Jika kita mengetik kata kunci "Tuba bin Abdurahim" di Google, informasi mengenai nama tersebut sudah cukup ramai, sehingga kiranya tidak perlu lagi di dalam tulisan ini, untuk menceritakan kembali siapa gerangan Pak Tuba. Saya akan lebih menuliskan tentang kesan-kesan saat membaca tulisannya yang bagi saya, jenaka oleh entah apa. Tentu saya punya perbandingan, setidaknya berdasarkan biografi yang saya pernah tuliskan yaitu tentang Pak Awal dalam buku berjudul Nasib Manusia: Kisah Awal Uzhara, Eksil di Rusia (Ultimus, 2021) yang diterbitkan oleh penerbit yang sama dengan buku Mendaki Bukit Usia (2022) yang merupakan memoar Pak Tuba ini. Keduanya menceritakan sosok pria yang sama-sama menjadi korban tragedi 1965. Bedanya, Pak Awal tidak bisa pulang selama hampir enam puluh tahun di Uni Soviet, sementara Pak Tuba dijadikan tahanan di Pulau Buru. Bedanya lagi, Pak Awal dapat dikatakan berkuliah hingga hampir S3 di Moskow - seorang yang katakanlah, terdidik secara formal -, sementara Pak Tuba sekolah hingga setingkat SMP.
Tentu ini bukan hendak adu nasib siapa yang paling menderita. Bukan artinya Pak Awal, yang bersekolah di institut sinematografi tertua di dunia, kemudian lebih "beruntung" nasibnya dari Pak Tuba. Tidak juga. Tragedi '65 menimbulkan keperihan yang tak terbayangkan, yang menimbulkan kengerian bagi siapapun: tentang dilupakan, dihapuskan dari sejarah. Pak Awal menderita karena salah satunya akibat ekspektasi yang dihancurkan sehancur-hancurnya: niat bersekolah ke Moskow, membayangkan pulang-pulang menjadi sineas hebat yang berkontribusi bagi negara, tiba-tiba paspornya dicabut, menggelandang sebagai eksil di negeri orang, tanpa tahu kapan bisa pulang. Sementara Pak Tuba bisa dikatakan sudah akrab dengan tahanan sebelum tragedi '65. Ia pernah ditangkap karena menjadi "tukang catut karcis" di bioskop Cathay dan ditahan di Lapas Pemuda Tangerang dengan tuduhan "pengacau ekonomi". Sejak November 1965, ia berpindah dari satu penjara ke penjara lainnya dan sudah akrab dengan berbagai siksaan. Tahun 1976, Pak Tuba ditempatkan di Pulau Buru, Unit Ronggolawe dan dibebaskan tahun 1979 sambil tetap wajib lapor ke Kodim hingga batas waktu yang tidak ditentukan.
Oke, ternyata saya jadi bercerita tentang siapa Pak Tuba, meski hanya sepintas. Saya kembali ke niat semula menuliskan ini, untuk menceritakan bagaimana kesan saya dalam membaca tulisan Pak Tuba. Pertama-tama, perlu ditekankan bahwa meski Bung Bilven membantu menyunting Mendaki Bukit Usia, tetapi tulisan-tulisan di dalamnya benar-benar karya Pak Tuba. Berbeda dengan buku Nasib Manusia, yang sebagian besar cerita tentang Pak Awal diungkapkan secara lisan untuk kemudian saya tuangkan ke dalam bentuk tulisan. Tulisan Pak Tuba menggambarkan ingatan yang jernih, mendeskripsikan kejadian secara rinci, termasuk perkara siksaan dan penderitaannya dari penjara ke penjara, terutama saat ditahan di Pulau Buru. Saya tidak tahu bagaimana perasaan Pak Tuba saat menuliskannya, tapi yang saya tangkap, begitu tenang dan malah punya kesan jenaka (tanpa bermaksud menertawakan penderitaan Pak Tuba). Misalnya dalam pernyataan berikut ini yang ditulis dalam bagian Mengapa Harus Pulau Buru:
"Pada umumnya penduduk asli malas bekerja. Mereka lebih senang menikmati fasilitas alam yang sudah tersedia, misalnya menebang pohon sagu, berburu babi hutan, dan mencari ikan di rawa-rawa. Setelah mereka berhasil dengan buruannya, pada malam harinya mereka berpesta dengan membuat api unggun diiringi musik atau gendang. Dengan adanya tapol di sini sangat menguntungkan para penduduk asli, mereka bisa belajar bercocok tanam, membangun rumah, juga memasak. Jadi kesimpulannya bahwa tapol membudayakan mereka yang masih primitif." (MBU, hlm 141)
Pernyataan tersebut, dalam pandangan antropologis tertentu, tentu dapat dituduh menyinggung, terutama di bagian "membudayakan mereka yang masih primitif". Kata "primitif" bisa dipersoalkan, apalagi "membudayakan", yang biasa dituduhkan sebagai istilah lain untuk "mengkolonialisasi". Namun kita bisa jadi tidak melihat tendensi ke arah sana dari tulisan-tulisan Pak Tuba.
Selain itu, hal yang bagi saya mengesankan, adalah bagaimana Pak Tuba sering memasukkan notasi dan lirik musik tertentu, yang kelihatannya menjadi "jembatan" baginya untuk mengenang suatu peristiwa. Misalnya, memasukkan lirik dan notasi lagu Mimpi Sedih yang ditulis oleh Tetty Kadi, untuk mengenang peristiwa gagal panen di Pulau Buru akibat hama, atau lagu Nusakambangan untuk mengenang pengalamannya ditahan di penjara Nusakambangan. Antusiasme Pak Tuba terhadap musik juga ditunjukkan lewat produktivitasnya dalam menulis lagu dan sejumlah lampiran menunjukkan bahwa ia pun rajin belajar teori musik lewat beraneka catatan. Mungkin dari sana, salah satunya, mengapa tulisan Pak Tuba tampak "ringan" dan "jenaka": karena musik memberinya gairah senantiasa. Musik, bisa jadi, memberinya semangat untuk bertahan hidup, tetapi bisa juga sebaliknya, seperti dalam pandangan Schopenhauer: musik adalah cara untuk mengingatkan kita akan kepahitan eksistensi.
Para tapol ini, bagaimanapun, oleh sebab tragedi yang menimpanya, mungkin bertanya-tanya: mengapa ini semua terjadi? Apa salah saya? Sama seperti Pak Awal yang juga bertanya-tanya: Apakah kepahitan yang menimpa saya ini adalah buah dari kesalahan di masa lampau? Tidak ada jalan lain kecuali menjalaninya sebisa-bisa, sembari berharap gerak sejarah kelak berpihak pada mereka (dan mulai berpihak lewat catatan demi catatan yang kian "bersuara"). Dari sekian pertanyaan yang tidak ada jawabannya tersebut, barangkali hanya musik yang bisa "menjawabnya": seluruh eksistensi, pada dasarnya, adalah tragedi, tiada jalan lain kecuali "merayakannya".
Itulah sebabnya, tulisan-tulisan Pak Tuba tidak hanya "tenang" dan "jenaka", tapi juga "musikal": di dalamnya ada tragedi atas eksistensi, tapi juga perasaan riang yang harus muncul untuk mensiasati ketiadaan jalan keluar.
Comments
Post a Comment