Bagaimana menerjemahkan "mindfulness"? Saya tidak menemukan persisnya. "Perhatian" adalah kata yang muncul jika kita memasukannya di Google Translate, tapi saya yakin kata tersebut tidak memadai, meski perhatian menjadi salah satu unsur penting di dalam konsep mindfulness. Akhirnya, setelah membaca buku berjudul Mindfulness for Dummies (2010), sepertinya terjemahan 'pemusatan pikiran' lumayan cocok, meski sebelumnya sempat terpikir 'kepenuhan pikiran'. Namun soal translasi ini mungkin tidak perlu menjadi soal, karena lebih penting kita masuki gagasan pokok dari mindfulness itu sendiri (eh, saya ternyata lebih nyaman untuk tidak menerjemahkannya). Oh ya, di sini, selain berusaha menjabarkan secara sekilas (sangat sekilas) tentang apa itu mindfulness, yang akan saya lakukan justru berusaha mengritiknya.
Dalam buku Mindfulness for Dummies tersebut, terdapat beberapa unsur penting yang membentuk gagasan tersebut yaitu kesadaran (awareness), perhatian (attention) dan mengingat (remembering). Kemudian unsur-unsur tersebut dipecah lagi ke dalam beberapa sub-unsur yaitu menyimak (paying attention), momen kesekarangan (present moment), non-reaktif (non-reactively), tidak-menilai (non-judgementally) dan hati-terbuka (open-heartedly). Menariknya, mindfulness bukan perkara pola pikir, tapi juga dicapai melalui latihan yang biasa disebut meditasi. Saya bukan pelaku meditasi, tapi berulang kali memperhatikan, bahwa meditasi adalah perkara "menyadari napas", yang dari sana kita juga bisa menyadari hal-hal lain seperti waktu dan bahkan eksistensi.
Menarik? Tentu saja! Apa yang lebih menggiurkan dari harmonisasi ketenangan pikiran, hati dan batin, yang berdampak pada produktivitas kerja, kemampuan mengatasi alienasi dan dinamika relasi sosial khas perkotaan yang "homo homini lupus". Mungkin saya tidak sepenuhnya mampu melakukan kritik internal dari konsep mindfulness itu sendiri karena kenyataannya, gagasan tersebut sangat keren. Secara kognitif mungkin saya pernah tergila-gila pada konsep demikian, sebagaimana halnya saya pernah menjadi pembaca serius filosofi Timur dan juga sufisme. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa konsep mindfulness diturunkan dari beberapa gagasan dalam filosofi Timur, sufisme, plus juga bisa jadi stoisisme, dengan tambahan bumbu-bumbu relevansinya dalam kehidupan urban. Gagasan mindfulness dewasa ini sudah tidak lagi eksklusif bagi para sufi atau pertapa, tetapi menjadi semacam gaya hidup urban yang populer. Terutama karena metodenya, pada tahap tertentu, "mudah" diikuti. Namun selama konsep tersebut adalah "bikinan manusia", tidak ada yang kebal dari kritik. Segala kepenuhan, holistis-isme dari ke-mindfulness-an, adalah sesuatu yang bisa cukup problematik.
Pertama, adalah perkara bahasa. Agak sukar untuk memastikan apa yang dimaksud "kesadaran", "perhatian", "hati-terbuka" dan lain-lain karena bisa jadi berlainan maksudnya bagi satu sama lain. Bukan artinya juga perlu dibatasi berlebihan untuk mendapatkan definisi yang ketat, tetapi ini perkara pemahaman: "kesadaran" menurut seorang guru Zen mungkin berbeda dengan "kesadaran" versi karyawan bank, "perhatian" dalam arti mikroskopis pada hal-hal remeh, mungkin berbeda dengan "perhatian" pada hal-hal yang transaksional dan menguntungkan. Perbedaan makna semantik ini bisa sangat problematis untuk memahami mindfulness dalam arti yang penuh dan utuh. Implikasinya menjadi masuk pada persoalan eksplanasi: menjelaskan mindfulness seolah-olah mudah dan terang benderang, padahal dalam konteks filosofi Timur, memerlukan beraneka anekdot yang kadang bersifat paradoksal (seperti dalam koan-nya Buddhisme Zen) untuk "menjelaskan" soal mindfulness ini.
