Kelihatannya memang belum ada buku yang membahas gagasan Theodor Adorno tentang seni dalam bahasa Indonesia, sampai akhirnya saya membaca karya berjudul Seni sebagai Pembebasan: Sebuah Telaah tentang Estetika Adorno (Circa, 2022) yang ditulis oleh Syakieb Sungkar ini. Tulisannya lugas dan mengalir (seperti yang disebutkan dalam kata pengantar yang ditulis oleh Simon Lili Tjahjadi), sehingga tidak perlu waktu panjang untuk menamatkan karya dengan tebal 200-an halaman tersebut. Meski demikian, perlu diakui bahwa untuk memahami tulisan Pak Syakieb ini, perlu sejumlah pengertian terkait gagasan dan istilah dari para pemikir sebelumnya, termasuk secara umum berkenaan dengan "gaya berpikir filsafat" itu sendiri. Misalnya, Pak Syakieb tidak banyak menerangkan gagasan Marx (padahal gagasan Adorno banyak dibangun oleh pemikiran Marx, termasuk soal alienasi, fetisisme komoditas dan kritiknya atas dialektika Roh Hegelian), sehingga pembaca diasumsikan sudah paham sejumlah kata kunci dari pemikir lainnya. Memang terdapat usaha untuk menjelasan gagasan pemikir lain di dalamnya, termasuk usaha keras untuk menjabarkan pemikiran Hegel yang tidak mudah, tetapi tidak terlalu banyak. Namun itu sebenarnya tidak menjadi masalah serius, karena jika setiap buku mesti menjelaskan setiap pemikir beberapa tingkat sebelum dan sesudahnya, pasti buku-buku itu dengan sendirinya menjadi tebal oleh sejarah gagasan. Hanya saja, dalam konteks buku Adorno karya Pak Syakieb ini, orang bisa saja "kecele" oleh judul seksinya: "Seni sebagai pembebasan", tetapi di dalamnya, pembaca bisa jadi akan sibuk "membebaskan diri" dari teknis istilah-istilah yang menyulitkan. terutama bagi mereka yang kurang terbiasa bergulat dengan teks filsafat.
Terkait pemaparan gagasan Adorno secara umum dan juga sejarah hidupnya (yang cukup penting untuk dijabarkan dalam rangka memahami genealogi pemikiran Adorno tentang "kebenciannya" terhadap budaya populer), buku ini berhasil merangkumnya sehingga tidak hanya pemikiran Adorno tentang seni, khususnya musik, yang akan kita peroleh, melainkan juga bangunan besar pemikiran Adorno, termasuk gambaran singkat kedudukannya dalam sejarah pemikiran (Barat). Dengan membaca Seni sebagai Pembebasan, kita akan mendapatkan pemahaman tentang dialektika negatif-nya Adorno (bersama Horkheimer), termasuk bagaimana ia mengritik prinsip dialektika Hegel yang terlampau mengglorifikasi prinsip identitas (walau saya juga ragu tentang ini karena dalam pembacaan saya, Hegel cukup kritis terhadap logika Aristotelian yang mendewakan prinsip identitas) dengan prinsip non-identitas (bahwa segala sesuatu adalah selalu-bukan). Menariknya, Pak Syakieb tampak setia dengan prinsip non-identitasnya Adorno dengan mau bersusah payah memaparkan tegangan pada pemikiran Adorno yang "bukan begini bukan begitu" (ditulis sebagai paradoks), seperti misalnya dalam hubungan antara konsep non-investigatif versus investigatif terhadap karya seni:
"Memang benar bahwa investigasi atas karya seni tidak dapat mengungkapkan konten estetika, namun jika tidak ada penelitian sama sekali, maka makna dari suatu karya tidak akan dapat dipahami." (SP, 2022: 43)
Ditinjau dari pernyataan tersebut, pembaca yang tidak terbiasa dengan paradoks semantik dalam berfilsafat bisa saja kesal: "Jadi Adorno maunya apa?" Namun di situlah justru menariknya: jika kita memahami gagasan becoming-nya Hegel dalam "logika"-nya (yang kemudian diturunkan menjadi konsep dialektika-nya yang terkenal), kita akan segera paham bahwa tegangan antara "bukan begini bukan begitu"-lah yang justru penting untuk memahami Adorno. Pak Syakieb sebenarnya sudah memperingatkan ini di awal-awal bukunya, lewat cara penulisan Adorno dalam Aesthetic Theory yang berusaha menabrak "pakem rasional" dalam menulis, sebagai caranya untuk protes terhadap serba kemapanan dalam berpikir, yang menurutnya, menjadi salah satu dasar munculnya budaya industri yang serba sama dan terfabrikasi itu. Jadi, jika bingung dengan serba paradoks Adorno, tidak perlu buru-buru mencari "Jadi Adorno maunya apa", tetapi lebih baik berusaha menemukan "apa yang menyembul di antara dua gagasan yang bertentangan".
