Kemunculan rilisan musik dalam bentuk digital yang kian marak dalam dekade terakhir ini tidak hanya pelan-pelan menggantikan popularitas rilisan fisik, tapi juga menggantikan cara-cara kita dalam menyimpan dan mendengarkan musik. Memang rilisan digital, dalam banyak hal, memiliki keunggulan seperti misalnya praktis, tidak banyak menyita ruang (bandingkan dengan mereka yang mengoleksi banyak kaset atau CD yang bisa jadi memerlukan rak khusus) dan secara umum lebih ekonomis. Jika kita membeli paket Spotify Premium misalnya, kita sudah dapat mendengarkan ribuan lagu. Bandingkan dengan masa-masa kita harus membeli rilisan fisik, yang untuk mendengarkan satu album, kita harus membeli album kaset atau CD di toko musik, yang satunya hanya berisi sekitar delapan hingga dua belas lagu-an.
Sebagian generasi yang lahir tahun 2000-an bisa jadi tidak terlalu mempunyai pengalaman intens dengan yang namanya kaset atau CD, apalagi piringan hitam. Bahkan bagi generasi Z tertentu, rupa dari benda-benda tersebut bisa jadi tidak dikenali sama sekali (dan ini fenomena yang benar-benar terjadi!). Namun tidak ada salahnya untuk kita mengingat-ingat lagi hal-hal dalam rilisan fisik yang tidak bisa terlalu tergantikan oleh rilisan digital, sekaligus menjadi semacam informasi bagi generasi mutakhir yang barangkali sudah sangat asing dengan benda yang statusnya nyaris bergeser menjadi merchandise atau bahkan “barang antik” ini. Berikut hal-hal yang bisa kita rindukan dari rilisan fisik:
Kemasan album
Masih ingat bagaimana perasaan kita saat membeli album kaset atau CD? Perasaan tersebut bukan semata-mata tentang musiknya, tapi juga perkara kemasan sekaligus artwork-nya. Album-album tertentu, terutama bagi saya pribadi, album musik metal, seringkali punya artwork yang berkesan – terasa begitu niat saat merancangnya. Misalnya, artwork pada album Reign in Blood (1986) dari Slayer atau Powerslave (1984) dari Iron Maiden. Visualisasi sampul album ini memang masih dapat dinikmati pada rilisan digital, tetapi perbedaan pengalaman saat melihatnya berada sepaket dengan kemasan fisik, terlebih lagi saat sampul tersebut bisa dilepas, dipegang, dan bahkan dibuka-buka seperti brosur atau bahkan buku kecil, membuat pengalaman terkait kemasan album dalam rilisan fisik ini tidak tergantikan! Artinya, pengalaman mengonsumsi rilisan fisik tidak hanya pengalaman audial, tapi juga pengalaman visual (yang lebih lengkap), pengalaman taktil atau sentuhan, dan bahkan olfaktori, jika kita menyukai “bau” dari sampul kaset atau CD yang cukup khas.
Hal yang tak kalah penting, di dalam sampul tersebut juga bisa dimasukkan lirik dan juga orang-orang yang berperan dalam proses produksi. Perkara lirik dan keterangan produksi semacam itu juga sebenarnya bisa difasilitasi dalam rilisan digital, tetapi terkesan seperti “fasilitas tambahan”, yang kurang primer ketimbang musiknya. Dalam rilisan fisik, terdapat kesan bahwa lirik dan keterangan produksi merupakan satu kesatuan dengan musik itu sendiri.
Perilaku mengonsumsi
Sependek pengamatan, rilisan digital dan rilisan fisik menghasilkan perilaku mengonsumsi musik yang berbeda. Misalnya, di masa maraknya rilisan fisik, umumnya orang datang ke toko musik adalah dalam rangka membeli album musisi favoritnya. Intinya, ia sudah tahu akan membeli album mana. Pada rilisan digital, bisa saja sebaliknya: musik diputar dulu secara acak, lalu mana yang menarik perhatian, baru disimak dengan lebih teliti sebelum memutuskan, inilah musisi favoritku! Bisa dikatakan, konsep “selera musik” menjadi berubah. Selera, dalam konteks rilisan fisik, terkesan sejalan dengan kehendak bebas (free will), sementara dalam konteks rilisan digital, terkesan lebih deterministik, sedikit banyak ditentukan oleh algoritma.