Kedua, adalah perkara kelas. Bagian ini memang masalah yang muncul saat mindfulness sudah menjadi populer dalam masyarakat urban, yang aksesnya menjadi milik golongan tertentu, terutama kelas menengah ke atas. Mengapa? Entah, mungkin karena kaitannya dengan waktu luang, yang salah satu syaratnya adalah kelapangan dalam hal ekonomi. Seolah-olah menjadi hal yang mudah bagi orang-orang dari kelas tertentu, untuk "hidup tenang" dan "memusatkan pikiran", sementara dari kelas lainnya, yang lebih tertekan secara struktural, hal-hal demikian tidak semudah kelihatannya untuk dipraktikkan. Celakanya, konsep mindfulness yang dianut kelas tertentu ini menjadi lebih bersifat personal - individual, ketimbang menyelesaikan problem secara struktural dan kolektif. Padahal, tidak mudah untuk menunjuk masalah ketenangan batin sesederhana soal kemauan: mungkin semua orang mau mencapainya, tetapi bagaimana bisa, jika pikiran-pikiran selalu disibukkan oleh kebutuhan sehari-hari?
Ketiga, adalah perkara reduksinya pada sekadar instrumen. Masih dari buku Mindfulness for Dummies, disebutkan bahwa salah satu manfaat dari mindfulness adalah untuk meningkatkan produktivitas kerja. Tidak ada masalah, tetapi apakah bertentangan dengan prinsip "kesekarangan" atau bahkan "kepenuhan hidup" itu sendiri? Jika mindfulness adalah perkara produktivitas kerja, artinya mindfulness direduksi menjadi sarana, alat, instrumen, "batu loncatan", untuk kepentingan pribadi. Tentu, tidak ada salahnya menjadi mindfulness sebagai instrumen untuk mencapai kebahagiaan (bukankah itu tujuannya?), tetapi perkara kebahagiaan ini juga bukan sesuatu yang sederhana, apalagi jika disempitkan pada sesuatu yang konsumeristik.
Tentu saja, kritik ini muncul dalam rangka menjernihkan kembali gagasan mindfulness yang sudah dikomodifikasi sedemikian rupa sehingga menjadi semacam panasea atau "obat bagi segala", dapat dilakukan oleh siapa saja dan sifatnya praktis (siap-pakai). Tentu tidak masalah jika kita bisa menyebarkan suatu gagasan yang tadinya bersifat eksklusif untuk kemudian menjadi inklusif, tetapi harus ditekankan bahwa ada disiplin dan intensitas tertentu yang tidak bisa diabaikan. Kita akan sukar menyaingi mindfulness-nya seorang bhiksu jika sehari-hari berkutat dengan kesibukan yang tidak memberi waktu untuk bernapas.
Terakhir, berdasarkan masukan dari Saras Dewi untuk tulisan ini, tidak ada yang salah dengan gagasan mindfulness, terutama sebagai suatu cara pikir "ke dalam" dan "menyeluruh" terhadap hidup dan dunia. Persoalannya hanya ketika segalanya dikomodifikasi, menjadi bahan jualan, menjadi sarana untuk "mengelabui orang lain" dengan modus kesuksesan dalam defiisi yang sempit. Mindfulness menjadi penting, saat menjadi etik: saat membuat kita merenungkan kembali tujuan hidup, makna hidup, relasi dengan manusia dan makhluk hidup lainnya, serta apa arti konsep "diri". Untuk mencapai renungan semacam itu, memang mesti mundur sejenak dari hiruk pikuk, dari "daging", seperti Nabi yang berkhalwat di Gua Hira, atau Siddharta yang merenung di bawah pohon Boddhi. Tetapi mindfulness juga tidak mesti berarti mengasingkan diri. Pada akhirnya, segalanya tentang peleburan kembali dengan kehidupan sebagaimana adanya, tentang "menerima bumi". Tugas pertama adalah menyadari sepenuhnya bahwa tiada rumus pasti untuk menjadi bahagia, kecuali dengan mempertanyakannya terus menerus. Mindfulness, adalah tentang stamina pencarian yang panjang.
Comments
Post a Comment