudnya, teks-teks itu, meski mungkin hanya bisa dipahami misalnya delapan puluh persen saja, tetapi dua puluh persen sisanya bisa diotak-atik dalam kepala, semacam tafsir, interpretasi, sementara hasil dari menonton dan mendengar Podcast dan Youtube, biasanya luarannya sesuai dengan apa yang masuk.
5. Berdiskusi selalu penting!
Hal yang menurut saya aneh dalam belajar filsafat adalah ini: bisa jadi saat bersentuhan dengan teksnya, kita tidak terlalu memahami, tetapi saat berdiskusi, kita tiba-tiba menjadi lebih paham. Melalui diskusi, sebenarnya kita tidak semata-mata sedang mendengarkan masukan dan pendapat orang lain, tetapi juga pendapat kita sendiri saat diutarakan. Bisa jadi ada hal-hal yang baru kita mengerti saat didiskusikan, oh, maksudnya itu. Entah mengapa bisa seperti itu, mungkin karena membaca itu sifatnya baru tertanam di dunia pikiran, sementara saat membicarakannya, kita berusaha keras untuk menjalinnya agar bisa dimengerti orang lain. Dampaknya, diri sendiri bisa ikut terbawa mengerti.
6. Memahami konteks sejarah.
Memahami pemikiran filsafat pada dasarnya juga mengasumsikan bahwa pikiran tersebut tidak lahir dari ruang hampa, melainkan situasi masyarakat tertentu. Tidak ada salahnya dan bahkan menjadi sangat penting untuk membaca tentang Revolusi Prancis bersamaan dengan membaca teks pemikiran Rousseau, misalnya. Lewat pembacaan atas sejarah, kita bisa memahami bahwa pemikirannya tentang demokrasi sebagai kehendak umum adalah sebagai respons terhadap situasi di Prancis abad ke-18, di mana pemerintahan adalah semacam tirani dan struktur masyarakat sangat bersifat feodalistik. Saat kita membaca pemikiran Stoisisme tentang keharusan untuk hidup sesuai kehendak alam, kita mungkin kebingungan: alam seperti apa? Bukankah alam sekarang ini sudah sangat dimanipulasi? Alam yang dimaksud mungkin adalah alam di masa pemikiran tersebut lahir. Alam di masa itu masih bisa menimbulkan kekaguman yang besar, sementara alam di masa sekarang bisa jadi hanya menjadi instrumen untuk kepentingan kapital.
7. Tahu siapa yang mempengaruhi dan dipengaruhi.
Selain membaca pemikiran dari filsuf yang ingin kita tuliskan atau presentasikan, kita juga sebaiknya mengetahui sekilas tentang siapa yang mempengaruhinya dan siapa yang dipengaruhinya. Misalnya, saat kita membaca Hegel, alangkah baiknya jika kita membaca juga sedikit tentang Kant (yang mempengaruhinya) dan sedikit tentang Feuerbach (yang dipengaruhinya). Alasannya, supaya kita lebih kuat memahami gagasan Hegel karena tahu bahwa Hegel pada mulanya mengritik Kant dan kemudian ia juga dikritik oleh Feuerbach. Kita tidak hanya menjadi lebih tahu tentang pemikiran Hegel secara khusus, tapi juga posisinya secara umum dalam lanskap pemikiran filsafat Barat. Seperti halnya ketika saya membaca Deleuze, ia berulangkali menyebut Nietzsche dan Duns Scotus, sehingga penting untuk mengunjungi pemikiran mereka dan mengetahui mengapa Deleuze punya pemikiran semacam itu. Pada pokoknya, filsuf bukanlah orang yang pemikirannya lahir dari ruang hampa, melainkan ia juga berpikir dari hasil membaca orang lain, untuk kemudian hasil pemikirannya juga dibaca orang lain.
8. Hal yang terpenting adalah memahami posisi.
Posisi yang dimaksud di sini adalah penerimaan dan penolakannya terhadap suatu gagasan. Sudah pasti salah jika kita mengatakan Descartes adalah seorang empirisis dan Nietzsche menyarankan kita untuk hidup seperti Dewa Apollo. Sudah pasti ditertawakan jika kita menyebut Quine adalah pemikir kontinental dan John Searle adalah seorang feminis. Jika kita sudah mengetahui posisi-posisi ini secara akurat, maka argumen-argumen yang mendukungnya tinggal dibangun berdasarkan potongan-potongan puzzle hasil pembacaan dan pendengaran kita.
Perlu diketahui bahwa proses di atas tidak perlu dijalankan secara berurutan, melainkan bisa dibolak-balik. Setelah membaca teks sekunder dan mendengarkan Podcast, misalnya, kita bisa kembali mengunjungi teks primer supaya lebih paham. Setelah membaca teks primer, kita bisa lanjut berdiskusi dan baru membaca sejarah. Sekali lagi, ini bukanlah suatu metode yang ketat, melainkan sekadar kiat-kiat.
Comments
Post a Comment