Memang sebagaimana pemikir lain pada umumnya, Adorno, yang menolak ini-itu lewat prinsip non-identitasnya, pada akhirnya mesti tunduk juga pada "identitas" dengan menunjuk ada "musik yang benar", yaitu musiknya Arnold Schoenberg. Schoenberg, yang menginisiasi twelve-tone technique dan banyak menggunakan prinsip atonal dalam karya-karyanya, dianggap Adorno mampu mengatasi kemapanan khas musik pop dan jazz yang bertendensi "membuai" sekaligus dianggap Adorno sebagai perpanjangan fasisme dalam membentuk masyarakat yang homogen. Di sini rupanya titik lemah Adorno, yang juga dibaca dengan jitu oleh Pak Syakieb, bahwa pertama, mengaitkan Schoenberg dengan musik yang melakukan "penyadaran kelas" via atonalitas, ternyata secara ekstra-musikal, malah jatuh pada elitisasi musik yang serius. Bahasa gampangnya, memangnya siapa yang mau mendengarkan musik atonal dengan twelve-tone technique, jika bukan para intelektual yang paham tentang konsep-konsep musik anti-mainstream semacam itu? Kedua, perkara musik jazz, Adorno juga bermasalah karena menyamakan jazz dengan pop lewat kritik yang serupa: pseudo-individualisasi dan standardisasi. Pertanyaannya: Apakah main Adorno "kurang jauh"? Bukankah jazz itu sendiri merupakan jenis musik yang terus bergerak, menegasi dirinya sendiri dan bahkan banyak di antaranya, enggan masuk pada jebakan komodifikasi dan selera pasar? Jadi, musik jazz yang mana yang dimaksud Adorno?
Meski demikian, terlalu terburu-buru juga untuk menyimpulkan bahwa Adorno adalah seorang elitis. Christian Fuchs dalam Rereading Marx in the Age of Digital Capitalism (2019) menyebutkan bagaimana kebanyakan pembaca keliru mengartikan Adorno saat ia menawarkan musik Schoenberg sebagai "musik yang benar". Adorno bukan hendak bertendensi elitis, melainkan sedang bersusah payah membantah budaya populer yang berwatak kapitalistik, lewat musik yang "memberontak", yang enggan tunduk pada formula baku yang "siap-pakai". Adorno mengawali semacam revolusi terhadap agen kapitalisme, melalui struktur internal dari seni (dalam hal ini musik) itu sendiri. Perkara ia berhasil atau tidak, atau pada akhirnya musik atonal menjadi elitis, bisa jadi itu semua adalah aspek ekstra-musikal yang tiada hubungannya dengan pemikiran Adorno. Bisa jadi juga, kapitalisme dengan cerdik membaca usaha Adorno tersebut dan langsung membuang wacana atonal dari wacana populer, menempatkannya hanya untuk dikonsumsi kaum elit dan terdidik saja. Atau, bisa jadi, itu semua hanya bentuk "kompensasi" dari Adorno yang gagal jadi musisi dan komposer, meski sempat berguru pada Alban Berg. Semuanya mungkin, dan buku Pak Syakieb ini mengajak kita merenungkan seluruh kemungkinan itu. Buku yang keren. Terima kasih.
Comments
Post a Comment