Namun tentu jika ditelaah, tidak sesederhana itu, karena mereka yang membeli rilisan fisik ke toko musik bisa jadi ditentukan juga oleh kondisi deterministik dari musik-musik yang diputar di media massa seperti televisi, radio, atau alat pemutar di ruang publik. Selain itu, karena untuk membeli satu album fisik ini tidak hanya memerlukan uang, tapi juga kesabaran dalam menunggu kemunculannya, maka konsumsi terhadap rilisan fisik menjadi lebih “dihargai”: setiap kaset, CD, atau piringan hitam menjadi “diawet-awet”.
Akses dan Distribusi
Pada tahun 1935, Walter Benjamin menerbitkan tulisan berjudul The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction. Dalam esainya tersebut, Benjamin menuliskan bahwa di bawah kerja-kerja reproduksi massal, karya seni menjadi kehilangan “aura” atau kita bisa sebut juga sebagai keaslian, keunikan, otentisitas, yang membuat sebuah karya seni menjadi “agung”. Namun Benjamin bukan hendak sepenuhnya membela “aura”, melainkan mau memperlihatkan bahwa karya seni menjadi tidak lagi eksklusif dan aksesnya menjadi kian terbuka bagi masyarakat secara lebih luas, termasuk yang sebelumnya berada “di luar kelas” dari orang-orang yang mampu menikmati “aura” tersebut. Singkatnya, karya seni menjadi egaliter.
Peralihan dari rilisan fisik ke rilisan digital bisa dibaca dari gagasan Benjamin tentang “aura” dan reproduksi massal. Dengan adanya rilisan digital, semua orang punya akses yang lebih luas terhadap musik apapun yang sebelumnya dianggap “langka” karena hanya bisa didengarkan sebagian orang saja yang memiliki. Sebelum maraknya rilisan digital, ada kebanggaan, saat mempunyai album yang dibeli susah-susah di luar negeri, atau dipesan secara eksklusif lewat toko resmi dari si band-nya. Sekarang segalanya mudah, ingin mendengarkan band-band dari Afrika atau Timur Tengah tinggal langsung pilih saja nama artisnya atau cukup memasukkan kata kunci tema tertentu.
Di sisi lain, rilisan fisik menjadi bukan hanya tentang musiknya, tapi rasa kepemilikan terhadap ke-benda-an-nya. “Saya punya …” menjadi ekspresi kebanggaan tersendiri dari sekadar, “Saya sudah mendengarkan …” Kesannya, untuk “mempunyai”, perlu usaha yang lebih besar, sementara “mendengarkan” lebih bisa dianggap sebagai hal yang alamiah (semua orang bisa, kalau cuma sekadar mendengarkan). Dalam kacamata Benjamin, mereka yang “punya”, adalah mereka yang lebih dekat pada “aura”.
Meski demikian, akses eksklusif terhadap musik tentu saja punya dampak negatif tersendiri, yakni musik tertentu menjadi terkesan elitis. Padahal, mendengarkan musik bisa jadi adalah hak semua orang dan aksesnya mesti dibuka seluas-luasnya (selama tetap mengupayakan prinsip keadilan bagi artis, pencipta lagu, dan distributor).
Hal yang perlu diingat, rilisan fisik sebenarnya tidak benar-benar hilang dari peredaran. Bahkan pada momen-momen tertentu, rilisan fisik ini dirayakan, seperti misalnya lewat penyelenggaraan Record Store Day yang marak setiap tanggal 21 April setiap tahunnya, yang mulai digelar di beberapa kota di Indonesia sejak tahun 2012. Hanya saja, kembali lagi, rilisan fisik ini statusnya bukan lagi sebagai sumber konsumsi musik yang utama (karena musiknya sendiri biasanya sudah ada dalam bentuk digital), melainkan lebih sebagai merchandise: untuk dikoleksi, dipajang (kadang kemasannya tidak ditanggalkan sama sekali) dan difoto-foto untuk dipamerkan di media sosial. Alhasil, para penjual rilisan fisik, yang tadinya diprediksi akan gulung tikar, ternyata masih beredar, meski tentu, tidak semarak di masa pra-digital.
Tentunya, ada beberapa hal lain yang bisa dirindukan dari rilisan fisik ini, seperti misalnya bagi para musisi, terkait tur dan promo album, yang bisa jadi konsepnya jauh berbeda dengan rilisan digital atau terkait urusan copyright yang lebih kompleks di masa sekarang. Namun dalam tulisan ini, hal yang terpikirkan baru tiga butir di atas. Adakah pembaca yang terpikirkan hal lain terkait kerinduan pada rilisan fisik?
Comments
Post a Comment